Penulis: Dr. Setiawan Budi Utomo
Allah Swt. berfirman: “Hai Nabi, mengapa kamu mengharamkan apa yang 
Allah menghalalkannya bagimu; kamu mencari simpati istri-istrimu Dan 
Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. At-Tahrim:1)
 
Belakangan
 ini semakin banyak kaum ibu baik kalangan umum maupun kalangan aktivis 
atau istri aktivis dakwah (ummahat) yang sedang dihinggapai rasa was-was
 dan ada sebagian yang semakin panas dibakar api cemburu pada sang suami
 gara-gara banyak kalangan bapak-bapak aktivis (abi-abi) yang getol 
melontarkan isu ta’addud yang sebenarnya bukan sekadar bahan 
pembicaraan, namun secara riil telah menjadi semacam teror, monster 
maupun momok bagi kaum ibu meskipun hal itu di pikiran para suami 
mungkin sekadar intermezzo, canda, iseng, cerita lepas tetapi memang 
tidak dipungkiri ada sebagian mereka yang sengaja menggencarkan isu 
tersebut sebagai upaya sistemik bagi semacam ‘pemanasan’, mukadimah, 
‘conditioning’ (pengkondisian) ataupun apalah namanya yang penting istri
 mereka terbiasa mendengar wacana ataupun fenomena itu dengan harapan 
lama-lama kebal dan biasa sehingga bila tiba saatnya terjadi kenyataan 
dialami suami mereka tidak kaget ataupun protes lagi, hanya sekadar 
memaklumi saja.
Keresahan dan kecemburuan kalangan ummahat 
tersebut tidak jarang juga dipicu dan ‘dikomporin’ oleh cerita yang 
bersumber dari suami mereka, berita media massa ataupun kabar burung, 
gosip dan rumpian para ummahat bahwa suami si anu nikah lagi, si aktivis
 anu sedang dalam proses ta’addud. Api kecemburuan tersebut semakin 
berkobar dan kewaspadaan ditingkatkan menjadi waspada satu atau situasi 
stadium gawat darurat karena semakin hari semakin bertambah panjang 
deretan koleksi nama-nama keluarga yang memekar menjadi berbilang. 
Alasan mereka sih sah-sah saja kan diperbolehkan syariah terlepas dari 
tepat tidaknya untuk kondisi mereka. ‘Nikah lagi, siapa takut’ demikian 
seloroh sementara ikhwan dan dibalas sang istri sambil tersungut; “gi, 
sono deh…! siapa takut! Satu aja nggak keurus dengan adil!” Dan saya 
sedang tidak ingin membahas masalah ta’addud yang kontroversial ini, 
melainkan saya ingin mengkaji fenomena lain seputar cinta dan pernikahan
 yakni kecemburuan atau rasa cemburu.
Kecemburuan yang dikenal 
dalam bahasa Arab sebagai ghoirah dan dalam bahasa Inggris disebut 
jealousy merupakan gejala fitrah, wajar dan alamiah dari seseorang 
sebagai rasa cinta, sayang dan saling memiliki, melindungi (proteksi) 
dan peduli. Namun pada kenyataan keseharian rasa, cemburu tidak jarang 
mendapatkan stigma dan konotasi yang selalu negatif sebagai bentuk 
ekspresi dan refleksi yang tidak pada tempatnya, norak, egois, curiga 
dan sebagainya. Memang pada umumnya, akan terasa menyesakkan dan hidup 
dalam kesengsaraan dan penderitaan bila seorang wanita selalu dibayangi 
perasaan cemburu. Seorang wanita bijak pernah berkata, “Aku pernah 
mendapati seorang teman yang begitu menderita, banyak mengeluh, 
pencemburu, karena suaminya sering bepergian. Ia juga merasa cemburu 
ketika suaminya membuat janji dengan rekan kerja, sedang menelpon atau 
sedang menulis surat, atau bahkan ketika sedang termangu dan tersenyum 
malu. Ia merasa yakin bahwa dalam pikiran suaminya pada saat itu 
terdapat wanita lain.”
