Siapapun Anda yang datang berkunjung di Blog ini merupakan Inspirasi terbesar kami dalam berkarya untuk memberikan yang terbaik...Selamat Membaca...!!!
Assalaamu’alaikum wr. wb.
Sebagai
 pelajar dan mahasiswa S1 dahulu, saya selalu punya pandangan negatif 
terhadap filsafat. Dalam pandangan saya, para filsuf adalah orang yang 
suka berasyik-masyuk dengan pikirannya sendiri, cuma duduk dan berpikir,
 kadang berdiskusi, tapi hasilnya tidak jelas. Mereka tidak membuat 
terobosan baru, bahkan banyak orang belajar filsafat akhirnya bertindak 
seperti orang bodoh.
Sekarang, 
pandangan saya berubah. Tapi memang ada orang-orang yang membodohi diri 
sendiri dengan apa yang disebutnya sebagai ‘filsafat’, dan amat 
disayangkan populasinya di negeri kita ini terlalu banyak.
Tahun 2004, mahasiswa jurusan Akidah Filsafat dari UIN Sunan Gunung Djati, Bandung, dengan lantangnya berteriak “Anjinghu akbaar!”.
 Sepuluh tahun kemudian, para mahasiswa Fakultas Ushuluddin dan Filsafat
 UIN Sunan Ampel, Surabaya, menggelar kegiatan orientasi penyambutan 
mahasiswa baru dengan tajuk “Tuhan Membusuk”. Padahal, filsafat terambil dari kata “philo” dan “sophia”
 dari bahasa Yunani yang secara berurutan bermakna “cinta” dan 
“kebijaksanaan”. Filsuf itu cinta kebijaksanaan. Lalu, di mana 
kebijaksanaan dari kata-kata “Anjinghu akbaar”
 dan “Tuhan membusuk”? Apakah frase-frase semacam itu membawa perubahan 
pada kebaikan bagi pengucap dan pendengarnya? Adakah masalah yang bisa 
diselesaikan dengannya?
Adalah dosen
 filsafat pula yang belum lama ini menggemparkan Univ. Muhammadiyah 
Sumatera Barat (UMSB), Padang, dengan aksinya menginjak Al-Qur’an di 
depan kelas. Di mana nilai kebijaksanaan dari tindakan semacam itu? 
Bijaksanakah seorang Muslim yang menginjak Al-Qur’an? Tanpa Al-Qur’an, 
bisakah ia memahami Islam? Seribu pertanyaan lainnya bisa kita ajukan. 
Yang jelas, UMSB telah bertindak cukup bijaksana dengan memberhentikan 
sang dosen. Kebijaksanaan UMSB akan menjadi lebih sempurna lagi jika ke 
depannya bisa memperketat seleksi dosen, terutama untuk bidang filsafat.
Tanpa
 perlu menyelami teori filsafat yang rumit-rumit, melainkan dengan 
logika dasar saja, kita akan memahami betapa banyak kontradiksi dari 
tindakan para ‘filsuf’ semacam ini. Buat apa ber-dzikir dengan ‘Anjinghu akbar’?
 Bukankah Yang Maha Besar itu Allah? Buat apa menyebut Tuhan telah 
membusuk? Buat apa mengaku Muslim yang cinta Allah namun menginjak 
Al-Qur’an? Bukankah ada nama Allah di setiap lembar Al-Qur’an tersebut? 
Semua akan terjawab dengan sempurna jika para pelakunya bukan seorang 
Muslim. Sayangnya, justru di situlah letak kontradiksinya!
Di
 mana sumber permasalahannya? Mengapa banyak orang (tentu tidak semua) 
yang belajar filsafat malah makin jauh dari kebijaksanaan?
Ketika
 saya mempelajari sejarah Socrates – seorang filsuf Yunani yang sangat 
ternama – kesan yang saya dapati sangat berbeda, bahkan seratus delapan 
puluh derajat. Meski tidak semua pemikiran Socrates bisa kita terima, 
namun kita akan terdorong untuk menghargai kerja keras dan ketulusannya 
dalam mengejar kebijaksanaan hidup. 
