Baik dalam kaitannya dengan kebutuhan
psikologis akan kelembutan, kesetiaan, cinta dan kasih sayang, maupun
dalam kaitannya dengan kebutuhan biologis terhadap perempuan, selalu
tersisa sebuah syubhat yang harus dijelaskan.
Kedua jenis kebutuhan itu tidak pernah
berkembang menjadi ketergantungan yang melumpuhkan. Cinta yang besar
kepada istri, misalnya, baik pada sisi psikologisnya maupun pada sisi
biologisnya, tidak boleh berkembang menjadi ketergantungan. Dan itulah
yang buru-buru diingatkan oleh Al-Qur’an, bahwa keluarga, pada suatu
ketika seperti ini, dapat menjadi musuh bebuyutan.
Ketergantungan adalah tanda kelemahan
jiwa. Dan seseorang tidak akan pernah menjadi pahlawan dengan jiwa yang
lemah. Suatu saat Abu Bakar As-Shiddiq pernah menyuruh anaknya
menceraikan istrinya. Sebabnya adalah sang istri terlalu cantik dan sang
anak terlalu mencintainya, bahkan kadang ketinggalan shalat jama’ah
karena berat berpisah dengan istrinya.
Pada kesempatan lain, Umar bin Khattab
juga pernah menyuruh puteranya, Abdullah Bin Umar, satu dari tujuh ulama
besar sahabat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, untuk
menceraikan istrinya. Alasannya sama, karena ia terlalu mencintai
istrinya. Walaupun Abdullah bin Umar tetap mempertahankan istrinya,
tetapi sang ayah menganggap itu sebagai kelemahan jiwa.
Maka, ketika seorang sahabat mengusulkan
kepada Umar untuk mencalonkan puteranya itu, Abdullah, sebagai
khalifah, beliau menjelaskan beberapa alasan penolakannya, diantaranya,
katanya, “Saya tidak akan pernah menyerahkan amanah ini kepada seorang
laki-laki yang lemah, yang bahkan tidak berdaya menceraikan istrinya.”
Jadi, syahwat kepada perempuan dan
kebutuhan akan kelembutan, kesetiaan, cinta dan kasih sayang bersinergi
dengan baik bersama rasionalitas sang pahlawan. Maka, mereka melepaskan
sisi kekanakan mereka dengan polos, atau menumpahkan syahwat mereka
dengan sempurna, tetapi mereka tidak berubah menjadi seorang pria
melankolik.
Mereka mungkin romantis, tetapi tidak melankolik.
Perbedaan itu akan terlihat pada,
misalnya, peristiwa kematian atau perceraian. Mereka mungin sangat
bersedih, tetapi mereka tidak larut. Mereka mungkin terguncang, tetapi
tidak meratap. Kenangan ada ruangnya dalam ingatan mereka, tetapi pesta
sejarah harus dilanjutkan. Mereka memiliki kebesaran jiwa yang
mengalahkan sifat melankolik mereka.
Maka, walaupun Rasulullah saw sangat
mencintai Khadijah, beliau akhirnya menikah lagi dengan Saudah dan
Aisyah pada tahun kesebelas. Kesedihan dan ingatannya pada Khadijah
tidak hilang sama sekali. Yang terjadi adalah rasionalitas dan realisme
mengalahkan segalanya.
0 Komentar:
Posting Komentar
Kehormatan buat kami jika selesai baca Anda beri komentar atas Artikel ini....tapi, Mohon Maaf kawan Komentarnya yang sopan ya....he..he..he..