Kondisi pikiran dan kejiwaan seperti ini 
timbul dari berbagai faktor, baik internal maupun eksternal. Secara 
internal mungkin karena ia tidak mampu mengendalikan kecemburuan dan 
potensi kewaspadaannya dengan bijaksana sehingga kehilangan kepercayaan 
pada suaminya dengan merugikan dirinya sendiri berdasarkan sesuatu 
indikasi sumir yang belum jelas masalahnya. Adapun secara eksternal 
memang tidak menutup kemungkinan ada banyak indikasi yang mengarah 
kepada kelayakan suami untuk dicemburui, dicurigai ataupun diwaspadai 
seperti penampilan genit, mata keranjang maupun ‘gatelan’.
Meskipun
 demikian, rasa cemburu sebenarnya tidak hanya dihinggapi kaum wanita 
saja melainkan juga kaum pria. Kalau ada sebutan istri pencemburu yang 
sering mengganggu keleluasaan ruang gerak suami, juga ada istilah suami 
cemburuan yang jealous melihat kemajuan istri yang positif ataupun 
terhadap perangainya yang di matanya selalu mencurigakan. Semuanya itu 
yang ideal memang seharusnya ditepis dengan cara mencegah rasa cemburu 
untuk berubah menjadi duri dalam daging, pasir dalam pikiran bayangan 
hitam yang menyelimuti perasaan maupun dengan cara klarifikasi 
(tabayyun), koreksi (tanashuh), maupun introspeksi (muhasabah) secara 
lapang dada, kepala dingin dan pikiran jernih sebelum segalanya terjadi. 
Sebab, jika tidak maka keadaan rumah tangga akan menjadi semakin 
genting, kritis, parah dan susah mengobatinya yang berakibat pada 
kesengsaraan. Bukankah Allah telah berpesan dalam firman-Nya: “Hai 
orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api 
neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya 
malaikat-malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Allah 
terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan
 apa yang diperintahkan.” (QS. At-Tahrim:6)
Dalam hal manajemen 
kecemburuan ini agar tidak menyengsarakan semuanya, Imam Ibnul Qayyim 
dalam Raudhatul Muhibbin (hal.241-242) menganjurkan para wanita muslimah
 untuk meniru karakteristik bidadari surga yang berhati suci sebagaimana
 disebutkan Allah dalam firman-Nya: “dan untuk mereka di dalamnya 
terdapat isteri-isteri yang suci.” (QS. Al Baqarah:25). Yaitu dengan 
membangun kejiwaan yang bersih dari perasaan cemburu yang tidak pada 
tempatnya, sikap kepribadian yang menyakiti hati suami, dan menjauhkan 
dari benak mereka untuk memikirkan pria lain selain suami mereka.
Namun
 begitu, sebenarnya tidak semua cemburu itu membawa kesengsaraan dan 
tidak terpuji. Sebab rasa cemburu merupakan suatu potensi kejiwaan yang 
bila dipakai dan dikelola pada tempatnya secara wajar justru akan 
menjadi kontrol positif dan bukan menjadi sikap negatif yang kontra 
produktif. Imam Al Munawi dalam kitab Al-Faidh justru menyatakan bahwa 
wanita yang paling mulia dan yang paling luhur cita-citanya adalah 
mereka yang paling pencemburu pada tempatnya. Maka sifat seorang beriman
 yang cemburu (ghoyyur) pada tempatnya adalah sesuai dengan sifat yang 
dimiliki oleh Rabbnya. Siapa yang mempunyai sifat menyerupai sifat-sifat
 Allah, maka sifat tersebut berada dalam perlindungan-Nya dan 
mendekatkan diri seorang hamba kepada rahmat-Nya. Rasulullah saw. 
bersabda: “Sesungguhnya Allah itu memiliki sifat cemburu dan orang-orang
 beriman juga memilikinya. Adapun rasa cemburu Allah ialah ketika 
melihat seorang hamba yang mengaku dirinya beriman kepada-Nya melakukan 
sesuatu yang diharamkan-Nya.” (HR. Bukhari dan Nasa’i).
