Kisah para tauladan menyambut kematiannya.
Saudaraku, berikut ini kisah para Nabi dan sahabat yang mulia saat  menyambut kematiannya. Kisah-kisah mereka penuh teladan, sarat pesan dan  menjadi bahan renungan.
Kekasih Allah Ibrahim Allaihi Salam
Bercerita Imam Muhasabi dalam kitab “Ar-Riayah” bahwa Allah berfirman kepada Nabi Ibrahim, 
allaihi salam:   ”Wahai kekasihku, bagaimana engkau menemukan kematianmu?” Dia berkata:  Seperti tusuk besi (yang dipakai untuk membakar daging) yang diletakan  di atas bulu yang basah, kemudian ditarik.” Kemudian Allah berfirman,  “Sungguh (yang demikian itu) telah kami mudahkan kematian bagimu, Wahai  Ibrahim.”
Nabi Allah Daud, Allaihi Salam
Diriwayatkan bahwa malaikat maut datang untuk menjemput Nabi Daud 
alaihi salam.   Daud berkata: “Siapakah engkau?” Dia menjawab, “kami yang tidak takut  raja dan tidak mengabaikan orang-orang kecil, kami juga tidak menerima  suap”. Daud berkata: “Jika demikian, anda adalah malaikat kematian?” Dia  menjawab: “Ya”, Daud balik berkata: “Kok, mendadak begini, aku tidak  mendapatkan pemberitahuan (terlebih dahulu)” Malaikat berkata: “Hai  Daud, di mana sahabat-mu fulan? Di mana pula si fulanah, tetanggamu?”  “Mereka sudah mati”, jawab Daud. “Bukankah itu pemberitahuan padamu  untuk bersiap-siap.”
Nabi yang diajak bicara oleh Allah, Musa allaihi salam
Dikisahkan  bahwa Nabi Musa allaihi salam ketika jiwanya berangkat menuju Allah,  Allah berfirman: “Hai Musa, Bagaimana kau menemukan kematian?” Dia  menjawab, “Aku mendapati diriku seperti burung hidup yang digoreng di  atas penggorengan, tidak mati sehingga aku istirahat, dan tidak bertahan  hidup sehingga aku terbang”. Diriwayatkan bahwa Musa berkata: “Aku  menemukan diriku sebagai seekor kambing dikuliti oleh tukang daging  dalam keadaan hidup”.
Ruh Allah, Isa allaihi salam.
Isa putra Maryam, 
allaihi salam,  berkata, “Wahai kaum Hawariyin, berdoalah kepada Allah agar kalian  dimudahkan pada saat syakrat (maut) ini” Diriwayatkan bahwa kematian  lebih berat dari tebasan pedang, gorokan gergaji dan capitan gunting.
Rasulallah saw menggambarkan kematian kepada para sahabatnya.
Diriwayatkan  dari Syahr bin Husyab dia berkata, Rasulullah saw ditanya tentang  beratnya kematian? Dia (saw) bersabda, “kematian yang paling ringan  adalah seperti bulu wol yang tercerabut dari kulit domba. Apakah mungkin  kulit dapat keluar kecuali bersama bulu-bulunya itu?”
Abu Bakar As-shidiq, radiallahu anhu.
Ketika Abu Bakar 
radiallahu anhu menghadapi  hari-hari kematiannya, dia sering membaca, “dan datanglah sakaratul  maut dengan sebenar-benarnya. Itulah yang kamu selalu lari daripadanya”  (Qur’an Surah: Qaaf 19).
Dia berpesan kepada Aisyah, puterinya:  “Lihatlah kedua pakaianku ini, cucilah keduanya dan kafankan aku  dengannya. Sesungguhnya mereka yang hidup lebih utama menggunakan baju  baru daripada yang sudah jadi mayit.”
Di detik-detik menjelang  kematiannya, ia berpesan kepada Umar dengan berkata, “Aku berpesan  padamu dengan satu wasiat, sebab tak mungkin engkau mendahuluiku.  Sesungguhnya Allah Maha Benar dengan tidak pernah membuat malam  mendahului siang, dan siang tak pernah mendahului malam. Sesungguhnya,  tidak diterima ibadah-ibadah sunah, jika yang wajib tak ditunaikan. Dan,  akan diberatkan timbangan (kebaikan) di akhirat bagi mereka yang  menunaikan hak-hak di dunia. Dan akan diringankan timbangan (kebaikan)  seseorang di akhirat jika diikuti dengan kebatilan.
Umar bin Khathab, radiallahu anhu.
