Assalamu Alaikum, Selamat datang Saudaraku. Semoga BLOG ini bermanfaat dan harapan kami agar Anda sering datang berkunjung. Wassalam. ==> YAHYA AYYASY <==

Melakukan Perintah Sebatas Kemampuan (Hadits Arbain No. 9)


Rasulullah – shallallahu 'alaihi wa sallam – bersabda
Dari Abu Hurairah – radhiyallahu 'anhu – ia berkata: "Saya mendengar Rasulullah saw bersabda: 'Apa saja yang aku cegah kalian darinya, jauhilah, dan apa saja yang aku perintahkan kepada kalian, lakukanlah semampu kalian, karena, sesungguhnya yang menyebabkan umat sebelum kalian binasa adalah banyaknya pertanyaan mereka dan perselisihan mereka terhadap para nabi mereka'". (HR Bukhari dan Muslim)

Takhrij hadits
Hadits ini adalah hadits shahih. Diriwayatkan oleh Bukhari (hadir nomor 7288) dengan redaksi yang sedikit berbeda. Dan redaksi yang dipergunakan di sini diambil dari shahih Muslim (hadits nomor 1337). Juga diriwayatkan oleh ulama'-ulama hadits lainnya.

Sabab wurud
Hadits dengan redaksi seperti ini memiliki latar belakang historis khusus. Latar belakang historis ini dalam ilmu hadits disebut sabab wurud.

Ceritanya adalah bahwa pada suatu hari, Rasulullah saw sedang menyampaikan khutbah. Dalam khutbahnya, beliau menjelaskan bahwa Allah – subhanahu wa ta'ala – telah mewajibkan ibadah haji atas kaum muslimin. Mendengar keterangan seperti ini, ada seseorang nyeletuk: "Wahai Rasulullah, apakah kewajiban haji itu berlaku setiap tahun?" Rasulullah saw diam, sehingga orang tersebut mengulangi pertanyaannya sebanyak tiga kali. Maka Rasulullah saw menjawab: "Kalau saja saya menjawab 'ya', niscaya ibadah haji itu akan menjadi wajib setiap tahun, dan jika demikian, niscaya kalian tidak akan mampu melakukan dan memenuhinya". Lalu Rasulullah menyampaikan hadits seperti di atas.

Kedudukan dan kandungan hadits
Hadits ini cukup simpel dan singkat, namun padat makna. Dalam ilmu syari'ah hal ini disebut jawami' al-kalim, kalimat yang simpel dan singkat, namun padat dan kaya makna. Ia merupakan manhaj (pedoman) yang memberi arah kepada kita bagaimana kita bersikap secara tepat dan benar terhadap nash-nash agama. Dengan bahasa lain, bagaimana kita berkomitmen dengan syari'at.
Secara garis besar, hadits di atas berisi beberapa hal, di antaranya:
  1. Agama Islam, agama yang diajarkan oleh Rasulullah saw berisi beberapa perintah dan beberapa larangan. atau biasa disebut awamir (perintah-perintah) dan nawahi (larangan-larangan).
  2. Sikap kita terhadap ajaran agama (syari'at) ini adalah:
    1. Jika ia berupa awamir (perintah-perintah), maka kita berkewajiban melaksanakannya sampai batas kemampuan maksimal kita, dan
    2. Jika ia berupa nawahi (larangan-larangan), maka kewajiban kita adalah menjauhi dan meninggalkan larangan-larangan ini, dengan tanpa penambahan kata-kata "sampai batas maksimal kemampuan". Sebab meninggalkan sesuatu itu jauh lebih ringan dibandingkan dengan melakukan.
  3. Umat-umat terdahulu menjadi hancur dan binasa karena kekeliruan dan kesalahan mereka dalam menyikapi nash-nash agama (syari'at) mereka. Terhadap nash-nash agama (syari'at), mereka bersikap:
    1. Banyak membuat pertanyaan-pertanyaan, dan pada saat yang sama, mereka
    2. Menyelisihi atau tidak komitmen dengan apa yang diajarkan oleh para nabi mereka.