Kehilangan
 rasa cemburu dan tumbuhnya sikap ketidakpedulian pada pasangan hidup 
dan keluarga baik para istri maupun suami dengan membiarkan penampilan, 
perilaku dan aktivitas keluarga mereka tanpa kontrol (muraqabah) dengan 
dalih saling percaya meskipun realitas di depan mata mengundang fitnah 
dan membawa indikasi negatif akan membuka peluang bagi penodaan 
kehormatan dan citra keluarga sangat dibenci dalam Islam yang mana Nabi 
melaknat perangai dayyuts yakni kehilangan rasa cemburu pada keluarga 
agar tidak jatuh kepada kemaksiatan. Beliau juga bersabda: “Orang-orang 
mukmin itu pencemburu dan Allah lebih pencemburu.” (HR. Muslim). Cemburu
 dalam arti yang positif di sini harus didasari cinta (mahabbah) karena 
Allah, bukan karena emosi hawa nafsu dan egoisme agar keluarga 
terselamatkan dari api neraka. Saad bin ‘Ubadah berkata: “Dengan cinta 
itu pula sebuah kebahagiaan hidup seseorang akan terasa semakin sempurna
 (abadi).”
Abu Faraj menjelaskan dalam An-Nira bahwa menurut 
Mu’awiyah terdapat tiga macam kemuliaan, yaitu sifat pemaaf, mampu 
menahan lapar dan tidak berlebihan dalam memiliki rasa cemburu (yang 
tidak pada tempatnya). karena berlebihan itu merupakan hal melampaui 
batas dan merupakan suatu kezhaliman terhadap pasangannya.
Cemburu
 demi kebenaran dan ketaatan merupakan dasar perjuangan amar ma’ruf nahi
 munkar. Untuk itu, apabila tidak terdapat kecemburuan dalam hati 
seorang yang beriman, maka sudah dapat dipastikan tidak ada dorongan 
untuk berjuang dan melakukan amar ma’ruf nahi munkar padanya yang 
dimulai dari diri dan keluarganya. (QS.AT-Tahrim:6) Oleh karena itu, 
Allah menciptakan sebagian dari tanda kecintaan-Nya untuk berjuang 
sebagaimana firman-Nya: “Hai orang-orang yang beriman, barangsiapa di 
antara kamu yang murtad dari agamanya, maka kelak Allah akan 
mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan mereka pun 
mencintai-Nya, yang bersikap lemah-lembut terhadap orang-orang mukmin, 
yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad di jalan 
Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela. 
Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siap yang dikehendaki-Nya, 
dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.” (QS. 
Al-Maidah:54)
Kecemburuan yang pada tempatnya akan bernilai ibadah
 dan dicintai Allah yakni cemburu terhadap sesuatu pelanggaran nilai 
syariah secara pasti dan jelas. Namun kebalikannya, kecemburuan akan 
bernilai maksiat dan dibenci Allah yang justru akan merenggangkan tali 
cinta kasih suami-istri, mengganggu ketenteraman keluarga dan 
menyengsarakan hidup bersama jika hal itu cuma mengada-ada, su’udzon 
(negative thinking), syak wasangka, curiga terhadap sesuatu yang belum 
jelas dan pasti, serta cemburu buta secara bodoh karena rasa was-was 
yang tidak pada tempatnya itu berasal dari setan (QS. An-Naas:3-6). 
Rasulullah saw. bersabda: “Sesungguhnya kecemburuan itu ada yang disukai
 oleh Allah dan ada yang dibenci oleh-Nya. Adapun kecemburuan yang 
disukai adalah kecemburuan pada hal-hal yang pasti, sedangkan yang 
dibenci oleh-Nya adalah kecemburuan pada hal-hal yang tidak pasti.” (HR.
 Ahmad, Nasa’i dan Ibnu Hibban).