Ketika  Umar bin Khattab ditusuk oleh seseorang, Abdullah bin Abbas datang  menjenguknya, dia berkata: “Engkau telah masuk Islam saat orang-orang  (lain) masih kafir. Dan engkau selalu berjihad bersama Rasulallah SAW  saat orang-orang (lain) malas. Saat Rasulallah SAW wafat dia sudah ridha  denganmu”. Umar kemudian berkata, “Ulangi ucapanmu!” Maka diulang  kepadanya. Dia kemudian berkata, “celakalah orang yang tertipu dengan  ucapan-ucapanmu itu.”
Abdullah bin Umar, puteranya, berkata: waktu  itu kepala ayahku di pangkuanku, saat sakit menjelang kematian. Ayah  berkata, “letakan kepalaku di atas tanah!” Aku menjawab, “Bagaimana  ayah, apakah tidak sebaiknya di atas pangkuanku saja.” “Celaka kamu,  letakan di atas tanah.” Ayah setengah membentak. Kemudian, Abdullah bin  Umar meletakannya di atas tanah. Umar berkata, “Celaka aku, celaka juga  ibuku, jika Tuhanku tidak menyayangi aku.”
Ustman bin Affan, radiallahu anhu.
Setelah  ditusuk oleh orang-orang yang memberontak, hingga darah mengalir ke  janggutnya, Ustman berkata, “Tidak ada Tuhan selain Engkau (ya Allah),  Maha Suci Engkau sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang zalim. Ya  Allah, aku memohon perlindungan-Mu, dan pertolongan-Mu atas segala  persoalanku, dan aku memohon pada-Mu diberikan kesabaran atas ujian  ini.”
Setelah ia akhirnya wafat, para sahabatnya membuka lemari yang terkunci. Mereka mendapatkan satu kertas yang tertulis begini: “
Bismillahirrahman ar-rahim,  Ustman bin Affan bersaksi bahwa tidak ada tuhan selain Allah, tak ada  sekutu bagi-Nya. Dan bahwa Muhammad adalah hamba dan rasul-Nya. Dan  bahwa syurga adalah benar (adanya). Dan bahwa Allah kelak akan  membangkitkan setiap yang dikubur pada hari yang tidak ada lagi keraguan  padanya (kiamat). Sesungguhnya Allah tidak pernah mengingkari  janji-Nya. Atas nama-Nya kita hidup, atas nama-Nya kita mati dan atas  nama-Nya pula kita akan dibangkitan, insya-Allah.”
Ali bin Abi Thalib, radiallahu anhu.
Setelah ditusuk, Ali 
radiallahu anhu  berkata: Apa yang sudah dilakukan terhadap orang yang menusukku? Mereka  menjawab, “kami telah menangkapnya”. Ali berkata, “Beri makan dan minum  dia dengan makanan dan minumanku. Jika aku hidup, aku ingin melihatnya  dengan mata kepalaku sendiri. Jika aku mati, maka pukulah dia sekali  pukul saja, jangan kalian tambahkan sedikitpun.”
Kemudian Ali  berpesan kepada Hasan, puteranya, agar memandikannya. Ali berkata,  “Jangan berlebih-lebihan dalam mengkafaniku, sesungguhnya aku mendengar  Rasulallah SAW bersabda, janganlah bermewah-mewahan dalam berkafan sebab  yang demikian itu menghimpit dengan keras.”
Kemudian Ali berpesan  lagi: “Bawalah aku di antara rakyat. Jangan terlalu cepat, juga terlalu  lambat. Jika aku memiliki kebaikan, niscaya (dengan membawa aku ke  hadapan mereka) kalian telah mensegarakan aku menuju kebaikan itu. Jika  aku memiliki keburukan, kalian telah mengantarkan aku untuk bertemu  dengannya sebelum aku dihisab.”
Amr bin Ash, radiallau anhu.
Pada  tahun 43 hijriyah, Amr bin Ash menemui kematiannya saat ia menjadi  gubernur di negeri Mesir. Pada hari-hari terakhir menjelang kematiannya,  ia berkata, “Aku dulu seorang kafir yang paling keras…. Aku juga orang  terkeras pada Rasulallah SAW. Sekiranya aku mati ketika itu, aku pasti  masuk neraka. Kemudian, aku berbaiat kepada Rasulallah SAW. Tak ada  manusia yang paling aku cintai melebihi beliau SAW. Tak ada yang …  Sekiranya aku diminta untuk membuat naat (pada saat kematiannya),  niscaya aku tak mampu. Sebab, aku tak pernah bisa berhenti menyeka  airmataku sebagai kekagumanku padanya. Sekiranya pada saat itu aku mati,  aku mesti masuk syurga…. Kemudian aku diuji setelahnya dengan  kekuasaan… dan dengan hal-hal yang aku tidak tahu, apakah akan  menolongku atau membebani aku” Kemudian, Amr bin Ash mendongakan  kepalanya ke langit, dan berkata,
“Ya Allah… tak ada lagi (alasan)  pembebas….. Sehingga aku dapat meminta maaf. Tak ada lagi kekuasaan  sehinga aku minta tolong. Sekiranya Engkau tidak merahmati aku, nicaya  aku termasuk orang-orang yang celaka!!” Begitulah selalu ia memohon  ampun kepada Tuhannya, hingga ajal menjemputnya dan ia mengucapkan, “La  Ilaha Illa Allah…”
Diriwayatkan bahwa sebulan sebelum kematiannya,  anaknya berkata padanya, “wahai ayah… engkau pernah berucap kepada  kami…. semoga kami dapat bertemu sesorang yang cerdas yang dapat  menceritakan suasana saat kematian. Engkaulah orang itu, ceritakan pada  kami bagaimana kematian? Maka, Amr bin Ash berkata, “Wahai anakku,  seakan-akan di punggungku ada lemari yang menindih, dan seakan akan  bernafas dari lubah jarum ..