Model pertanyaan dalam masalah agama
Sepintas lalu, penjelasan di atas melarang atau mencela pertanyaan dalam masalah agama. Pemahaman yang 'sepintas lalu' ini tidaklah benar dan tepat, sebab, pertanyaan dalam masalah agama itu model dan bentuknya bermacam-macam.
Secara garis besar, ada dua macam pertanyaan dalam masalah agama, yaitu:
  1. Pertanyaan-pertanyaan yang dibenarkan dan diperbolehkan.
  2. Pertanyaan-pertanyan yang dilarang dan dicela.

Model pertanyaan yang diperbolehkan
Jika kita perhatikan model-model pertanyaan yang diajukan oleh para sahabat kepada Rasulullah saw dan oleh beliau diterima dan dibenarkan, kita dapat menyimpulkan bahwa model pertanyaan mereka adalah sebagai berikut:
  1. Mereka menanyakan hal-hal yang benar-benar terjadi kepada mereka (realistis), atau tentang hal-hal yang benar-benar menyulitkan mereka, baik menyulitkan dalam pemahaman, maupun menyulitkan dalam pengamalan (operasional). Untuk hal-hal seperti ini, Al-Quran telah memerintahkan kepada kita untuk bertanya, bukan kepada semua orang, akan tetapi, hanya kepada ahli dzikri (para ulama', para pakar) yang mumpuni di bidang masing-masing. (lihat QS Al-Nahl: 43, dan QS Al-Anbiya: 7).
  2. Mereka menanyakan hal-hal yang belum terjadi, tetapi diprediksi secara kuat akan benar-benar terjadi. Misalnya, mereka sedang berperang, dan perbekalan makanan mereka tinggal sedikit, sementara mereka tidak membawa pisau untuk menyembelih binatang yang akan mereka makan. Selama ini mereka memahami bahwa menyembelih itu "hanya" dengan pisau. Maka Rasulullah saw bersabda: "Segala yang dapat mengalirkan atau menumpahkan darah, lalu disembelih dengan menyebut nama Allah, selama alat itu bukan berupa kuku atau gigi, maka makanlah." (Hadits shahih Muttafaqun 'alaih, lihat Bukhari [2308, 2324, 2846, 5074 dan 5085], serta Muslim [3638]).

Model pertanyaan yang dicela dan dilarang
Adapun model dan bentuk pertanyaan yang dicela dan dilarang oleh agama adalah:
  1. Pertanyaan untuk tanaththu' (memperbesar dan mempersulit perkara) sebagaimana pertanyaan Bani Israil tentang seekor sapi yang harus mereka sembelih (QS Al-Baqarah: 67 – 71).
  2. Pertanyaan dengan maksud sekadar bertanya dan tidak ada maksud lainnya.
  3. Pertanyaan untuk menunjukkan ketidakmampuan pihak yang ditanya (ta'jiz), atau pertanyaan untuk sekadar "menguji", atau pertanyaan untuk mempermalukan dan yang semakna dengan hal ini.
  4. Pertanyaan tentang hal-hal yang belum terjadi yang sekadar mereka-reka kemungkinan kejadiannya.
  5. Pertanyaan yang dikemukakan tanpa mengindahkan adab-adab bertanya.

Kaidah fiqih
Hadits di atas, oleh para ulama', telah menjadi dasar dalam menetapkan beberapa kaidah fiqih, di antaranya adalah:
  1. Al-Dharurat tubihu al-mahzhurat (kedaruratan atau emergency menyebabkan sesuatu yang dilarang berubah menjadi diperbolehkan). Misalnya: Seseorang yang terjebak dalam kelaparan, dan untuk menyelamatkan nyawanya tidak ada pilihan baginya kecuali daging binatang yang disembelih dengan cara yang tidak syar'i, maka, ia diperbolehkan mengkonsumsi daging tersebut.
  2. Al-Dharurat tuqaddar biqadariha (kedaruratan atau emergency itu hanya berlaku dalam batas dan kadar kedaruratan saja). Misalnya, dalam kasus mengkonsumsi makanan yang haram, maka, yang boleh dikonsumsi hanyalah sekadar yang mampu menyelamatkan nyawa saja.
  3. Al-Masyaqqatu tajlibu al-taisir (Kesulitan itu menyebabkan kemudahan dalam hukum). Misalnya: Seseorang yang karena sakit tidak dapat shalat dengan berdiri, maka ia dibenarkan melakukan shalat dengan cara duduk.