Dengan demikian, rasa cemburu ada
 dua macam. Pertama adalah cemburu yang merupakan fitrah manusia, yaitu 
cemburu netral yang dapat menjaga dan melindungi harga diri dan keluarga
 dari tindakan pencemaran citra dan atau sikap melampaui batas. Cemburu 
seperti itu dianggap akhlaq mulia yang patut dimiliki oleh setiap orang 
beriman. Kedua, adalah cemburu yang merugikan, dibenci dan terlarang, 
yaitu rasa cemburu tanpa alasan yang selalu menyiksa jiwa. Ketika 
pikiran sedang dikuasai prasangka buruk, dapat saja kita menuduh orang 
yang tidak bersalah. Di atas itu semua, rasa cemburu yang tidak 
beralasan dapat merusak dinamika dan ketenteraman kehidupan rumah 
tangga. Rasulullah pernah bersabda: “Rasa cemburu ada yang disukai Allah
 dan ada pula yang tidak disukai-Nya. Kecemburuan yang disukai Allah 
adalah yang disertai alasan yang benar. Sedangkan yang dibenci ialah 
yang tidak disertai alasan yang benar.” (HR. Abu Daud).
Api 
cemburu buta yang tidak pada tempatnya dapat menghanguskan kebenaran dan
 melahirkan tindakan gegabah ataupun aniaya. Kondisi demikiankah yang 
menjadi asbabun nuzul dari surat At-Tahrim di atas yang memberikan 
pelajaran tentang arti cinta dan cemburu sehingga cinta kepada Allah 
harus didudukkan yang paling tinggi sehingga cemburu tidak akan keluar 
dari rel kesucian cinta kepada Allah, meskipun semula berangkat dari 
fitrah alamiah dari rasa cemburu. Rasulullah pernah bertanya pada 
istrinya, Aisyah Ummul Mukminin RA.: “Apakah engkau pernah merasa 
cemburu?” Aisyah menjawab, “Bagaimana mungkin orang seperti diriku ini 
tidak merasa cemburu jika memiliki seorang suami seperti dirimu.” (HR. 
Ahmad).
Ketika Rasulullah sampai di Madinah bersama Shafiya yang 
sama-sama hijrah dan yang beliau nikahi di perjalanan menuju Madinah, 
Aisyah berkata: “Aku menyamar dan keluar untuk melihatnya. Tetapi, 
Rasulullah mengetahui apa yang kulakukan dan beliau berjalan ke arahku. 
Maka aku pun bergegas meninggalkan beliau. Namun beliau mempercepat 
langkahnya hingga menyusulku. Kemudian beliau bertanya: “Bagaimana 
pendapatmu tentang dirinya.’ Aisyah menjawab dengan nada sinis, ‘ia 
adalah wanita Yahudi, putri seorang Yahudi.” (HR. Ibnu Majah).
Dari
 Aisyah RA, ia berkata: ‘pernah suatu malam, Nabi saw ada bersamaku dan 
beliau pada saat itu mengira aku telah tertidur. Maka beliau keluar dan 
aku pun mengikuti jejak langkah beliau. Sungguh aku mengira bahwa beliau
 pergi untuk menemui istrinya yang lain, hingga beliau sampai pada suatu
 tempat pemakaman. Lalu beliau pun berbelok dan aku pun mengikutinya. 
Beliau mempercepat langkahnya dan aku pun mempercepat langkahku. 
Kemudian beliau bergegas kembali ke rumah dan aku pun berlari agar dapat
 mendahuluinya menuju rumah. Setelah beliau memasuki rumah, beliau 
bertanya mengapa nafasku terengah-engah seperti orang yang menderita 
asma sedang mendaki suatu bukit. Aku pun menceritakan kejadian yang 
sebenarnya kepada beliau, bahwa tadi aku mengikuti ke mana beliau pergi.
 Beliau pun bertanya, ‘apakah engkau mengira bahwa Allah dan Rasul-Nya 
akan tega menyakiti dirimu?’” (HR. Muslim)
Kecemburuan fitrah yang
 demikian juga dimiliki oleh kalangan sahabat Nabi yang laki-laki. 
Sebagian sahabat Rasulullah pernah mempunyai rasa cemburu yang agak 
berlebihan, seperti Umar bin Khatab dan Zubair bin Awwam. Mengenai 
kecemburuan Umar, dikisahkan sebuah hadits dimana Rasulullah 
menceritakan: “Ketika aku tidur, aku bermimpi bahwa diriku ada di surga.
