| Pasukan Muhammad Al-Fatih (inet) | 
Dua puluh dua hari Murad II mengepung Konstantinopel dari arah barat,
 namun benteng paling kokoh di zamannya selalu melumpuhkan para 
penantang, sebagaimana ia telah melumpuhkan pasukan muslim selama 
delapan abad. Namun mimpinya tidak mati, ia inspirasikan ke anaknya 
Muhammad II hingga mengalir di jiwa dan darahnya lalu menjadi tujuan 
hidupnya.
Tulisan ini bukanlah kisah pertarungan bukan juga 
pertempuran, tapi cerita tentang pikiran besar dibalik penaklukan yang 
kata kuncinya adalah kurikulum Murad II. Maka cerita ini dimulai dari 
pengisian bahan-bahan pikiran.
Murad II memulai dari ibukota 
‘Ustmaniyyah, Edirne. Ia desainkan konsep masjid dan institusi 
pendidikan terbaik, masjid untuk pendidikan dan institusi pendidikan 
yang berspirit masjid. Tidak hanya untuk Muhammad II tapi juga untuk 
pemuda se-generasinya, karena kebangkitan tak ditopang seorang pahlawan 
tunggal, tapi sebuah generasi berpengetahuan.
Kendala umum 
anak-anak lingkungan borjuis adalah keangkuhan, termasuk anaknya 
sendiri. Karena kelimpahan fasilitas, kekuasaan keluarga, dan posisi 
kepemimpinan yang pasti di tangan adalah racun yang melemahkan 
sendi-sendi motivasi belajar. Murad II menyelesaikan kendala ini sebelum
 fase belajar Muhammad II dimulai. Ahmad bin Ismail al-Kurani adalah 
guru pertamanya “Aku dikirim ayahmu untuk pendidikanmu, bahkan jika diperlukan pukulan-pun aku keluarkan kalau kamu gemar membangkang”.
 Muhammad II kecil tertawa mendengar gurunya, hingga Sang Guru 
benar-benar memukulnya. Pukulan itu yang meruntuhkan tameng kewibawaan 
mental istana, hingga Muhammad II mulai memahami makna menjadi orang 
biasa, bukan anak raja.
Rombongan ulama besar yang tinggal di sana
 dikerahkan seluruhnya untuk misi besar penyiapan generasi ini. Seperti 
murid-murid Syaikh Tiftazani dan Sayyid Syarif Jurjani yang buku-bukunya
 sekarang dipelajari di Universitas Islam sedunia, bahkan ‘Alauddin 
at-Thusi langsung mengajar di sana. Tapi mereka tidak diminta mendatangi
 Muhammad karena ia yang harus berlelah datangi pintu guru-guru itu 
setiap hari bersama anak-anak jelata lain.
Pendidikan masa kecil 
itulah cetakan awal karakter Muhammad II yaitu mental seorang ilmuan. 
Para pakar itu tidak tersaji di halaman istana yang hijau tapi dicari 
dan didatangi walau di tanah tertandus. Gairah belajar lebih penting 
dari pada konten pengetahuannya sendiri karena ia yang menjamin 
kontinuitas. Dan ini keberhasilan didikan Al-Kurani. Sehingga Al-Quran 
dihafalnya cepat sebelum delapan tahun, lalu ilmu-ilmu syari’at 
dilahapnya setelah itu.
Bahasa pengantar yang diajarkan pada 
Muhammad II ada tujuh yaitu: Arab, Turki, Persia, Yunani, Serbia, 
Italia, dan Latin. Ketujuh bahasa ini ia selesaikan di usia remaja. Maka
 akses Muhammad II untuk mengkaji semesta ini tidak dibatasi cakrawala 
budayanya [Turki]. Bahkan zaman Murad II ini dikenal dengan masa emas 
terjemahan referensi-referensi besar Islam ke dalam bahasa Turki seperti
 Tafsir dan Tarikh Thabari, Tafsir dan Tarikh Ibnu Katsir, 
referensi-referensi Fiqih, Hadits, kedokteran, kimia untuk dikonsumsi 
generasi se-zamannya dan setelahnya.
Tapi keistimewaan tersebut bukan pada kuantitas penguasaan bahasa, karena ia hanyalah tools
 pembuka pengetahuan, tapi ketepatan sasaran dalam penggunaan. Maka ilmu
 ketiga dalam kurikulum Murad II untuk dipelajari Muhammad II kecil 
setelah Qur’an dan Islamologi adalah sejarah. Ia fokus mengkaji 
kaidah-kaidah kemenangan dan sebab-sebab kekalahan dalam jejak 
perjalanan umat-umat terdahulu. Lalu Matematika, Geografi dan Astronomi.