Jalan selamat dan teraman
Hadits ini mengajarkan kepada kita bahwa jalan selamat bagi umat Islam adalah jika mereka menyibukkan diri dalam pelaksanaan perintah-perintah syari'at dan dalam meninggalkan larangan-larangannya. Bukannya menyibukkan diri dengan membuat pertanyaan-pertanyaan yang tidak dibenarkan.

Sedangkan penyebab kehancuran umat adalah jika mereka menyibukkan diri dengan membuat pertanyaan-pertanyaan yang tidak dibenarkan. Apalagi hal ini ditambah dan digabungkan dengan penyimpangan-penyimpangan dari ajaran-ajaran agama (syari'at), baik dengan cara meninggalkan perkara-perkara yang diperintahkan maupun dengan cara melakukan perkara-perkara yang dilarang oleh agama (syari'at).

Islam itu memudahkan
Hadits ini menegaskan satu karakteristik agama Islam, yaitu 'memudahkan', atau biasa disebut taisir, atau 'adam al-haraj (menghilangkan hal-hal yang menyulitkan dan menyusahkan). Ini juga ditegaskan oleh Al-Quran. Di antaranya dalam QS Al-Baqarah: 185, QS Al-Maidah: 6, dan QS Al-Hajj: 78.

Hal ini berlaku bukan hanya pada aspek hukum semata, akan tetapi berlaku juga pada aspek dakwah, sebagaimana sabda Rasulullah saw: "Berikanlah berita gembira dan jangan membuat orang lari menjauh, permudah dan jangan mempersulit." (hadits shahih diriwayatkan oleh Muslim [3262])

Maksud Mastatha'tum
Dalam hadits ini disebutkan bahwa jika Rasulullah saw memerintahkan sesuatu, kita diminta untuk melakukan perintah itu sebatas kemampuan kita (mastatha'tum).

Kalimat ini sering disalah artikan dengan penjelasan bahwa mastatha'tum itu maknanya adalah 'sebisanya'.
Makna yang benar dari mastatha'tum adalah sampai batas maksimal kemampuan kita yang masih memungkinkan dan bukannya 'sebisanya' yang berarti 'batas minimal kemampuan' kita.

Hal ini terjadi juga dalam memahami QS Al-Baqarah: 286, yaitu pada firman swt: "la yukallifullahu nafsan illa wus'aha", bahwa Allah swt tidak membebani suatu jiwa kecuali dalam batas kemampuan jiwa itu.
Berlaku juga dalam memahami QS Al-Tagahbun: 16, yaitu pada firman Allah swt : "fattaqullaha mastatha'tum", maka bertakwalah kalian kepada Allah sebatas kemampuan kalian.

Pada semua ini, yang dimaksud dengan mastatha'tum dan yang semakna dengannya adalah: batas maksimal kemampuan yang memungkinkan, dan bukannya batas minimal kemampuan yang dimiliki, wallahu a'lam
Dan akhirnya, kepada Allah swt jualah kita memohon. Semoga Dia berkenan memberikan taufiq, hidayah, 'inayah dan ri'ayah-Nya kepada kita untuk bisa mengamalkan nilai-nilai yang terkandung dalam hadits ini. Dan semoga amal kita diterima di sisi-Nya, amiin.

0 Komentar:

Posting Komentar

Kehormatan buat kami jika selesai baca Anda beri komentar atas Artikel ini....tapi, Mohon Maaf kawan Komentarnya yang sopan ya....he..he..he..

Recent Post widget Inspirasi Rabbani

Menuju

Blog Tetangga

Blog Tetangga
Klik Gambar untuk Berkunjung

Luwuk Banggai SULTENG

Luwuk Banggai SULTENG
ebeeee......