 Tiba-tiba ada seorang wanita sedang berwudhu di dekat sebuah istana 
surga. Aku bertanya, ‘milik siapa istana itu?’ mereka mengatakan, ‘milik
 Umar’, lalu aku teringat pada kecemburuan Umar, segera saja aku pergi 
berlalu. Umar lantas menangis mendengar cerita beliau seraya berkata, 
‘Apakah kepadamu aku akan cemburu wahai Rasulullah?’” (HR. Bukhari dan 
Muslim).
Kecemburuan Zubair dikenal melalui riwayat yang 
dikisahkan istrinya, Asma binti Abu Bakar RA. “Pada suatu hari aku dalam
 perjalanan pulang sambil memikul biji gandum di kepala. Lalu aku 
bertemu dengan Rasulullah (iparnya) yang tengah bersama seseorang dari 
kalangan Anshar. Beliau memanggilku dan mengatakan: ‘ikh 
….Ikh…’(menyuruh untanya untuk menunduk) agar dapat memboncengku di 
belakangnya. Aku merasa malu berjalan bersama laki-laki dan teringat 
pada kecemburuan Zubair, sebab Zubair termasuk orang yang sangat 
pencemburu. Rasulullah saw mengerti bahwa aku merasa malu, lalu beliau 
pergi berlalu.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Bahkan Sa’ad bin Ubadah 
pernah berkata: “Seandainya aku melihat seorang laki-laki bersama 
isteriku, niscaya aku pukul ia dengan pedang pada bagian yang tajam 
(untuk membunuhnya).” Maka Rasulullah berkata, ‘apakah kalian heran akan
 kecemburuan Sa’ad, sungguh aku lebih cemburu daripadanya dan Allah 
lebih cemburu daripadaku.’” (HR. Bukhari dan Muslim). Qais bin Zuhair 
juga pernah berkata: “Aku ini adalah tipe orang yang memiliki sifat 
pencemburu, orang yang cepat merasa bangga dan memiliki perangai yang 
kasar. Akan tetapi, aku tidak akan merasa cemburu, sampai aku melihat 
sendiri dengan mata kepalaku. Aku juga tidak merasa bangga sampai aku 
berbuat sesuatu yang patut untuk dibanggakan. Aku juga tidak akan 
berlaku bengis sampai diriku benar-benar dizhalimi.”
Meskipun 
demikian, namun berkat rahmat Allah, berbagai peraturan syariat mampu 
menjinakkan dan mengendalikan kecemburuan para sahabat tersebut. 
Terdapat kisah seorang sahaya perempuan Umar ikut shalat Subuh dan Isya 
berjamaah di masjid Nabawi. Dikatakan kepadanya: ‘mengapa kamu keluar 
rumah, sedangkan kamu tahu Umar tidak senang akan hal itu dan akan 
merasa cemburu?’ ia menjawab, ‘Apa yang menghalanginya untuk melarang 
aku (keluar rumah untuk pergi ke masjid)?’ Lanjutnya, ‘ia justru 
dihalangi untuk melarangku demikian oleh sabda Rasul ‘janganlah kamu 
larang hamba wanita Allah untuk pergi ke masjid’.” (HR. Bukhari).
Fenomena
 yang beragam ini dalam menyikapi kecemburuan memang sangat dipengaruhi 
oleh pemahaman terhadap makna kecemburuan di samping oleh pembawaan 
pribadi, karakter atau temperamen individu. Namun, terdapat titik temu 
yang menjadi pegangan dalam hal kecemburuan yakni dalam rangka amar 
ma’ruf dan nahi mungkar, melindungi harga diri dan keluarga serta 
mencegah kemungkinan terjadinya fitnah yang mencemarkan dan menodai 
kesucian keluarga berdasarkan indikasi kuat, bukti yang nyata serta 
gejala yang pasti dalam bingkai baik sangka (husnuudzdzan/positive 
thinking) yang lebih mendahulukan keutuhan keluarga shalihah agar 
senantiasa dalam ridha Allah SWT dan syariat-Nya. Wallahu A’lam Wa Billahit taufiq wal Hidayah.