Banyak para ahli berpendapat bahwa
panggilan kita terhadap buah hati adalah do’a. Oleh karena itu, kita
harus waspada dengan label-label atau panggilan-panggilan ringan yang
kita berikan.
Contoh : kamu ini nakal, dasar anak
cengeng, kolokan banget sih, dan seabreg label lain yang menjatuhkan
reputasi dan kepercayaan diri anak. Bila panggilan kita bentuknya
negatif, bukan mustahil panggilan tersebut melekat kuat pada diri anak
sehingga ia turut melabel pribadinya dengan panggilan yang kita
lontarkan. Dan secara psikologis, hal ini bisa menjadikan seorang anak under estimate, merasa diri tidak punya kehebatan, dan tentu saja ia akan merasa banyak hal yang salah dalam dirinya. Luar biasa berbahaya.
Label-label yang kita berikan pada
anak, baik label positif maupun negatif, dua-duanya memiliki kekuatan
yang sama untuk bisa merasuk pada diri anak. Perbedannya adalah terletak
pada dampak yang ditimbulkan dari kedua label tesebut. Dan diakui atau
tidak, bagi sebagian orangtua adalah merupakan hal yang sangat mudah
dalam memberikan label negatif pada anak, seperti terdapat dalam
contoh-contoh berikut.
- Betapa mudahnya kita mengatakan nakal pada anak kita hanya karena ia memukul adiknya atau salah seorang diantara keluarga. Padahal kita belum tahu tentang motif dibalik apa yang dilakukan oleh anak kita.
- Betapa mudahnya kita mengklaim anak kita sebagai pemalas hanya karena ia tidak mau memenuhi permintaan kita untuk mengambil gelas atau barang lainnya.
- Betapa ringannya kita memberikan julukan pembohong pada anak kita hanya karena ia berbuat bohong untuk yang pertamakalinya.
Sesungguhnya, anak kita belum tentu
sesuai dengan julukan-julukan “menjatuhkan” yang kita berikan. Bahkan
sangat mungkin, julukan-julukan tersebut benar-benar melekat pada diri
anak, gara-gara kita terlalu mudah memberikannya. Padahal sejatinya,
bila kita mau bersabar dengan berupaya memilih kata-kata yang lebih
bijak, atau memberikan pengertian edukatif ketimbang mengklaimnya dengan
kata-kata yang “mengerdilkan” jiwa, sang anak pun akan lebih menerima
dan tidak akan sampai pada tingkat under astimate, sakit hati, krisis percaya diri dan lain sebagainya.
Sebaliknya, apabila panggilan yang kita
upayakan berupa ungkapan yang membangun, yang optimistis dan mampu
mendongkrak kepercayaan dirinya, hasilnya pun insya Allah tidak akan
mengecewakan. Untuk membuktikannya, cobalah Anda membiasakan diri dengan
panggilan atau ungkapan-ungkapan berikut ini;
- Sini hebat...!
- Ayo... Kamu pasti bisa...!
- Hai, Mujahid...!
- Kakak memang pintar ya...
- Ayo coba sekali lagi. Lakukan sampai berhasil.
- Anak hebat bukan penakut!
- Anak sholeh tidak cengeng!
- Anak hebat tidak merengek!
Memberikan panggilan terbaik pada buah
hati adalah akhlak Rasululllah Saw. Dan beliau pun melakukannya tidak
semata-mata. Memberikan penghargaan, menjadikan buah hati menjadi lebih
percaya diri dan memperlihatkan kesantunan orangtua kepada anak.
Demikianlah beberapa tujuannya. Dalam buku Tahapan Mendidik Anak,
Jama’al Abdur Rahman membahas tentang hal ini. Beliau menuliskan bahwa
Anas r.a pernah mengatakan bahwa Rasulullah Saw adalah orang yang paling
baik akhlaknya. Dahulu ia punya seorang saudara laki-laki dan dikenal
dengan nama panggilan Abu ‘Umair. Dan menurut Anas, saudaranya itu sudah
disapih. Bila Nabi Saw datang, beliau selalu menyapanya dengan
panggilan : “Hai Abu ‘Umair!”
Disadari atau tidak, baik atau buruknya
panggilan yang kita berikan pada buah hati kita, tentu akan memengaruhi
terhadap jiwa dan kepribadiannya. Bila panggilannya menyenangkan dan
membuat anak kita merasa dihargai, maka yang akan timbul adalah
kepercayaan diri yang luar biasa. Sebaliknya, bila kita justru
memanggilnya dengan sebutan yang menyakitkan dan menjatuhkan, jangan
salahkan anak kita bila di kemudian hari tampil sebagai pribadi yang
rendah diri.
Maka mulai saat ini berazzamlah kita
untuk tidak pelit dalam memberikan panggilan terbaik. Karena awal
ketangguhan buah hati kita adalah kita sendiri. Dan Rasulullah pun telah
mengingatkan kita dalam sabdanya;
“Janganlah sekali-kali seseorang
diantara kamu mengatakan; ‘Hai budak laki-lakiku! Hai budak
perempuanku,’ karena kamu semua, baik yang laki-laki maupun perempuan,
adalah hamba-hamba Allah. Akan tetapi, hendaknya ia mengatakan; ‘Hai
pelayan priaku! Hai pelayan wanitaku! Hai pesuruh priaku! Hai pesuruh
wanitaku’” (HR. Muslim dan Ahmad)
Setelah Anda membiasakan diri
menggunakan ungkapan-ungkapan positif yang reaksioner, tugas selanjutnya
adalah meyakini bahwa ungkapan yang terucap dari mulut kita tersemat
bukan hanya di telinga, melainkan di jiwa anak. Ungkapan atau label yang
kita berikan akan bersemayam terus dalam ruang benaknya yang pada
akhirnya menjadi sebuah charger yang akan membuat diri anak kita yakin dan percaya diri. Allohu’alam bish showaab.
sumber : al-intima.com
0 Komentar:
Posting Komentar
Kehormatan buat kami jika selesai baca Anda beri komentar atas Artikel ini....tapi, Mohon Maaf kawan Komentarnya yang sopan ya....he..he..he..