 Perangkat ilmu ini membuatnya rasionalis dan berfikir strategis, 
berpandangan global dalam perencanaan tapi detail dalam pelaksanaan.
Kemampuan
 ini saja sudah membuatnya unggul di antara generasi muda sezamannya, 
namun Murad II memberi anaknya perangkat lain, yaitu sastra. Tak 
sembarangan, seorang guru besar, Ibnu Tamjid, seorang penyair Arab dan 
Persia, juga Syaikh Khairuddin dan Sirajuddin al-Halabi. Kapasitas 
sastra berfungsi menghidupkan pikiran-pikiran imajinatifnya. Bahkan 
lebih dari itu, Muhammad II memang seorang penyair.
Tibalah bagi 
Murad II untuk menguji kapasitas pengetahuan Muhammad II. Di usianya 
yang ke 14, ia ditunjuk menjadi gubernur Manisa. Siapa pun yang pernah 
mengunjunginya, akan mengakui kapasitas kepemimpinan Muhammad II dalam 
mengelola kota, manajemen administratif, membangun tentara, mendesain 
konsep sekolah, dan menghiasi kota dengan seni, festival kebudayaan, dan
 pembangunan simbol-simbol kebanggaan sejarah.
Namun kesibukan 
politik tidak mengakhiri petualangan pengetahuannya. Masjid Ibrahim 
Khaja adalah saksi sejarah seorang pemimpin kota yang rela duduk 
merendah di jajaran para ulama terbaik di zamannya, khususnya 
As-Syamsuddin, seorang ilmuan ensiklopedik penemu konsep mikrobat dalam 
ilmu kedokteran. Di sinilah pengetahuan Muhammad II mendaki puncaknya, 
karena landasan teoritis yang dikuasai sejak dulu bertemu dengan ruang 
aplikasi untuk kemudian dievaluasi dalam majelis pengetahuan masjid 
Ibrahim Khaja.
Semua perjalanan pengetahuan ini adalah pengantar 
menuju penaklukan yang dirancang dengan sangat sistematis oleh Murad II.
 Ia sendiri meninggal muda dan bahkan tidak pernah menyaksikan anaknya 
mempersiapkan pasukan Ustmani menuju Konstantinopel. Tapi waktu 
realisasi itu tidak lama. Muhammad II menggantikan menjadi sultan di 
Edirne dalam usia 22 tahun dan hanya dalam waktu dua tahun ia melunasi 
hadits Nabi yang selama 8 abad belum berhasil dituntaskan 
generasi-generasi kuat terdahulu, baik generasi para penakluk daulah 
Umawiyyah atau generasi kemakmuran daulah Abbasiyyah.
Generasi-generasi
 sebelum Muhammad II al-Fatih mungkin sama kuat militernya, sama luas 
wilayah kekuasaanya, sama melimpah aset manusia dan alamnya, dan sama 
menggebu obsesi penaklukannya, tapi Murad II meretas jalan untuk 
mencetak generasi baru yang belum pernah ada dalam sejarah Islam. Yaitu 
generasi yang berpengetahuan tingkat tinggi dengan pemimpin terbaiknya. 
Pemimpin terbaik di zaman itu bukan hanya petarung, atau manajer, atau 
sastrawan, atau ahli fiqih, atau panglima, atau pemikir strategis, tapi 
pengetahuannya mencapai tingkat kepakaran nyaris di semua bidang.
Maka
 mudah saja, memahami semua kreasi strategi Muhammad Al-Fatih dalam 
proses penaklukan Konstantinopel, yang belum pernah terfikirkan generasi
 sebelumnya, seperti pembuatan meriam raksasa, mengangkat 70 perahu 
lewat darat sepanjang 3 mil, karena itu semua produk pemikiran berbasis 
pengetahuan. Bahkan andai strategi-strategi teknis itu gagal, generasi 
al-Fatih tidak akan kehabisan stok strategi dari gudang pengetahuannya. 
Bagaimana tidak? Rasulullah sendiri yang mendeskrisipsikan generasi 
penakluk itu “Konstantinopel benar-benar akan dibebaskan, pemimpin 
terbaik adalah pemimpin yang membebaskannya dan pasukan terbaik adalah 
pasukan yang bersamanya”. Dibalik setiap cerita kemenangan, selalu 
ada revolusi pengetahuan. Dan Muhammad Al-Fatih beserta generasinya 
adalah model yang paling sempurna untuk itu. (Edisi Lengkap Serial 
Pemuda bisa diakses di www.elvandi.com)
Majalah Intima Edisi Mei 2013
Muhammad Elvandi, Lc
 
 
 
 
0 Komentar:
Posting Komentar
Kehormatan buat kami jika selesai baca Anda beri komentar atas Artikel ini....tapi, Mohon Maaf kawan Komentarnya yang sopan ya....he..he..he..