1. Definisi nama dan istilah yang syar’I merujuk pada Al Qur’an, hadits, dan atsar sahabat
Kata iman, kufur, dan sejenisnya adalah kata-kata syar’i yang wajib 
dikembalikan kepada Al Qur’an, hadits, dan atsar dalam memahaminya. Nabi
 Saw. telah menjelaskannya, sehingga tidak memerlukan lagi argumentasi 
tentang usul-usul dan akar katanya serta bukti pemakaian istilah itu 
oleh bangsa arab dan semisalnya. Karenanya, merujuk kepada penjelasan 
Allah dan Rasul-Nya dalam memahami kandungan makna istilah ini adalah 
suatu keharusan, karena sudah jelas dan mencukupi. Sedangkan berpaling 
dari manhaj ini merupakan awal jalan menuju penyimpangan dan bid’ah.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiah mengatakan,”Perlu diketahui bahwa 
kata-kata yang terdapat dalam Al Qur’an dan hadits jika telah diketahui 
maksudnya dari keterangan Nabi, maka tidak diperlukan lagi pencarian 
dalil dengan ucapan ahli bahasa atau lainya.”[109]
2. Iman terdiri dari qaul (ucapan) dan ‘amal (perbuatan)
Qaul maksudnya adalah ucapan hati, yakni mengetahui, membenarkan, dan
 mengakui, juga ucapan lisan, yakni mengucapkan dua kalimat syahadat dan
 mengakui konsekuensinya. Sedangkan ‘amal maksudnya adalah perbuatan 
hati, yakni menerima, mematuhi, mencintai dan ikhlas, dan perbuatan 
anggota badan yakni mengerjakan amal-amal anggota badan yang diwajibkan 
Allah kepada hamba-Nya.
Imam Bukhari mengatakan,”Saya telah bertemu dengan lebih dari seribu 
ulama di berbagai wilayah, saya tidak pernah melihat ada di antara 
mereka yang berbeda pendapat bahwa sesungguhnya iman adalah qaul dan 
‘amal, bisa bertambah dan bisa berkurang.”[110]
Dalam kitabnya Syarah Ushul I’tiqad Ahl As Sunnah wa Al Jama’ah, Imam
 Allalikai menukil pengertian ini dari sejumlah besar ulama, di 
antaranya adalah Imam Syafi’i, Imam Ahmad bin Hambal, Ishaq bin Rawahah,
 Abu Ubaid, Abu Zar’ah, dan lainya.[111]
3. Pokok iman adalah membenarkan berita dan melaksanakan perintah
Barangsiapa tidak membenarkan dengan hatinya dan tidak melaksanakan 
pesan Islam, maka ia kafir. Karena itulah ketika sekelompok orang Yahudi
 datang kepada Rasulullah Saw. dan berkata, “Kami bersaksi bahwa 
sesungguhnya engkau adalah utusan Allah,” tidaklah serta merta mereka 
menjadi Islam, sebab mereka mengatakannya dalam rangka memberikan apa 
yang di dalam hati mereka, “Kami mengetahui dan meyakini bahwa engkau 
adalah utusan Allah”. Karena itu, Rasulullah bertanya,”Mengapa kalian 
tidak mau mengikutiku?” Mereka menjawab,”Kami takut orang-orang Yahudi.”
Dari keterangan ini dapat dipahami bahwa semata-mata mengetahui dan 
menceritakan pengetahuan belumlah disebut iman, sampai keimanannya 
tersebut diucapkannya sebagai pernyataan yang  mengandung komitmen dan 
kepatuhan serta pemberitaan tentang keyakinan dalam hatinya. Orang-orang
 munafik berkata dengan dusta untuk memberitahukan imannya, sementara 
dalam batinnya mereka kufur. Sedangkan kelompok Yahudi  yang mengatakan 
keimanan tanpa disertai komitmen dan kepatuhan, pada hakekatnya adalah 
orang-orang kafir lahir dan batin. Begitu juga Abu Thalib, banyak 
riwayat mengatakan bahwa ia telah mengetahui kenabian Muhammad Saw. dan 
berkata,”Sungguh aku tahu bahwa agama Muhammad adalah sebaik-baik agama 
yang dianut manusia.” Akan tetapi, ia menolak untuk mengatakan tauhid 
dan kenabian, karena cintanya kepada agama nenek moyang dan khawatir 
dihina kaumnya. Oleh karena ilmunya di dalam batin tidak disertai 
kecintaan dan kepatuhan, sehingga ia tetap mencintai kebatilan dan 
membenci kebenaran, maka ia tidak menjadi beriman.”[112]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiah mengatakan, “telah diketahui bahwa iman 
adalah iqrar (pengakuan), bukan sekadar pembenaran. Iqrar mengandung 
ucapan hati, yaitu pembenaran dan perbuatan hati, yaitu kepatuhan. 
