Tapi, menang-kalah bukanlah faktor giliran. Tak ada kalah dalam kamus perjuangan seorang mujahid dakwah ilaallah. Ketika seorang muslim berjuang kalimatullah hiya ulya, maka hari-harinya akan terisi oleh kemenangan. Kemarin, hari ini, dan esok adalah kemenangan. Boleh jadi dia luka, di-asing-kan, atau bahkan terbunuh.
Lukanya akan menjadi saksi. Lukanya adalah bintang seperti emblem penghargaan di baju seorang jenderal. Pengasingan adalah pariwisatanya. Pengasingan adalah penyebaran dakwah. Terbunuhnya adalah penghargaan tertinggi, syahid. Disitu dia mendapat kemuliaan, kemuliaan dan surganya.
Umat Islam memiliki sejarah kemenangan yang panjang. Deretan orang-orang perkasa. Pionir dan pembuka daerah. Begitu banyaknya deretan pahlawan, sehingga tak perlu lagi menciptakan tokoh imajinasi atau animasi seperti, Superman, Spiderman atau Batman.
Lihat bagaimana sosok Khalid bin Walid yang tak pernah kalah. Pasukan kecil yang mampu mengalahkan pasukan besar. Baik segi peralatan maupun jumlah. Panglima perang semuda Usamah. Strategi perang dan keberanian Al-Fatih sang penakluk Eropa. Wali Songo mengatur kekuasaan dalam bentuk kerajaan. Hingga Diponegoro yang berjuluk, Amirulmukminin Panotogomo Khalifatullah Tanah Jawi.
Perang Diponegoro sering disebut Perang Jawa. Waktu itu yang menjabat Gubernur Belanda adalah Herman Willem Daendels. Belanda baru saja dikalahkan Napoleon Bonaparte Prancis. Kemudian Inggris berhasil memukul balik lewat Stanford Raffless. Jangan ditanya siapa yang paling kejam: Inggris, Prancis, atau Belanda.
Sebuah naskah Dr. Simuh dari UIN Yogyakarta mengabarkan bahwa Diponegoro mendapat bantuan dan assitensi perang dari Khalifah Turki Utsmani. Kita rindu seperti sajak Chairil Anwar:
Kami rindu kan Tuan
dengan keris di kiri dan berselempang jihad yang tak pernah mati.
Tak mungkin mengalahkan lewat fisik, akhirnya menempuh jalur licik. Diponegoro dibuang ke Tondano. Tapi siapa bisa mengalahkan semangat. Agama menurut orang jawa dalam bahasa kromo inggil adalah agomo. Tapi, dalam tata krama Kromo Hinggil, agama adalah Ageman. Yang harus dipakai. Agama adalah pakaian. Anda bayangkan manusia sehari saja tanpa pakaian? Maka dakwah pun menyebar ke Tondano. Jejak itu jelas terpatri pada kaum Jaton. Jawa Tondano.
Hingga dakwah berlanjut ke masa perebutan kekuasaan antara kaum muslimin dengan penjajah Belanda yang kafir. Ke masa Samanhudi, Tjokroaminoto dan Agus Salim. Pertarungan ideologi terus berlanjut. Hingga ke konsep negara. Laboratorium dakwah sudah pernah mencoba lewat jalur kekuasaan dengan cara militer seperti dijalankan oleh Darul Islam. Lewat jalur parlemen oleh Muhammad Natsir.
Begitulah lembar sejarah mengajarkan: kita adalah barisan orang-orang menang, tidak pernah kalah dan tidak mau mengalah. Meski dipecundangi di era Orla dan ditekan di era Orba, aktivis Islam terus mencari ruangnya. Maka dakwah bawah tanah pun menjadi pilihan.
Era Tanzhimi dilewati berlanjut ke Mihwar Sya’bi. Akhirnya era reformasi menjemput. Duhai kemanakah akal raksasa hati sekeras baja dan langkah perkasa yang tak goyah oleh kilatan pedang, uang dan goyangan perempuan?
Gerakan Islam sempat terjeda oleh isu terorisme. Perang Gaza kembali menyadarkan dunia, bahwa umat Islam tak bisa dikalahkan dengan fisik. Tokh, meski umat Islam seperti anak ayam kehilangan induk. Meski seperti hidangan diatas nampan. Umat Islam tetap tak bisa ditaklukkan. Selalu ada yang melawan.
Meski antar umat Islam sendiri saling cakar-cakaran. Karena masing-masing memiliki kepentingan. Di pentas politik ada Arab Saudi, Mesir, Iran dan Libya yang berebut kepentingan. Di Indonesia masih bingung antara memilih demokrasi sebagai sarana dan menolak sama sekali.
Namun bagi aktivis dakwah sejati, tak ada kamus cuti apalagi kalah. Bisa jadi saat ini dia mendapat cemooh atau hinaan. Bahkan sangat mungkin barisannya compang-camping. Tapi, dakwah akan tetap berjalan. Hingga menemui masa kematangan dan bisa dipetik untuk dinikmati. Saat itulah manusia akan berbondong-bondong kembali masuk ke barisan dakwah.
Dunia saat ini menunggu siapakah yang akan menjadi juru bicara. Indonesia sebagai negara dengan jumlah penduduk muslim terbesar sangat mungkin. Persoalannya adalah negara ini juga memiliki ranking di bidang korupsi dan kemalasan. Inilah yang mengganggu kepercayaan itu.
Maka, masuk ke sebuah barisan yang kokoh dan didalamnya tak henti dengan tausyiah menjadi keharusan. Uzlah belum menjadi pilihan. Berdiri kokoh dalam barisan dan jangan keluar dari medan pertarungan. Maka masuk ke dalam sistem itu, kemudian berputar kencang. Tentu sistem itu akan membawanya ke tempat yang kita tuju.
Hari demi hari Allah pergilirkan. Setelah Barat berkuasa maka pandanglah ke timur. Barat adalah tempat matahari terbenam. Dipenuhi warna abu-abu sebelum gelap. Gelap adalah tempat para setan dan kejahatan mencuri kesempatan.
Sedangkan Timur adalah tempat matahari terbit. Bening embun adalah harapan dari kepingan hati yang tak lelah berdoa. Setitik cahaya akan muncul sebelum akhirnya terang benderang. Saat itu orang yang dulu mencibir akan kembali berbondong-bondong masuk kembali ke barisan dakwah.
Supaya Anda mendapat posisi di dalam barisan. Janganlah Anda bertanya, apakah bagian yang saya terima? Tapi berilah, berkontribusilah. Meski itu hanya sebuah senyuman. Karena tak hanya Anda seorang dunia sedang manunggu. Siapakah juru bicara umat Islam?
Maka pandanglah ke timur.
sumber: sabili
0 Komentar:
Posting Komentar
Kehormatan buat kami jika selesai baca Anda beri komentar atas Artikel ini....tapi, Mohon Maaf kawan Komentarnya yang sopan ya....he..he..he..