وَإِذَا رَأَوْا تِجَارَةً أَوْ لَهْوًا
انْفَضُّوا إِلَيْهَا وَتَرَكُوكَ قَائِمًا ۚقُلْ مَا عِنْدَ الَّهِ خَيْرٌ
مِنَ الَّهْوِ وَمِنَ التِّجَارَةِ ۚوَالَّهُ خَيْرُ الرَّازِقِينَ
“Dan apabila mereka melihat perniagaan
atau permainan, mereka bubar untuk menuju kepadanya dan mereka
tinggalkan kamu sedang berdiri (berkhotbah). Katakanlah, “Apa yang ada
di sisi Allah adalah lebih baik daripada permainan dan perniagaan”, dan
Allah Sebaik-baik Pemberi rezki.” (QS. Al-Jumu’ah: 11).
Saudaraku,
Ketika itu paceklik menyelimuti kota
Madinah. Jum’at di suatu siang, cuaca terik membakar kulit menyapa kota
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Waktu Zuhur telah masuk,
seperti biasa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menyampaikan
khutbah di hadapan para sahabatnya. Sementara para sahabat
mendengarkannya dengan seksama, mengikuti alur ajaran dan nasihat yang
disampaikan oleh sang guru besar, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa
Sallam.
Tiba-tiba suasana menjadi gaduh. Satu
persatu sahabat meninggalkan khutbah dan berebut untuk keluar dari
masjid. Bahkan Jabir bin Abdillah sebagaimana tersebut dalam riwayat
Muslim, ia berkata, “Tiada sahabat yang tetap setia mendengarkan khutbah
Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam melainkan hanya dua belas orang
saja, aku (Jabir), Abu Bakar dan Umar termasuk dari mereka yang tetap
berada dalam ruangan masjid.”
Tetapi beliau tetap meneruskan
khutbahnya. Beliau memperingatkan para sahabatnya seraya bersabda, “Demi
Dzat yang jiwaku berada dalam genggaman-Nya, sekiranya kalian satu
persatu meninggalkan khutbah, sehingga tiada tersisa seorang pun yang
tetap tinggal di tempat ini, niscaya kalian akan binasa terbakar api
neraka.” (HR. Ibnu Hibban dan Abu Ya’la).
Di luar masjid, tabuhan rebana bergema.
Apa pasal? keramaian di luar adalah merupakan sambutan meriah untuk
seorang sahabat yang baru datang dari negeri Syam dengan membawa barang
dagangannya. Mulai dari gandum, tepung dan segala keperluan sehari-hari.
Dan memang Madinah hari-hari itu sedang dilanda kekeringan dan
kekurangan makanan serta harga-harga yang melambung tinggi dikarenakan
langkanya persediaan sembako. Dagangan itu adalah milik saudagar kaya
dan pemilik wajah tampan di Madinah kala itu. Dia adalah Dihya bin
Khalifah al-Kalbi. Sabahat mulia yang selalu disambut kedatangannya oleh
keluarganya dengan tabuhan rebana, seperti disebutkan al-Qurthubi dalam
tafsirnya “al-Jami’ li ahkam al-Qur’an”.
Saudaraku,
Peristiwa inilah yang menyebabkan
turunnya ayat 11 dari surat al-Jumu’ah: “Dan apabila mereka melihat
perniagaan atau permainan, mereka bubar untuk menuju kepadanya dan
mereka tinggalkan kamu yang sedang berdiri (berkhutbah). Katakanlah,
“Apa yang ada di sisi Allah adalah lebih baik dari pada permainan dan
perniagaan,” dan Allah sebaik-baik pemberi rezki.”
Itulah Dihya al-Kalbi, seorang sahabat
yang tercatat dalam sejarah sebagai saudagar kaya di samping saudagar
terkenal lainnya; Utsman bin Affan dan Abdurrahman bin Auf. Namun nama
Dihya memang jarang disebut, tidak sesering Utsman dan Abdurrahman bin
Auf. Ketiganya adalah saudagar yang memiliki bisnis Internasional;
ekspor-impor Madinah, Syam dan Yaman.
Untuk itulah bukan sekali Dihya
mengadakan perjalanan ke luar negeri untuk menjalankan bisnisnya. Dihya
selalu ingat kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dalam
perjalanannya ke luar. Berkali-kali Dihya membawakan oleh-oleh khusus
buat Nabi. Seperti yang dia tuturkan, “Aku baru datang dari Syam, aku
membawakan oleh-oleh buat Nabi berupa buah, kacang, fustuk dan kue.”