Maksudnya membenarkan apa yang diberitakan rasul dan mematuhi apa yang 
diperintahkannya, sebagaimana iqrar terhadap Allah berarti mengakui-Nya 
dan beribadah kepada-Nya. Kufur adalah tidak adanya iman, baik disertai 
pendustaan, kesombongan, pembangkangan, atau keberpalingan. Barangsiapa 
di dalam hatinya tidak terdapat pembenaran dan kepatuhan, maka ia adalah
 kafir.”[113]
Di tempat lain ia menjelaskan,”Tidak ada bedanya antara orang yang 
meyakini Allah sebagai Tuhan dan Dia telah memerintahkan keyakinan ini 
kepadanya, kemudian ia bersaksi bahwa dirinya tidak mau patuh kepada-Nya
 karena perintah-Nya dianggap tidak benar, dengan orang yang meyakini 
bahwa Muhammad adalah utusan Allah dan ia wajib diikuti dalam 
pemberitaan dan perintah, namun ia lalu dicaci maki atau mencela 
sebagian dari perbuatannya, atau ia merendahkan martabatnya dengan 
sesuatu yang tidak sepantasnya disandang seorang rasul.
Iman adalah perkataan dan perbuatan. Barangsiapa meyakini Allah dalam
 sifat ketuhanan-Nya dan meyakini Muhammad sebagai hamba dan Rasul-Nya, 
kemudian tidak mengiringi keyakinannya dengan sikap mengagungkan dan 
memuliakan sebagaimana keadaan hati yang menampakkan pengaruhnya pada 
anggota badan, bahkan ia menyertainya dengan sikap meremehkan dan 
merendahkan dengan ucapan dan perbuatan, maka adanya keyakinan itu sama 
dengan tidak adanya, karena telah menjadi rusak dan tidak membawa 
manfaat dan kebaikan.”[114]
Ibnul Qayyim mengatakan,”sesungguhnya iman bukanlah sekadar 
pembenaran, akan tetapi iman adalah pembenaran yang mendatangkan 
ketaatan dan kepatuhan. Begitu juga petunjuk, ia bukanlah sekedar 
pengetahuan dan pemahaman tentang kebenaran, melainkan pengetahuan 
tentang kebenaran yang menimbulkan ketaatan dan pengalaman yang menjadi 
konsekuensinya. Kalaupun yang pertama disebut petunjuk, maka bukanlah 
petunjuk sempurna yang membuat seorang mendapat hidayah. Sebagaimana 
keyakinan yang hanya berupa pembenaran semata-mata, walaupun disebut 
pembenaran namun bukanlah pembenaran yang menjadikannya seseorang 
disebut beriman. Telaahlah prinsip ini dan perhatikanlah dengan 
seksama.”[115]
4. Berpaling dari hukum syariat dan mendustakannya, merupakan kufur besar.
Telah menjadi jelas bahwa iman adalah pengakuan terhadap apa yang 
dibawa oleh Rasulullah Saw. dengan pembenaran dan kepatuhan. Barangsiapa
 tidak terdapat pembenaran dan kepatuhan di dalam hatinya, ia adalah 
kafir. Atas dasar ini, maka menolak hukum syariat adalah seperti 
mendustakannya. Menolak hukum syariat makasudnya adalah tidak 
menerimanya dan menolak untuk berkomitmen dengannya sebagai agama, untuk
 beribadah kepada Allah sebagai hukum yang wajib diikuti dalam 
menghadapi perselisihan. Ia berkaitan dengan penentangan kepada syariat 
dan penolakan mengikutinya sejak awal. Oleh karena itu, ia dibedakan 
dari perbuatan maksiat yang dilakukan terus menerus tanpa taubat, karena
 ini berkaitan dengan keengganan menerapkan hukum, sedangkan penolakan 
berkaitan dengan penentangan penerapan hukum syariat.
