على الداعية أن يصل إلى رتبة المُبَلِّغ وأن يسعى إلى البلاغ
“Seorang da’i harus sampai pada tingkatan penyampaian
yang optimal dan selalu berusaha memberikan penyampaian yang menyentuh
(balagh).”
Dalam mengemban misi dakwah, seorang da’i layaknya seorang penjual
yang tengah mempromosikan barang dagangannya. Sang penjual biasanya
mengemas daganganya sedemikian rupa sehingga dapat menarik hati para
pembeli. Berbagai upaya dilakukan, mulai dari mencari kata-kata yang eye catching,
penyajian yang menarik, hingga promosi disertai bonus-bonus yang
menggiurkan, tentu saja para pembeli langsung memburu dan ‘tergila-gila’
untuk mendapatkannya.
Begitu pula dalam berdakwah, bagaimana seorang da’i juga dituntut
bisa mengemas dakwah ini menjadi menarik, sehingga risalah mulia ini
dapat tersampaikan dengan begitu memikat, dan umat manusia pun tertarik
untuk berbondong-bondong menyambut seruan kebenaran ini. Mereka menjadi
terpaku dengan keindahannya, kedamaiannya dan kelembutannya, sehingga
memilih Islam sebagai lentera dalam kehidupannya di dunia.
Diantara cara dalam menjadikan dakwah ini menjadi memikat adalah
dengan penyampaian yang jelas, terang, tegas dan mampu menyentuh hati
para mad’u (obyek dakwah). Hal ini yang dipesankan Allah Swt. kepada para nabi dan rasul melalui firman-Nya, “Maka tidak ada kewajiban atas para rasul, selain dari menyampaikan (amanat Allah) dengan terang.” (QS. An-nahl: 35)
Namun ketika dakwah itu justru direspon negatif dan kaum yang
didakwahi berpaling menolak kebenaran yang dibawa, maka kondisi seperti
ini merupakan akhir dari usaha yang telah disampaikan secara optimal.
Sebagaimana fiman Allah tentang Nabi Shaleh As.. “Maka Shaleh
meninggalkan mereka seraya berkata, “Hai kaumku, sesungguhnya aku telah
menyampaikan kepadamu amanat Tuhanku, dan aku telah memberi nasehat
kepadamu, tetapi kamu tidak menyukai orang-orang yang memberi nasehat’.” (Al-A’raf: 79)
Tuntutan kesempurnaan dalam menyampaikan isi dakwah menjadi titik
tekan sendiri yang Allah sampaikan kepada para Nabi Muhammad Saw. Allah
Swt. berfirman, “Hai Rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan
kepadamu dari Tuhanmu. Dan jika tidak kamu kerjakan (apa yang
diperintahkan itu, berarti) kamu tidak menyampaikan amanat-Nya. Allah
memelihara kamu dari (gangguan) manusia. Sesungguhnya Allah tidak
memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir.” (Al-Maidah: 67)
Imam Al-Qurtubi kemudian menafsirkan ayat ini, beliau mengatakan,
“Hal ini merupakan pengajaran yang diberikan Allah kepada Nabi Muhammad
Saw., bahwa dalam menyampaikan ilmu kepada umat agar tidak
menyembunyikan sesuatu apapun dari Syariat yang telah ditetapkan”.
Dengan kata lain, transfer ilmu yang disampaikan harus secara menyeluruh
sebagaimana yang telah diturunkan, tidak setengah-setengah apalagi ada
yang disembunyikan.
Disamping itu maksud dari kata البلاغ (penyampaian) tidak sebatas
hanya memberi kabar tentang kebenaran saja, atau hanya mengumumkan
tentang kebenaran itu, tapi yang seharusnya dilakukan adalah bagaimana
caranya agar risalah mulia yang didakwahkan ini sampai kepada seluruh
umat manusia dan dapat mereka serap dengan baik.
Agar pesan dakwah itu dapat tersampaikan dengan baik ke mad’u, maka seorang da’i perlu memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
Pertama, selayaknya seorang da’i menjiwai
tentang apa yang ia sampaikan kepada orang lain. Karena mustahil sesuatu
yang tidak lahir dari penjiwaan yang baik yang bersumber dari kesadaran
di dalam hati, akan mendapat penerimaan yang baik pula dari hati.