Pada kesempatan lain Dihya membawakan
sandal dan sepatu buat Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Dan beliupun
memakai sandal dan sepatu itu hingga rusak dan sampai tidak layak pakai
lagi. Beliau menghargai pemberiannya dengan selalu memakai sandal dan
sepatu tersebut. Bukan itu saja, bahkan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa
Sallam juga menghadiahkan sesuatu untuk Dihya. Seperti budak Qibtiyah
dari Rasulullah untuk Dihya.
Itulah praktek nyata dari anjuran
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, “Saling bertukarlah hadiah
karena ia akan mengukuhkan kasih sayang di antara kamu.” (HR. Bukhari
dalam kitab “Al-Adab Al-Mufrad dan imam Malik).
Saudaraku,
Kesibukannya mengelola bisnis tidak
menghalangi Dihya untuk berkontribusi terbaik bagi perjunagn Islam dan
kaum muslimin. Dihya tidak pernah absen dari peperangan yang terjadi di
zaman Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, kecuali perang Badar saja.
Sementara sisanya ia selalu mengikutinya. Bahkan peperangan sengit saat
menaklukkan Yahudi di benteng pertahanan mereka yang terakhir, yaitu di
Khaibar tahun ke 7 H, juga diikuti oleh Dihya. Dalam peperangan itu
Dihya mendapat bagian tawanan perang yaitu Shafiyah bin Huyay. Setelah
Dihya mendapatkannya ada seorang sahabat yang mengatakan bahwa Shafiyah
tidak layak diberikan untuk Dihya, tetapi hanya layak diberikan untuk
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Maka sebagai ganti dari
kekecewaan Dihya, Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menukar seorang
Shafiyah yang kemudian diperistri oleh beliau dengan tujuh orang budak.
Dengan demikian, Dihya adalah seorang
saudagar sekaligus mujahid. Tentunya ini jarang terjadi. Karena saudagar
biasanya identik dengan gelimang harta kekayaan, yang membuat seseorang
takut mati. Dihya tahu bagaimana harus bersikap terhadap hartanya,
sehingga hartanya tidak merusak keimanan dan jihadnya.
Saudaraku,
Selain memiliki harta yang berlimpah dan
bisnis yang maju, Dihya juga diberikan Allah Subhanahu wa Ta’ala
kelebihan yang tidak dimiliki oleh sahabat lainnya, yaitu ketampanan
wajah dan keelokan paras. Untuk itulah Jibril a.s sering meminjam
wajahnya, jika datang kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dalam
bentuk menyerupai seorang laki-laki.
Para sahabat melihat Nabi Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam bersama Dihya. Mereka tidak tahu bahwa yang bersama
beliau sejatinya adalah Jibril a.s dan bukan Dihya. Sampai Nabi
Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam sendiri mengakui ketampanan Dihya, “JIbril
datang kepadaku dengan meminjam wajah Dihya al-Kalby, dan Dihya adalah
seorang lelaki yang sangat tampan,” kata beliau.
Kedatangan Jibril a.s dengan wajah Dihya
diketahui oleh sahabat dalam kesempatan yang berbeda-beda. Suatu saat
Aisyah radhiallahu ‘anha pernah berkata, “Ya Rasulullah, aku lihat
engkau baru saja berbincang-bincang sambil berdiri bersama Dihya
al-Kalbi.” Rasul Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menjawab, “Apakah memang
demikian yang kamu lihat?,” “Ya,” jawab Aisyah. Nabi Shallallahu ‘Alaihi
wa Sallam bersabda, “Yang baru saja kamu lihat adalah Jibril, dia
menyampaikan salam untukmu.” Aisyah berkata, “Wa alaihis salam
warahmatullah.”
Ummu Salamah radhiallahu ‘anha juga
pernah melihat Jibril ‘Alaihi Salam dalam bentuk Dihya. Ia menuturkan,
“Suatu hari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam berbincang-bincang dengan
seseorang.” Ketika orang itu pergi, Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
menghampiriku dan bertanya, “Tahukah kamu siapa yang baru saja
bersamaku?,” aku menjawab, “Dihya al-Kalbi.” Aku tidak tahu kalau
sebenarnya yang datang itu adalah Jibril Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam,
kecuali setelah aku mendengar Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
bercerita tentang obrolan kami kepada para sahabatnya.”
Selain kedua istri Nabi Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam ini, ada juga beberapa orang sahabat yang sempat
melihat Jibril a.s dalam bentuk wajah Dihya. Seperti yang terjadi
menjelang keberangkatan para sahabat menuju perkampungan Bani Quraidzah.
Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bertanya, “Apakah baru saja ada
orang yang lewat?,” para sahabat menjawab, “Ya, wahai Rasulullah, yang
baru saja lewat adalah Dihya bin Khalifah al-Kalbi, yang mengendarai
kuda berwarna putih. Di atas kudanya ada pelana yang dilapisi oleh kain
yang terbuat dari sutera.” Kemudian Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa
Sallam bersabda, “Itu tadi adalah Jibril yang diutus untuk mendatangi
kaum Yahudi bani Quraizhah untuk menggetarkan benteng-benteng mereka dan
membuat mereka takut.”