Huzaifah bin Yaman, radiallahu anhu.
Pada  suatu hari di tahun ke tiga puluh enam hijriyah…. Huzaifah dipanggil  menghadap-Nya. Saat ia berusaha untuk bersiap-siap menuju perjalanan ke  negeri akhirat, masuk sejumlah sahabat ke kamarnya… Ia bertanya pada  mereka. “Apakah kalian datang membawa kain kafan?” Mereka menjawab, “Ya”  Dia berkata, “Tunjukan padaku!” Setelah melihatnya, ia mendapati kain  kafan itu masih baru…. Dengan susah payah ia berucap, “Kain kafan apa  ini? Sungguh aku hanya butuh dua helai kain putih yang tak  terjahit…Sesungguhnya aku tidak menggunakannya di kuburan kecuali hanya  sebentar hingga aku mengganti keduanya dengan yang lebih baik… atau yang  lebih buruk.
Selanjutnya, dia mengucapkan kalimat yang tak  jelas.. Para sahabatnya berusaha mendengarkan… ia berucap: “Selamat  datang kematian. Kekasih yang datang dengan membawa rindu. Tak akan  beruntung mereka yang menyesal (di hari ini).
Ruhnya kemudian terbang menuju Allah. Itulah salah satu hamba yang paling bertakwa….
Muadz bin Jabal, radiallahu anhu.
Sampailah  Muadz bin Jabal ke ajalnya. Ia dipanggil untuk bertemu Allah…. Pada  saat sakratul maut, setiap perasaan yang sesungguhnya akan mencuat, dan  terucap di lidah seseorang, sekiranya ia masih dapat bicara. Ucapan yang  dapat dikatakan sebagai kesimpulan dari perjalanan hidup seseorang.  Pada saat-saat seperti itu, Muadz mengucapkan kalimat yang sangat  menakjubkan yang mengungkap cita-cita seorang mu’min. Ia menghadap ke  langit, seakan berdialog dengan Tuhannya. “Ya…. Allah, aku dulu sangat  takut pada-Mu. Tetapi hari ini aku ingin bertemu dengan-Mu. Ya… Allah,  sesungguhnya Engkau Maha Tahu bahwa aku tidak mendahulukan dunia untuk  akheratku.”
Sa’ad bin Abi Waqash, radiallahu anhu
Pada  suatu hari di tahun lima puluh empat hijriyah, Sa’ad bin Abi Waqash  telah berusia di atas delapan puluh tahun. Setiap hari ia berharap  segera menemui kematiannya. Salah satu anaknya menceritakan, “Suatu hari  kepala bapakku aku letakan di pangkuanku, dia bernafas  setengah-setengah. Aku menangis. Dia berkata, Apa yang membuatmu  menangis, wahai puteraku? Seungguhnya Allah tidak akan mengazabku  selama-lamanya. Aku yakin aku adalah penduduk surga.
Suatu kali,  Rasulallah SAW telah memberinya kabar baik, dan dia beriman dengan kabar  itu yaitu bahwa ia tidak akan diazab karena ia termasuk ahli surga.  Nampaknya, ia ingin bertemu dengan Allah dengan mengumpulkan semua bekal  yang ia punya. Ia kemudian menunjuk ke arah lemari. Kemudian lemari itu  dibuka. Di dalamnya terdapat kain yang sudah sangat lusuh dan robek  sana-sini. Ia meminta keluarganya untuk mengkafankannya dengan kain itu,  seraya berkata, “Aku berjuang melawan orang-orang Musyrik pada perang  Badr (dengan pakain ini), dan aku menyimpannya untuk hari ini!”