Rasulullah Saw bersabda: “Allah telah memberi kenikmatan wajah
yang berseri-seri kepada sesorang yang mendengar sabdaku lalu ia
menyadarinya, menghafalnya, dan menyampaikannya, dan telah dekat orang
yang mendalami ilmu kepada yang lebih mendalaminya. Ada tiga hal yang
tidak boleh terhalang dari hati seorang muslim: ikhlas beramal karena
Allah, menasehati pemimpin-pemimpin kaum Muslimin, dan komitmen dengan
jamaah mereka, karena dakwah senantisa membentang di belakang mereka.” (HR. Tarmidzi)
Al Khitaby dalam penjelasan hadis ini memberikan tekanan dalam dua hal, pertama, nadharah
yang memiliki makna kenikmatan dan wajah yang berseri-seri hadir karena
pengaruh dari penyampaian seorang da'i terhadap mereka yang
mendengarnya, maka dari itu para da'i disebut sebagai pemilik wajah yang
cerah baik di dunia maupun di akhirat. Kedua, makna
"menyadari" dalam konteks hadis di atas, berdefinisikan menghafal
teksnya lalu mengamalkannya dalam kehidupan. Disamping itu juga memahami
makna-makna hadis secara utuh baik periwayat dan matannya, serta
memahami penjelasan isinya.
Kedua, berdakwah dengan memilah-milih kata
yang mampu memikat, sehingga dapat membekas di hati para pendengar.
Sebagaimana yang difirmankan oleh Allah Swt., “Mereka itu adalah
orang-orang yang Allah mengetahui apa yang di dalam hati mereka. Karena
itu berpalinglah kamu dari mereka, dan berilah mereka pelajaran, dan
katakanlah kepada mereka perkataan yang berbekas pada jiwa mereka.” (An-Nisa: 63)
Inilah pentingnya bagi seorang da’i untuk gemar membaca. Karena
dengan banyak membaca, seorang da’i menjadi kaya dengan pembendaharaan
kata yang banyak, sehingga kata-kata yang terucap dari lisannya dapat
mengalir indah dan membekas di setiap hati para mad’u-nya.
Kata-kata yang berbobot itu paling tidak mencakup hal berikut, yaitu
berisikan kabar yang menyenangkan, menakutkan, peringatan, mengingatkan,
motivasi pahala serta ancaman siksa. Dengan demikian mad’u pun
akan tersentuh hatinya, gembira dengan janji yang menyenangkan, dan
memiliki rasa cemas akibat kesalahan yang pernah dilakukan, sehingga
memohon kepada Allah agar ia dijauhkan dari ancaman siksa neraka.
Ketiga, Al Quran telah menjabarkan
pentingnya menyampaikan dakwah dengan lancar tak terabata-bata dan fasih
secara lisan. Sebagaimana firman Allah Swt. yang diucapkan nabi Musa
As. “Dan lepaskanlah kekakuan dari lidahku, supaya mereka mengerti perkataanku.” (Thaha: 27-28)
Nabi Musa dalam hal ini menyadari bahwa dengan perkataan yang fasih
menjadi kunci dari membekasnya penyampaian dan kokohnya argumentasi.
Imam Ar-Razy kemudian menjelaskan, bahwa para Ulama berbeda pendapat
terkait alasan Nabi Musa As. meminta kepada Allah agar dilepaskan dari
kekakuan lidahnya, pertama, agar tidak ada kesalahan fatal yang terjadi ketika penyampaian, kedua,
mencegah agar jangan sampai para pendengarnya kemudian bubar, karena
kekakuan dalam berbicara memberikan pengaruh kepada para pendengar
sehingga tak lagi menarik perhatiannya, ketiga, meminta agar
dimudahkan dalam penyampaian, karena Nabi Musa As. dalam hal ini tengah
berhadapan dengan Fir’aun yang mengklaim dirinya sebagai Tuhan, sehingga
butuh jaminan kemudahan dalam berbicara. Karena kalau sudah kesulitan
dalam memulai pembicaraan di awal maka akan berlanjut hingga akhir.
Keempat, yang membantu seorang da’i
memiliki penyampaian yang baik dan menyentuh adalah dengan menghadirkan
rekan-rekan seperjuangannya yang lain, berada disampingnya untuk saling
menguatkan, sehingga dapat memberi ketenangan dan kepercayaan diri yang
lebih. Ini dalam konteks personal pribadi sang da’i, namun dari sisi
lain, yaitu pihak mad’u, mereka akan melihat ternyata sang da’i
tidak sendirian, dan menilai dakwahnya telah memberikan dampak positif,
terbukti dengan adanya para pengikut ataupun rekan yang banyak.
Sehingga dapat memantapkan kepercayaan mad’u tersebut untuk kemudian mendengarkan kata demi kata yang disampaikan oleh sang da’i.
Sebagaimana firman Allah Swt. kepada Nabi Musa As., “Allah berfirman: "Kami akan membantumu dengan saudaramu” (QS. Al-Qashash: 35) dan juga dalam QS. Toha: 29-32, Allah berfirman terkait permintaa Nabi Musa As., "Dan
jadikanlah untukku seorang pembantu dari keluargaku. (yaitu) Harun,
saudaraku. Teguhkanlah dengan dia kekuatanku. Dan jadikanlah dia sekutu
dalam urusanku"
Imam Ar-Razy menafsirkan ayat ini dengan dua kesimpulan, pertama,
Nabi Musa As. meminta teman dalam hal ini saudaranya, Nabi Harun As.
karena merasa keterbatasan dirinya sebagai seorang hamba yang memiliki
kekurangan, sehingga ia butuh teman yang dapat menguatkan, dan yang kedua, dikarenakan untuk mendakwahi agama ini dibutuhkan kekuatan do’a, sehingga ia pun memohon kepada Allah Swt. agar ia diteguhkan.