Dalam salah satu dialog Socrates (Socratic dialogue)
 yang ditulis oleh Plato, ada kisah tentang Socrates yang mengajari 
salah seorang budak milik Meno – rekan diskusinya saat itu – untuk 
menggunakan ilmu geometri. Socrates bukan orang yang bicaranya 
sembarangan, suka dengan kata-kata kasar, suka mengolok-olok manusia 
(apalagi Tuhan), juga tidak suka menginjak-injak buku. Sebaliknya, ia 
adalah figur yang sangat runut dalam berpikir, lancar berbahasa, dan – 
sebagaimana dibuktikan dalam kisah ini – juga mengerti sains!
Satu
 dekade yang lalu, saya takkan percaya kalau filsafat dan sains pernah 
rukun. Tapi kenyataannya demikian. Bukan hanya keduanya hidup dengan 
damai di dalam kepala para cendekiawan (yang menjadikan mereka filsuf 
dan saintis sekaligus), tapi juga dahulunya filsafat itu adalah sains, 
dan sains adalah filsafat. Di jamannya, Sir Isaac Newton tidak menyebut 
dirinya seorang fisikawan, melainkan sebagai ‘filsuf alam’ (natural philosopher). Bukunya yang mengguncangkan dunia fisika pun diberinya judul Philosophiae Naturalis Principia Mathematica (“Mathematical Principles of Natural Philosophy”).
Sebagian
 orang mendefinisikan filsafat secara sederhana sebagai ilmu yang 
menggali cara terbaik untuk mengerjakan/memikirkan sesuatu. Dengan 
penjabaran seperti ini, tidaklah mengherankan kiranya jika apa yang kini
 kita kenal sebagai sains itu pun merupakan bagian dari filsafat.

Dengan sedikit pengetahuan dasar dalam hal sains, kita akan tahu bahwa ayat Qur'an yang dibicarakan ini sangat akurat.
Hemat
 saya, kekacauan terjadi justru karena perceraian ‘paksa’ yang 
mengakibatkan terpisahnya filsafat dan sains. Filsafat (atau lebih 
tepatnya: apa yang kini kita sebut sebagai filsafat) memang banyak 
berkutat dengan pikiran, sedangkan pikiran itu bisa melanglang buana 
tanpa batas, melampaui keterbatasan tubuh. Adapun sains, ia berkutat 
dengan segala sesuatu yang serba terbatas, nyata dan jelas wujudnya. 
Jika filsafat begitu ‘melangit’, maka sains sangatlah ‘membumi’.
Mereka
 yang belajar sains pastilah memahami keterbatasannya. Sains itu sendiri
 – kata teman saya yang lulusan Teknik Fisika ITB – dibangun atas 
model-model yang merupakan penyederhanaan dari alam. Alam itu sendiri 
terlalu kompleks untuk dipelajari, sehingga mesti disederhanakan. Gunung
 atau jalan yang menurun dan menanjak dimodelkan dengan bidang miring, 
meskipun wujud nyatanya tidak berupa garis lurus seperti modelnya. 
Banyak rumus dalam sains yang harus diberi catatan, misalnya rumus-rumus
 Kimia tertentu yang hanya berlaku pada suhu ruangan. Di luar suhu 
ruangan, kondisinya bisa lebih kompleks lagi. Ada pula masalah tingkat 
ketelitian, yang bisa terjadi karena ketidaktelitian pengamatan, ada 
faktor luar yang tidak diperhitungkan sebelumnya, atau juga kerusakan 
alat ukur. Lahir pula ilmu probabilitas dan statistika yang 
mengimplikasikan ketidakmampuan manusia untuk memastikan prediksinya 
sendiri. Ya, namanya juga prediksi! Poin pentingnya: jika Anda mendalami
 sains, pastilah Anda akan memahami betapa banyaknya ketidakpastian di 
alam semesta ini, dan betapa minimnya kemampuan manusia dalam memahami 
alam ciptaan Tuhan ini.
