Bila memisahkan keduanya sebagai sebuah objek sikap yang patut 
dipertimbangkan, maka dalam proporsinya, kedua sikap tersebut memiliki 
manfaat sekaligus kekurangannya. Memilah sikap dari kedua pilihan 
tersebut, dalam keseharian akan selalu kita butuhkan. Dan perkara yang 
diperlukan adalah tentang menjadikan dua sikap tersebut tidak jatuh 
dalam kesiaan atau berlebih-lebihan. 
| ilustrasi | 
Misalnya, berkata-kata dan kemampuan berbicara di depan khalayak umum
 menjadi sebuah kebutuhan karena kita memiliki fungsi sebagai makhluk 
sosial dengan kebiasaan berinteraksi antar sesama. Untuk kepentingan 
itu, berkata-kata adalah sebuah jalan sikap yang harus diambil. Lalu 
bagaimana dengan diam?
Sama halnya, diam memiliki faedah dan syarat kondisionalnya 
tersendiri. Yang penting adalah kita mengetahui waktu-waktu yang tepat 
untuk mengambil diam sebagai sikap kala kita berinteraksi dengan orang 
lain. Diam bahkan bisa menjadi kebiasaan efektif yang bila diterapkan 
akan membuat diri kita menjadi lebih produktif. Yaitu dengan membiasakan
 lebih banyak diam dan mendengar daripada berbicara
Pada umumnya, orang yang banyak berbicara (berkata-kata) adalah orang
 yang lemah kepribadiannya. Ciri orang intelek menurut Islam yang 
disebutkan Al-Qur’an adalah orang yang mendengarkan perkataan orang lain
 (alladziina yastami’unal qaul) dan mengikuti yang baik dari perkataan 
itu (fayattabiuna ahsanah). Ia adalah orang yang mau mendengarkan dan 
menganalisis.
Pada umumnya juga, orang pandai yang suka mendengarkan orang lain 
akan disukai. Sebagian manusia lebih siap untuk didengarkan daripada 
mendengarkan. Ada orang yang mempunyai kebiasaan berbicara dulu, baru 
berpikir sehingga ketika akan berhenti berbicara, dia tidak menemukan 
bagaimana caranya berhenti atau akan kesulitan untuk berhenti. Karena 
itu, diam menunjukkan kekuatan kepribadian seseorang. Kemampuan 
mendengarkan adalah kekuatan kepribadian yang luar biasa besarnya.
Mekanisme yang baik adalah seperti ini: Jika ingin berbicara, 
sebaiknya kita harus benar-benar yakin bahwa apa yang akan disampaikan 
adalah sesuatu yang sudah dipikirkan. Kurangilah perkataan-perkataan 
yang muncul secara refleks. Biasakanlah diam atau merenung, maka kita 
akan menjadi produktif dalam hidup. Diam bukan dalam arti kita sama 
sekali tidak berbicara, melainkan diam dalam arti hanya berbicara jika 
ada kebutuhan untuk itu.
Ada mekanisme lain juga yang telah ditunjukkan bila kita merujuk kepada Al-Qur’an
“...Dan apabila sewaktu pembagian itu hadir 
beberapa kerabat, anak-anak yatim dan orang miskin, maka berilah mereka 
dari harta itu (sekadarnya) dan ucapkanlah perkataan yang baik.” (QS. An-Nisa’: 8 ) (Qaulan sadiidan)
“…Mereka itu adalah orang-orang yang 
(sesungguhnya) Allah mengetahui apa yang ada di dalam hatinya. Karena 
itu berpalinglah dari mereka, dan berilah mereka nasihat, dan katakanlah
 kepada mereka perkataan yang membekas pada jiwanya,” (QS. An-Nisa’:63) (Qaulam Baliighan)
Perkataan yang baik juga disebut dengan Qaulam ma’rufa dalam QS. Al-Baqarah: 263.
Al-Qur’an menunjukkan pilihan dalam berbicara yakni pembicaraan yang 
disertakan perkataan yang baik. Dan mekanisme mana lagi yang lebih baik 
dibandingkan dengan anjuran yang difirmankan olehNya?
Iklan sponsor: Diam atau Berbicara? Bijak saja lah!
 
 
 
 
0 Komentar:
Posting Komentar
Kehormatan buat kami jika selesai baca Anda beri komentar atas Artikel ini....tapi, Mohon Maaf kawan Komentarnya yang sopan ya....he..he..he..