Oleh : Cahyadi Takariawan
“Si Gila,” tulis Nietsche, “Tidakkah kalian dengar tentang si Gila yang menyulut lentera pada jam-jam pagi yang benderang; ia lari masuk pasar dan terus berteriak: ‘Saya mencari Tuhan! Saya mencari Tuhan!’ Si Gila tertawa terbahak-bahak kegirangan di tengah-tengah orang banyak yang berdiri. Mereka sudah tidak percaya kepada Tuhan. Seorang di antara mereka berkata: ‘Apakah engkau ini telah kehilanganNya?’ Yang lain berucap: ‘Apakah Ia (Tuhan) telah tersesat seperti seorang bocah? Atau bersembunyikah Ia? Takutkah Ia kepada kita? Mengembarakah Ia? Atau Ia telah berpindah?’ Begitulah ocehan mereka sambil tertawa.”
“Si Gila lalu meloncat ke tengah mereka dan menembus mereka bersama suluhnya. Ia berteriak, ‘Ke manakah Tuhan larinya?’ Aku akan jelaskan kepada kalian. Kita telah membunuhnya–kalian dan aku. Kita semua adalah pembunuh…. Bukankah lentera itu harus dinyalakan di kala pagi? Belumkah kita dengar para penggali pusara yang sedang mengubur Tuhan? Tuhan telah mati. Tuhan tetap mati!”
God is dead. God remains dead! Demikian teriak Nietsche menggambarkan kegilaan zaman, sebelum akhirnya ia sendiri mengalami kegilaan total sampai saat ajal menjemputnya tahun 1900. Kisah di atas yang dikutip oleh Prof. Dr. Ahmad Syafi’i Ma’arif (dalam: “Islam dan Politik, Upaya Membingkai Peradaban”, Pustaka Dinamika, Cirebon, 1999) menggambarkan betapa humanisme sekuler modern merupakan petaka yang amat mengerikan bagi sejarah kemanusiaan. Bagi Nietsche, bukan saja Tuhan tidak ada, melainkan prinsip tata tertib dan keteraturan alam semesta dan manusia juga tidak ada.
Kegelisahan peradaban modern telah diungkap oleh banyak pena, berikut berbagai hujatan yang diarahkan kepada “sebab-sebab” pemicu munculnya kegelisahan tersebut. Tak kurang dari Toynbee, ia melancarkan kritik habis-habisan terhadap peradaban modern yang dianggapnya telah melahirkan materialisme dan kegelisahan spiritual yang amat dahsyat. Ia menunjuk dua kali perang dunia serta sistem totalitarianisme sebagai anak kandung yang lahir dari rahim abad sekuler ini.
Dengan ungkapan yang sedikit berbeda, Solzhenitsyn, seorang sastrawan Rusia, melihat peradaban modern sebagai kekuatan yang menghancurkan kriteria baik dan buruk. Dalam bukunya, The Gulag Archipelago, ia mempertanyakan hal yang amat mendasar, “Apabila kriteria baik dan buruk sudah tersingkir, adakah lagi yang masih tersisa pada diri manusia itu?” Solzhenitsyn menerawang ke depan, baginya iklim kemanusiaan semakin hari semakin meredup saja. Manusia kehilangan sesuatu yang amat berharga dalam dirinya, dan akhirnya merusakkan banyak sendi kehidupan. Ini semua, menurut Roger Geraudy, disebabkan oleh humanisme renaisanse.
“Kita lihat bahwa malapetaka yang dihadapi oleh kemanusiaan sekarang, pertama-tama dan terutama sekali adalah malapetaka kemanusiaan. Kemanusiaan adalah spesies yang sedang runtuh. Ia sedang mengalami metamorfosis, dan persis seperti kupu-kupu yang lepas dari kepompong, ia berada dalam bahaya akibat keberhasilan kecerdasan dan usahanya,” catat Ali Syari’ati mengkritisi kondisi kemanusiaan zaman modern ini.