Bilal bin Rabah, Sang Muadzin Nabi
Ketika  Bilal didatangi kematian… Istrinya berkata, “sungguh kami akan sangat  bersedih.” Bilal membuka kain yang menutupi wajahnya, saat itu ia dalam  sakratul mautnya. Dia kemudian berkata, “Jangan kau katakan demikian.  Katakanlah, sungguh kami akan sangat bahagia” Kemudian dia berkata lagi,  “Besok aku akan bertemu pujaanku, Muhammad SAW dan para sahabatnya.”
Abu Dzar al-Ghifari, radiallahu anhu.
Ketika  Abu Dzar al-Ghifari mendekati kematiannya, istrinya menangis. Abu Dzar  bertanya, “Apa yang membuatmu menangis?” Ia menjawab, “Bagaimana aku  tidak menangis, sementara engkau mati di negeri yang tandus begini,  sementara kita tidak punya kain untuk mengkafanimu”.
Dia kemudian  berkata, “Tak usah bersedih. Aku beri kabar gembira untukmu. Suatu hari  aku mendengar Rasulallah Saw bersabda, aku dan para sahabat lainnya ada  di situ, “Di antara kalian akan ada yang mati di tempat yang tandus dan  disaksikan oleh sejumlah orang-orang beriman”. Tak ada seorangpun dari  para sahabat itu yang mati di padang tandus begini. Mereka meninggal di  perkampungan dan di tengah-tengah masyarakat. Akulah yang akan mati di  tempat tandus ini. Demi Allah, aku tidak berdusta.. tunjuki aku jalan..”  Istrinya berkata, “Rombongan haji sudah berangkat, dan aku tak tahu  lagi harus ke jalan mana”.
Di padang yang tandus itu, tiba-tiba  ada serombongan kafilah lain yang lewat. Demi mendengar suara tangisan  dari balik gubuk yang kecil, mereka berhenti dan bertanya-tanya, ada  apa? Seseorang di antara mereka mengenali, subhanallah, ini Abu Dzar,  sahabat Nabi yang mulia. Mereka menghentikan perjalanannya dan mengurus  seluruh prosesi pemakaman Abu Dzar.
Abu Darda, radiallahu anhu.
Ketika Abu Darda menemui kematiannya, ia berkata:
Sudahkah  setiap orang mempersiapkan diri untuk seperti aku saat ini? Sudahkah  setiap orang mempersiapkan diri untuk seperti aku hari ini?Sudahkah  setiap orang mempersiapkan diri seperti aku detik ini?
Kemudian Allah mencabut ruhnya.
Salman Al-Farisi, radiallahu anhu.
Salman  al-Farisi menangis saat hendak menemui kematiannya. Ia kemudian ditanya  oleh kelaurganya: “Apa yang membuatmu menangis?” Ia berkata,  “Rasulallah saw telah memprediksi bahwa perbekalan kita (untuk mati)  seperti perbekalan orang berkendara. Sementara di sekelilingku hanya ini  perbekalanku.
Ada yang berkata, “Waktu itu di sisi Salman  al-Farisi ada ijanah, jafnah dan muthaharah. Ijanah adalah becana (bak)  tempat dimana air dikumpulkan. Jafnah: tempat mengumpulan makanan dan  air. Al-Muthaharah adalah becana (bak) tempat orang mengambil air yang  suci.
Anas bin Sirrin berkata, “Anas bin Malik hadir saat Salman  al-farisi menemui kematiannya. Ia berkata, “Talqinkan aku dengan La Ilah  Illa Allah, mereka tetap mengucapkan itu hingga ajal menjemputnya.”
Abdullah bin Mas’ud:
Ketika  Abdullah bin Mas’ud menemui kematiannya, ia memanggil puteranya: “Ya  Abdurrahman bin Abdullah bin Mas’ud, aku ingin berpesan padamu tentang  lima hal. Jagalah demi menjalankan pesanku ini.
Pertama: Hilangkanlah  rasa putus asa dari hadapan orang banyak, sebab demikianlah kaya yang  sesungguhnya.
Kedua: Tinggalkan mengemis (untuk kebutuhan hidupmu)  dari orang lain, sebab yang demikian itu adalah kemiskinan yang kau  datangkan sendiri.
Ketiga: Tinggalkan hal-hal yang kau anggap tak  berguna. Jangan sekali-kali sengaja kau mendekatinya.
Keempat: Jika kau  mampu, janganlah sampai terjadi padamu satu hari di mana hari itu lebih  tidak lebih baik dari kemarin. Usahakanlah.
Kelima: Jika engkau shalat,  lakukanlah dengan sungguh-sungguh. Resapi dan renungkan seakan engkau  tak akan shalat lagi setelah itu.
sumber:http://www.dakwatuna.com/2011/07/11674/di-atas-ranjang-kematian/