Siapapun Anda yang datang berkunjung di Blog ini merupakan Inspirasi terbesar kami dalam berkarya untuk memberikan yang terbaik...Selamat Membaca...!!!
 Pengujung transisi menuju demokrasi adalah situasi yang khas: 
ekspektasi akan hidup yang lebih baik kian membuncah tapi pada saat yang
 sama energi dan euforia– bahkan kesabaran–sudah menyurut.
 Fase 
pungkas transisi, yaitu konsolidasi demokrasi, adalah jalan sepi yang 
ditempuh dengan ketekunan, bukan panggung ingar-bingar penuh deklamasi. 
Dalam tahap ini diperlukan pemimpin yang mampu menggerakkan sekaligus 
mendorong rakyat, agar mau melangkah lagi agar tujuan transisi, yaitu 
demokrasi yang sejati dapat tercapai. Itulah yang kini terjadi di 
Indonesia. Pemilu demokratis sudah tiga kali kita lewati dan kini kita 
tengah melaksanakan pemilu demokratis keempat dengan ekosistem politik 
yang jauh lebih stabil.
 Kita telah berusaha merumuskan arah yang 
ingin dituju agar transisi ini tidak menjadi jalan berputar atau–malah 
lebih parah–berputar-putar tanpa arah. Tantangan itulah yang coba 
dijawab dalam Sidang Umum MPR dan proses amendemen UUD 1945 
pasca-Reformasi. Kita berusaha untuk menulis kembali cetak biru dan 
mempertegas alasan kehadiran (raison d(raison detre) Negara Kesatuan 
Republik Indonesia bagi semua warga bangsa yang berlindung dalam 
naungannya.
 Dalam perjalanannya, cetak biru itu harus 
berdialektika dengan realitas dan ekspektasi yang terus berubah. Kini 
kita harus menjaga stamina agar negara dan warganya tidak kehabisan 
tenaga untuk menuntaskan transisi demokrasi karena janji perbaikan hidup
 sebagian belum terwujud.
 Karena itu, kita harus bekerja bersama 
menuntaskan transisi demokrasi dan menghindarkan Indonesia dari jebakan 
transisi berkepanjangan (prolonged transition), di mana nilai dan sistem
 lama telah dihancurkan namun nilai dan sistem baru belum terbangun, 
atau belum mampu menghasilkan kehidupan lebih baik sebagaimana yang 
dijanjikan.
 Jebakan transisi berkepanjangan ini membutuhkan 
pemimpin yang mampu memecah kebuntuan situasi sekaligus menjaga api 
harapan tetap menyala untuk mencapai garis tujuan.
 Demokrasi “Media-Sentris” 
 Kita tengah berada di era “demokrasi melalui media” di mana media 
memegang peran penting dalam mentransmisikan pesan ke dan dari 
masyarakat. Media telah menghablurkan batas antara realitas yang kita 
alami sendiri dan realitas yang kita serap dari media. Hari ini orang 
yang tidak tinggal di Jakarta bisa bercerita tentang macetnya Jakarta 
akibat pengetahuan yang diserapnya dari media.
 Ini juga yang 
mempengaruhi ruang politik kita. Media berperan sangat penting karena 
media tidak semata mempresentasi realitas, tetapi merepresentasi 
(mewakilkan hadirnya) realitas ke depan khalayak. Menurut ahli kajian 
media David Buckingham (2010), media tidaklah menawarkan jendela bening 
tembus pandang untuk melihat “dunia”, namun menghadirkan sebuah “dunia” 
dalam versi yang telah dimediasi.
 Media bukan menyediakan 
kacamata atau teropong, tapi menghadirkan akuarium sehingga kita 
beranggapan bahwa akuarium itulah keseluruhan dunia ini. Yang terserak 
di luar akuarium dianggap tidak penting dan bermakna. Logika media 
(terutama televisi/ tv) adalah “menonton dan ditonton” dengan dikotomi 
peran pasif-aktif yang semakin kabur, terutama dalam konteks pemilihan 
umum.
 Penonton yang selama ini dinilai pasif dan tidak berdaya, 
dalam politik menjadi berdaya karena dialah pemilik suara yang 
diperebutkan. Sementara, para tokoh politik yang diimajikan berkuasa, 
sebenarnya sedang memainkan pertunjukan yang naskahnya didiktekan oleh 
massa rakyat melalui survei opini publik. Dalam situasi “media-sentris” 
seperti ini, sangat mudah orang terjebak untuk menjadi penghibur bagi 
penonton.
 Tokoh-tokoh politik menyajikan tontonan yang 
menyenangkan hati penontonnya, melalui suatu pertunjukan buatan. Apa 
yang dipertontonkan belakangan ini tentu berbeda makna dan motivasinya 
dengan, misalnya, kebiasaan Sri Sultan Hamengkubuwono IX keliling 
Yogyakarta pada malam hingga subuh. Pada suatu kesempatan beliau memberi
 tumpangan kepada seorang mbok pasar.
 Ketika sampai di pasar, 
orang-orang memberi tahu mbok bahwa yang memberinya tumpangan adalah 
Ngarsa Dalem. Langsung mbok itu pingsan! Tidak ada media yang meliput, 
tapi cerita itu hidup sampai sekarang. Cerita yang otentik, nyata, bukan
 pertunjukan. Masyarakat umum mengetahuinya belasan tahun kemudian 
melalui buku Takhta Untuk Rakyat.
 Karena dikendalikan dengan 
logika hiburan, bukan otentisitas, tokoh politik terjebak untuk 
menyederhanakan masalah dan cara penyelesaian masalah. Ini tak 
terelakkan karena dalam demokrasi media- sentris, durasi, jam tayang, 
prime time, sound byte menjadi indikator utama. Pesan pemimpin dikemas 
mirip iklan yang renyah dan berdimensi tunggal agar mudah diingat tanpa 
elaborasi yang mendalam.
 Gagasan Pemimpin 
 Di tengah arus 
media-sentris itu, kita kekurangan kesempatan menelaah gagasan pemimpin 
secara mendalam. Ruang-ruang publik yang didominasi logika media dan 
budaya instan berpotensi melahirkan figur pemimpin penghibur yang 
membuat kita tertawa sejenak meskipun masalah tetap menggunung.
 