Lho,
 kok orang sains bicara Tuhan? Ya, bagaimana lagi menjelaskan 
kompleksitas di alam? Jangan buru-buru bilang Tuhan tidak ada karena 
belum pernah melihat-Nya, sebab di alam semesta ini ada banyak sekali 
galaksi, dan manusia belum pernah menjelajah sampai ke ujung tata surya,
 boro-boro ujung galaksi, apalagi ujung alam 
semesta. Seperti kata Buya Hamka, meyakini keberadaan Tuhan itu lebih 
mudah daripada mengingkarinya.
Orang
 yang belajar sains – semestinya – lebih membumi, lebih memahami 
keterbatasannya, atau singkatnya lebih beradab. Sebaliknya, mereka yang 
tidak meneliti alam semesta dan sibuk dengan alam pikirannya sendiri 
sangat mungkin terjebak dalam kesombongan. Mereka pikir mereka hebat, 
padahal di luar sana begitu banyak yang lebih hebat. Alam memang guru 
terbaik, karena ia bisa mengajarkan adab dan ilmu sekaligus.
Perceraian
 antara filsafat dan sains menjadikan banyak di antara mereka (sekali 
lagi: tidak semua!) yang belajar filsafat tergelincir dalam kesombongan.
 Mereka sangat bersemangat memaksimalkan akalnya – dan itu bagus, bahkan
 harus – namun lupa untuk bercermin dan melihat besarnya kuasa Allah 
SWT. Itulah sebabnya dalam ayat ke-191 di Surah Ali ‘Imran, Allah SWT 
menjelaskan ciri-ciri ulil albaab, yaitu: (1)
 senantiasa mengingat Allah, (2) memikirkan penciptaan langit dan bumi, 
(3) menyadari bahwa tiada ciptaan Allah yang bathil,
 (4) menyucikan nama Allah, dan (5) takut akan api neraka. Poin ke-2 
secara khusus sangat berkaitan dengan sains, sedangkan secara 
keseluruhan kita dapat melihat bahwa ulil albaab
 ini adalah kelompok manusia yang bukan hanya berilmu, namun juga 
beradab. Sains memang semestinya membuat manusia menjadi beradab!
Menurut
 tebakan saya, para ‘filsuf’ yang kehilangan adab kepada Tuhan-nya itu 
adalah korban dari perceraian antara filsafat dan sains. Hal ini biasa 
terjadi pada kelompok Islam liberal yang suka mendewa-dewakan sains, 
padahal mereka sendiri bukan orang sains. Mereka begitu memuja akalnya 
sendiri dengan mengatasnamakan sains, padahal para penggiat sains nggak gitu-gitu
 amat. Akhirnya, mereka hanya membohongi diri sendiri. Mengira diri 
pantas mempertanyakan Allah, padahal ciptaan Allah pun tak tuntas 
dikaji. 
Filsafat tanpa sains 
bagaikan pohon yang menjulang ke angkasa namun akarnya tidak kokoh 
menancap di tanah. Asyik membahas pemikiran, namun abai dengan realita. 
Padahal, realita itulah yang seharusnya menjadi obyek pemikiran manusia.
 Di dunia ini memang sudah lazim kita jumpai orang-orang pintar yang 
merasa bodoh dan orang-orang bodoh yang merasa pintar. Tidak ada yang 
benar-benar baru di kolong langit.
wassalaamu’alaikum wr. wb.
https://www.facebook.com/notes/akmal-sjafril/perceraian-antara-sains-dan-filsafat-dan-tragedi-islam-liberal/857143474395411 
 


 
 
 
0 Komentar:
Posting Komentar
Kehormatan buat kami jika selesai baca Anda beri komentar atas Artikel ini....tapi, Mohon Maaf kawan Komentarnya yang sopan ya....he..he..he..