Allah berfirman,
Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para 
malaikat,”Sujudlah kalian kepada Adam,” maka sujudlah mereka kecuali 
iblis; ia enggan dan takabur dan ia termasuk golongan orang-orang yang 
kafir (Al Baqarah:34)
Kekafiran iblis bukanlah karena mendustakan karena ia berbicara 
langsung dengan Allah, akan tetapi karena penentangan dan kesombongan.
Allah berfirman
Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakikatnya) tidak beriman hingga 
mereka menjadikan kamu sebagai hakim dalam perkara yang mereka 
perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka 
terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan 
sepenuhnya (An Nisa: 65)
Dalam tafsir Ahkam Al Qur’an, Imam Al Jasshash mengatakan,”Ayat ini 
menunjukan bahwa orang yang menolak salah satu perintah Allah atau 
perintah Rasul-Nya Saw., maka ia telah keluar dari Islam, baik ia 
menolaknya karena keraguan maupun karena tidak mau menerimanya dan tidak
 patuh terhadapnya. Ini membuktikan kebenaran sikap yang diambil para 
sahabat dalam menghukumi murtadnya orang-orang yang menolak membayar 
zakat, serta memerangi mereka dan menjadikan anak isterinya sebagai 
tawanan, karena Allah telah menetapkan bahwa orang yang tidak tunduk 
kepada putusan dan hukum nabi, bukanlah termasuk orang beriman.”[116]
Perkataan Syaikhul Islam Ibnu Taimiah yang terdahulu 
menegaskan,”kufur adalah tidak adanya keimanan, baik disertai pendustaan
 atau kesombongan, pembangkangan atau keberpalingan. Maka dari itu, 
barangsiapa di dalam hatinya tidak terdapat sikap pembenaran dan 
kepatuhan, ia adalah orang kafir.”
Syaikh Abdurrahman Abdul Khaliq mengatakan,”Hukum tentang ini tidak 
ada perbedaan pendapat sama sekali, yakni hokum tentang kafirnya orang 
yang menolak hukum Allah yang tertera dalam kitab-Nya atau ditegaskan 
oleh rasul-Nya, bahwa syariat tersebut tidak sesuai dengan kebutuhan 
manusia dan tidak selaras dengan tuntutan masa, kejam, dan sejenisnya. 
Karena mencela syariat pada hakikatnya adalah mencela peletak syariat, 
padahal yang meletakkan syariat dan menetapkannya adalah Allah Swt. 
Tidak ada seorang Muslim pun yang meragukan bahwa mencela Allah atau 
menisbatkan sifat kekurangan atau kebodohan kepada-Nya adalah kekafiran 
dan keluar dari Islam. Oleh karena itu, persoalan utama orang-orang yang
 menolak hukum Islam adalah mereka bukanlah termasuk jamaatul muslimin 
dan tidak bergabung kepada umat Islam sama sekali, kecuali kalau mereka 
telah memproklamirkan tobatnya kepada Allah Swt.”[117]
Ustadz Abdul Qadir Audah mengatakan, “Termasuk telah disepakati bahwa
 orang yang menolak sesuatu dari perintah Allah dan rasul-Nya berarti 
keluar dari Islam, baik ia menolaknya karena keraguan atau karena tidak 
menerima, atau enggan berserah diri. Para sahabat telah menetapkan hukum
 murtad bagi orang-orang yang menolak membayar zakat dan menilai mereka 
kafir, keluar dari Islam. Allah telah menetapkan bahwa orang yang tidak 
tunduk kepada rasul serta tidak tunduk kepada putusan dan hukumnya, maka
 ia bukan orang beriman. Allah Swt. berfirman,
Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakikatnya) tidak beriman hingga 
menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian 
mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang 
kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya ( An Nisa:65)”[118]
Di antara bentuk keberpalingan dari hukum syariat ini tercermin dalam
 praktik yang berlaku di negeri-negeri kaum muslimin. Yaitu dipakainya 
hukum positif buatan manusia yang menanggalkan hukum-hukum syariat pada 
sebagian besar urusan kenegaraan, dan membolehkan berhukum kepada selain
 apa yang diturunkan Allah dalam persoalan tersebut, bahkan 
mengharuskannya dan menghukum siapa yang menentangnya.
 
 
 
 
0 Komentar:
Posting Komentar
Kehormatan buat kami jika selesai baca Anda beri komentar atas Artikel ini....tapi, Mohon Maaf kawan Komentarnya yang sopan ya....he..he..he..