“Yang mengherankan lagi,” tambah Syari’ati, “sepanjang sejarah, kemanusiaan biasa dikorbankan untuk cita-cita pembebasannya sendiri. Dalam sejenis pusaran sejarah, rindu akan pembebasan telah menempa rantai belenggu manusia, dan dengan menawarkan harapan untuk bebas malah mengantarkan manusia ke dalam jebakan!”
Kegelisahan dunia modern memang disorot dengan sangat tajam oleh banyak ahli. Fritjof Capra (2007), misalnya, ia mengawali tulisannya dalam buku The Turning Point dengan analisis tentang krisis global saat ini. Menurutnya, krisis ini belum pernah terjadi sebelumnya dalam sepanjang sejarah umat manusia:
“Pada awal dua dasawarsa terakhir abad keduapuluh, kita menemukan diri kita berada dalam suatu krisis global yang serius, yaitu suatu krisis kompleks multidimensional yang sei-seginya menyentuh setiap aspek kehidupan, kesehatan dan mata pencaharian, kualitas lingkungan dan hubungan sosial, ekonomi, teknologi dan politik. Krisis ini terjadi dalam dimensi intelektual, moral dan spiritual; suatu krisis yang belum pernah terjadi sebelumnya dalam catatan sejarah umat manusia” (Fritjof Capra, 2007).
Bahkan Daoed Joesoef menengarai adanya “kehampaan makna” yang sangat membahayakan kehidupan bahkan peradaban manusia, yang tengah menggejala dalam tubuh masyarakat dunia saat ini:
“Dengan semakin pesatnya kemajuan ilmu pengetahuan ternyata disamping meningkatnya manfaat dan kebaikan, semakin banyak pula kerugian dan keburukan yang ditimbulkannya. Daftar dari cacat-cacat ilmu pengetahuan modern ini dapat dimulai dengan alat membunuh yang telah dikutuk oleh semua orang, yaitu bom nuklir, senjata kimia dan lain-lain, sampai artikel yang diperdebatkan aspek moralnya, seperti bayi tabung, rekayasa genetik-sintetik, obat bius, behavioral psichology, reductionist materialism, dan lain-lain”.
Lebih lanjut Daoed Joesoef menegaskan, “Di samping semua kebutuhan tersebut, masih ada hal lain yang mengganggu pikiran, suatu kehampaan yang pantas dicemaskan, mengingat ia adalah produk langsung dari sikap ilmiah para ilmuwan itu sendiri dan berhubung dengan itu penanganannya bukan merupakan tugas politik. Kehampaan ini mencemaskan karena bekerjanya halus seperti racun, bukan membusukkan daging dan menghancurkan tulang, tetapi melumpuhkan jiwa manusia. Hal yang dicemaskan ini adalah kehampaan makna dari kegersangan psikis” (Daoed Joesoef, 1990).
Ada dua kecenderungan yang senantiasa ditampakkan oleh sejarah secara ekstrem: satu sisi kecenderungan kepada kebenaran, sisi lain cenderung pada kebatilan. Satu bagian bekerja konstruktif, bagian lain bekerja destruktif. Sebagaimana sejarah kegelapan dan pencerahan, sejarah kejahiliahan dan kejayaan adalah dua sisi sejarah yang akan terus berhadap-hadapan.
Sejarah peradaban materialisme telah diungkapkan oleh Al Qur’an sebagai dinamika kontemporer yang senantiasa mengemuka dari zaman ke zaman. Tiga peradaban materialisme terdahulu telah diungkapkan Al Qur’an sebagai sebuah pemberitaan mengenai usang dan rapuhnya paham serba materi yang mereka miliki. Perhatikan bagaimana Allah Ta’ala mencatat sejarah kesombongan dan akhirnya kejatuhan mereka:
“Apakah kamu tidak memperhatikan bagaimana Tuhanmu telah berbuat kepada kaum ‘Ad? (Yaitu) penduduk Iram yang mempunyai bangunan-bangunan yang tinggi, yang belum pernah dibangun (suatu kota) seperti itu di negeri-negeri lain, dan kaum Tsamud yang memotong batu-batu besar di lembah, dan kaum Fir’aun yang mempunyai pasak (tentara) yang banyak, yang berbuat sewenang-wenang dalam negeri, lalu mereka berbuat banyak kerusakan dalam negeri itu. Karena itu Tuhanmu menimpakan kepada mereka cemeti adzab. Sesungguhnya Tuhanmu benar-benar mengawasi” (Al Fajr: 6-14).