Pemimpin penghibur tidak mengajak penontonnya berkerut kening karena 
yang ditawarkan adalah keceriaan sesaat—tanpa memikirkan 
bagaimana besok atau lusa. Pemimpin penghibur tidak menawarkan masa 
depan karena yang penting baginya adalah hari ini. Pemimpin penghibur 
juga kerap khawatir penontonnya berpaling mencari tontonan lain yang 
lebih menghibur.
 Mirip logika rating dalam industri sinetron. 
Indonesia tidak membutuhkan pemimpin penghibur atau pemimpin sinetron. 
Kita sudah melewati sejumlah krisis dan kini tengah bersiap untuk naik 
kelas dari negara skala menengah menjadi negara kuat dalam ukuran 
ekonomi dan pengaruh geopolitik.
 Kondisi itu akan tercapai jika 
kita berhasil menuntaskan transisi demokrasi dan menghasilkan negara 
bangsa yang kuat dan demokratis. Yang dibutuhkan adalah pemimpin penyala
 harapan, bukan penyaji hiburan, bahwa hari esok yang lebih baik akan 
datang jika kita mau bekerja keras, bukan dengan tertawatawa sejenak.
 Peran penting pemimpin adalah menciptakan “state of mind” atau situasi 
psikologis di dalam masyarakatnya dengan cara melahirkan dan 
mengartikulasikan tujuan yang menggerakkan orang dari kepentingan mereka
 sendiri menuju kepentingan bersama yang lebih tinggi. (JW Gardner, 
1988).Kita membutuhkan lebih banyak ruang lagi untuk mendengarkan 
gagasan pemimpin untuk mendapat harapan, bukan hiburan.(anismatta)  
 

 
 
 
0 Komentar:
Posting Komentar
Kehormatan buat kami jika selesai baca Anda beri komentar atas Artikel ini....tapi, Mohon Maaf kawan Komentarnya yang sopan ya....he..he..he..