Kelima, seorang da’i hendaknya memanfaatkan
segala fasilitas yang ada sebagai wasilah untuk memudahkan penjelasan
risalah mulia ini kepada umat. Di era modern seperti sekarang, para da’i
dituntut untuk melek teknologi, sehingga dakwah ini
ditampilkan secara menarik, tidak ketinggalan zaman dan berjalan sesuai
dengan sarana modern yang ada, seperti dengan internet, film, nasyid,
novel, slide power point, bisa pula melalui agenda rihlah melaui tadabur alam, out bound, games dan sarana menarik lainnya.
Al Quran sendiri telah menceritakan bagaimana dakwah yang dilakukan
oleh Nabi Ibrahim As. dengan menggunakan perantara alam, untuk kemudian
memberikan pelajaran kepada kaumnya agar kemudian menyembah Allah Swt.
Sebagaimana termaktub dalam firman-Nya: “Ketika malam telah
menjadi gelap, dia melihat sebuah bintang (lalu) dia berkata: "Inilah
Tuhanku" Tetapi tatkala bintang itu tenggelam dia berkata: Saya tidak
suka kepada yang tenggelam".Kemudian tatkala dia melihat bulan terbit
dia berkata: "Inilah Tuhanku". Tetapi setelah bulan itu terbenam dia
berkata: "Sesungguhnya jika Tuhanku tidak memberi petunjuk kepadaku,
pastilah aku termasuk orang-orang yang sesat". Kemudian tatkala dia
melihat matahari terbit, dia berkata: "Inilah Tuhanku, ini yang lebih
besar", maka tatkala matahari itu telah terbenam, dia berkata: "Hai
kaumku, sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kamu persekutukan.
Sesungguhnya aku menghadapkan diriku kepada Tuhan yang menciptakan
langit dan bumi dengan cenderung kepada agama yang benar, dan aku
bukanlah termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan.” (QS. Al-An’aam: 76-79)
Keenam, untuk memiliki penyampaian dakwah
yang optimal, seorang da’i harus kreatif dan cerdas melihat peluang
dalam setiap waktu dan kondisi. Bisa jadi obyek dakwah yang ia seru
kepada jalan kebaikan, ternyata tak biasa menerima secara spontan, tapi
harus pendekatan perlahan. Ada yang tak bisa didekati pada waktu siang
karena sibuk, maka cerdaslah untuk memilih waktu lain. Ada yang ketika
sehat begitu keras untuk menerima kebenaran, dekatilah ia di waktu
sakit, mungkin hatinya bisa lebih luluh pada saat itu. Maka berseni dan
cerdaslah melihat peluang dalam menyampaikan dakwah.
Sebagaimana firman Allah Swt. melalui lisan nabi Nuh As. yang
termaktub dalam QS. Nuh 5-10. Terkait ayat itu Ibnu Katsir kemudian
mengatakan, “kreatiflah dalam berdakwah, agar misi menyampaikan risalah mulia ini berakhir dengan kesuksesan.”
Ketujuh, agar pesan dakwah tersampaikan dengan baik, maka seorang da’i selayaknya menyampaikannya dengan penuh kelembutan (layyinan), tidak dengan cara yang keras, memaksa, apalagi kasar. Dekati mad’u dengan
cara yang baik, panggil ia dengan nama yang ia sukai, perlakukan dengan
penuh sopan, buat ia terpikat, sehingga apa yang disampaikan pun dapat
menyentuh hatinya.
Allah Swt. telah memerintahkan Nabi Musa As. mendakwahi Fir’aun
dengan cara yang lembut, sebagaimana yang termaktub dalam Al-Quran, "Pergilah
kamu berdua kepada Firaun, sesungguhnya dia telah melampaui batas. Maka
berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut,
mudah-mudahan ia ingat atau takut". (QS. Thaha: 43-44)
Dalam ayat lain Allah Swt. juga memerintahkan Nabi Muhammad Saw. untuk berdakwah dengan penuh hikmah, "Serulah
(manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik
dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah
yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan
Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk." (QS.An-Nahl: 125)
Wallahu al Musta’an
Disarikan dari kitab “Qawaidu ad-da’wah ila Allah” karya Dr. Hamam Abdurrahim Sa’id, cetakan Dârul wafâ, Manshurah, Mesir.
0 Komentar:
Posting Komentar
Kehormatan buat kami jika selesai baca Anda beri komentar atas Artikel ini....tapi, Mohon Maaf kawan Komentarnya yang sopan ya....he..he..he..