Sebagaimana peradaban materialisme ‘Ad, Tsamud dan Fir’aun telah diabadikan kisahnya dalam Al Qur’an, peradaban profetik para nabi dan rasul terdahulu juga dikisahkan sebagai sesuatu yang akan senantiasa mengemuka sepanjang zaman. Allah Ta’ala mengabadikan kisah pengepungan peradaban Fir’aun terhadap peradaban profetik Nabi Musa as, tatkala Musa dan pengikutnya dikejar-kejar oleh Fir’aun bersama tentara kerajaan.
“Maka setelah kedua golongan itu saling melihat, berkatalah pengikut-pengikut Musa: Sesungguhnya kita akan benar-benar tersusul! Musa menjawab: Sekali-kali tidak akan tersusul, sesungguhnya Tuhanku besertaku, kelak Dia akan memberi petunjuk kepadaku” (Asy Syu’ara: 61-62).
Sedemikian tinggi makrifat Nabi Musa as terhadap Allah Ta’ala, membuatnya merasa senantiasa terjaga. Tidak ada kekhawatiran pada dirinya menghadapi kekuatan-kekuatan yang mengancam. Sangat kokoh jawaban Musa atas kekhawatiran kaumnya, “Sesungguhnya Tuhanku besertaku, kelak Dia akan memberi petunjuk kepadaku.” Demikian pula Nabi Muhammad saw, telah diabadikan kisahnya tatkala dikejar masyarakat paganis, Quraisy:
“Jika kamu tidak menolongnya (Muhammad), maka sesungguhnya Allah telah menolongnya (yaitu) ketika orang-orang kafir (musyrikin Mekah) mengeluarkannya (dari Mekah) sedang dia salah seorang dari dua orang ketika keduanya berada dalam gua, di waktu dia berkata kepada temannya: ‘Janganlah kamu berduka cita, sesungguhnya Allah beserta kita. Maka Allah menurunkan ketenanganNya kepada (Muhammad) dan membantunya dengan tentara yang kamu tidak melihatnya” (At Taubah: 40).
Menghadapi ancaman serius dari masyarakat paganis yang mengejar tersebut, ada keyakinan luar biasa yang hanya dimiliki oleh masyarakat berperadaban makrifat: “Janganlah kamu berduka cita, sesungguhnya Allah beserta kita.”
Demikianlah dua peradaban telah berdiri berhadapan sepanjang sejarah kemanusiaan. Sebuah peradaban tengah mengubur Tuhan, satu lagi tengah berjalan menuju Tuhan. Peradaban materialisme yang menjadikan serba materi sebagai landasan berpijak, dan peradaban profetik yang menjadikan keimanan kepada Allah dan kenabian sebagai landasan berpijak. Dari waktu ke waktu, hingga berakhirnya zaman nanti.
Kekuasaan peradaban materialisme di muka bumi saat ini yang menyebabkan kegelisahan zaman. Dunia hanya bermata materi, tanpa mata ruhani. Dampaknya, dunia berdiri tidak seimbang. Mudah runtuh, mudah jatuh, sangat rapuh……
sumber: http://cahyadi-takariawan.web.id
0 Komentar:
Posting Komentar
Kehormatan buat kami jika selesai baca Anda beri komentar atas Artikel ini....tapi, Mohon Maaf kawan Komentarnya yang sopan ya....he..he..he..