Dihya dengan segala kesibukan dan
kelebihannya itu, ternyata masih menyimpan keahlian berdiplomasi. Maka
kepergiannya suatu kali ke Syam, bukan saja membawa barang dagangan.
Tetapi ia mendapat tugas besar untuk menyampaikan surat Rasulullah
Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam kepada kaisar Romawi (Heraklius). Surat
yang berisi ajakan untuk memeluk Islam kepada kaisar yang memerintah
salah satu negara super power kala itu.
Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
mengirim surat ke berbagai penguasa. Dan tentunya Nabi Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam mempunyai pandangan dan pilihan yang tepat terhadap
para sahabat yang cocok untuk menyampaikan surat itu, dilihat dari
berbagai sudut. Sudut kemampuan berdiplomasi, sudut penguasa yang akan
dihadapi dan seterusnya. Dan untuk menghadapi tipe kaisar, memang
Dihya-lah orang yang paling pantas untuk menjalankan tugas mulia ini.
Ternyata kaisar mengakui kerasulan Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa
Sallam. Kalaulah bukan karena gengsi sebagai seorang pemimpin besar,
pastilah dia sudah mengikrarkan dua kalimat syahadat.
Dihya menghembuskan nafas yang terakhir
pada tahun 45 H, ketika kaum muslimin saat itu dipimpin oleh khalifah
Mu’awiyah bin Abi Sufyan r.a.
Saudaraku,
Mari kita urai buah pelajaran dan
pengajaran yang dapat kita petik dari kisah sahabat yang dikenal dengan
ketampanan wajahnya ini.
Pertama, walau Nabi
Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan sebagian sahabat memilih untuk hidup
miskin (baca; sederhana), karena lebih cepat membuka jalan ke surga.
Bahkan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pernah bersabda,
“Orang-orang yang miskin itu lebih dahulu masuk surga sebelum
orang-orang kaya dengan jarak lima ratus tahun.” (HR. Ahmad, Tirmidzi,
Ibnu Majah, dan Nasa’i).
Tetapi bukan berarti kekayaan akan
menutup jalan ke sana. Bahkan ada pintu-pintu surga yang harus dibuka
dengan kekayaan. Seperti pintu infaq, sedekah dan zakat, hanya bisa
dibuka dengan harta. Maka Dihya adalah sahabat yang lebih memilih jalan
kekayaan untuk membuka pintu surga.
Kedua, iman dan
kualitas amal shalih sebagai mahar mempersunting bidadari di surga.
Tidak semua orang kaya akan masuk neraka dan tidak pula semua orang
miskin dijamin masuk surga. Begitu pula sebaliknya. Yang harus kita
hindari adalah kekayaan yang melalaikan atau kemiskinan yang
menjerumuskan. “Ya Allah, aku memohon kepada-Mu petunjuk, ketakwaan,
kehormatan dan kekayaan,” demikianlah do’a Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa
Sallam dalam berbagai kesempatan, terdapat dalam shahih Muslim.
Ketiga, perhatian dan
ketulusan cinta hendaknya kita berikan kepada para da’i di jalan Allah
Subhanahu wa Ta’ala. Salah satu bukti perhatian dan ketulusan cinta kita
kepada mereka adalah memberi buah tangan pada momen-momen tertentu,
seperti sewaktu kita pulang dari bepergian.
Keempat, paras yang
elok dan ketampanan wajah tidak akan berarti apapun, jika tidak dihiasi
dengan keindahan akhlak. Bahkan wajah rupawan bisa melemparkan si
empunya wajah ke dalam neraka, bila ia tidak sadar bahwa hal tersebut
merupakan ujian dari Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Kelima, menjadi orang
istimewa di mata Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, tidak harus
menjadi orang yang kesohor di hadapan publik. Tapi karya nyata, dan
kontribusi maksimal yang dapat kita persembahkan untuk kemenangan Islam
dan kaum muslimin itulah yang menjadi parameternya. Tentunya setelah
iman yang mengagumkan.
Saudaraku,
Sanggupkah kita menjadi Dihya al-Kalbi
di zaman kita ini?. Bukan ketampanan wajahnya. Tapi kesuksesan dunia
yang menginspirasi keberuntungan di akherat sana. Semoga kita mampu
memadukan dua kesuksesan tersebut. Amien. Wallahu a’lam bishawab..
Metro, 14 Januari 2016
Fir’adi Abu Ja’far
Fir’adi Abu Ja’far