IBNU TAIMIYAH DAN
PERBEDAAN ULAMA
Penyerupaan ini sebenarnya telah disampaikan sebelumnya oleh Imam Ibnu Timiyah – semoga Allah merahmatinya -, setelah berbicara tentang kesatuan agama, keragaman syariat dan manhaj para nabi – alaihimus Shalatu wassalam - kemudian mengungkapkan:
“Mazhab-mazhab, jalan-jalan (yang ditempuh oleh ulama-pent), dan strategi yang dipilih oleh para ulama, para masyasyikh dan para pemimpin, apabila mereka berkehendak mencari keridhaan Allah dan bukan hawa nafsu, agar mereka berpegang kepada millah dan agama yang tersimpul dalam rangka mengabdikan kepada Allah semata dan tidak mensyirikannya, mengikuti apa yang diturunkan kepada mereka dari Tuhan mereka dalam Kitab dan sunnah, dari satu sisi seperti kedudukan syariat dan manhaj para nabi, mereka akan dibalas karena tujuan mereka mencari keridhaan Allah dan beribadah kepadaNya semata, serta tidak mempersekutukanNya dan itulah agama yang sempurna, sebagaimana para nabi dibalas atas pengabdian mereka kepada Allah semata dan tidak mensyirikkanya, dan akan dibalas (para ulama dan masyayikh) atas ketaatan kepada Allah dan RasulNya dalam apa yang mereka pegang teguh, sebagaimana setiap nabi dibalas atas ketaatan mereka kepada Allah dalam syariat dan manhajnya.
Keragaman syariat dan manhaj mereka karena disebabkan seperti: Sebuah redaksi hadits sampai kepada mereka tidak sebagaimana redaksi yang sampai kepada yang lain, sebagian ayat ditafsirkan dengan tafsiran yang berbeda dengan tafsiran yang lain, menggabungkan antar beberapa nash dan menggali hukum dengan pola tartib dan penggabungan tidak sebagaimana yang dilakukan oleh yang lain, demikian juga dalam ibadah dan kecenderungan, kadang yang satu berpegang pada ayat atau hadits dan yang ini berpegang pada ayat atau hadits yang lain. Demikian juga dalam ilmu, sebagian ulama ada yang mengikuti metodologi seorang alim tertentu, maka jadilah syariat yang ia anut hingga ia mendengar perkataan yang lainnya dan melihat (kebenaran) yang ia tempuhnya lalu mentarjih (menguatkan) pendapat itu.
Maka beragamlah pendapat dan sikap mereka karena kecenderungan ini, mereka diperintahkan untuk menegakkan agama dan tidak berpecah belah, sebagaimana para rasul diperintahkan hal itu, mereka diperintahkan untuk tidak memecah belah ummat, sebab ia adalah ummat yang satu sebagaimana yang telah diperintahkan kepada para rasul, dan mereka jauh lebih kuat untuk merealisasikan hal ini, karena mereka disatukan oleh syariat yang satu dan kitab yang satu.
Adapun dalam masalah yang mereka perselisihkan, maka tidak dikatakan: “Sesungguhnya Allah telah memerintahkan setiap mereka – baik secara lahir maupun batin - untuk berpegang terhadap apa yang yakini, sebagaimana yang tetap pada para nabi”, betapapun perkataan ini telah diungkapkan oleh ahlul kalam (filsafat), akan tetapi seharusnya yang dikatakan: “Sesungguhnya Allah telah memerintahkan setiap mereka untuk mencari kebenaran menurut kadar kemampuan dan kekuatannya, maka apabila benar dan jikalau tidak maka Allah tidak akan membebani diri diatas kemampuannya, dan sungguh kaum mukminin telah berdo’a: ‘Wahai Tuhan kami, janganlah Engkau menyiksa kami jika kami lupa atau salah’.” Dan Allah telah berfirman: “Sungguh Aku telah lakukan itu”. Dan Allah telah berfirman pula: “Dan tidak ada dosa atas kalian dalam apa yang kalian berbuat salah”.
Maka barang siapa yang menghina dan mencela atas apa yang Allah tidak akan menyiksa mereka, maka sungguh ia telah melampui batas, dan barang siapa menghendaki menjadikan perkataan dan perbuatan mereka seperti kedudukan perkataan dan perbuatan Nabi Al Makshum (yang terjaga dari kesalahan), membelanya tanpa petunjuk dari Allah maka sungguh telah melampui batas dan mengikuti hawa nafsunya tanpa petunjuk dari Allah.
Dan barang siapa melakukan sebagaimana yang diperintahkan menurut kondisinya, yakni dengan berijtihad yang ia mampu lakukan atau bertaqlid jika ia tidak mampu berjtihad, dan ia bertaqlid dalam posisi yang penuh keadilan maka ia adalah orang yang objektif, sebab perintahnya dibingkai dalam syarat kemampuan, (Allah tidak akan membebani seseorang diatas kemampuannya).
Maka kewajiban atas setiap muslim pada setiap posisi adalah menghadapkan wajahnya hanya Kepada Allah semata, senantiasa menjaga keislamannya, menyerahkan wajahnya yakni mengikhlaskan dirinya hanya kepada Allah, memperbaiki perbuatanya yang baik, maka renungkanlah ini, karena ia adalah sebuah dasar yang sempurna yang bermanfaat lagi agung. [3]
SEBAB-SEBAB KERAGAMAN
Setelah kita mengetahui tentang hakekat keragaman manhaj dakwah, kita dapat menyimpulkan sebab-sebabnya dalam tiga sebab utama:
1. Tabiat nash-nash syar’i yang multipretatif, keragaman pandangan dan ijtihad manusia dalam memahami uslub dan metoda dakwah dalam amal Islami yang digali dari nash-nash syariat dan dari sirah Rasul SAW dan sirah Khulafaurrasyidin semoga Allah meridhai semua.
Jika kita lebih dalam melihat tentang sebab ini, maka kita melihat bahwa keluasan sirah Nabi SAW dan sirah Khulafaur Rasyidin karena keragaman pandangan dan ijtihad, jauh lebih luas dari keluasan nash-nash yang bersumber dari hukum-hukum syariah.
Disana kadang ditemukan sebuah kondisi yang sebagian melihatnya sebagai sebuah kebijakan Imam dan strategi politik, pada saat mana yang lain memandang sebagai sebuah tabligh dan Fatwa, yang lain memandang sebagai sebuah kebijakan Qadhi dan Mufti menurut pemahaman yang dicapai oleh seorang Alim dan mujtahid, sebagaimana kami telah jelaskannya pada tulisan kami yang bertema: “Al Ashalah Wal Mu’ashirah Khashshiyatani min Khashaishid Dakwah Islamiyah” (Orisinalitas dan kemoderenan adalah dua keistimewaan dari keistimewaan dakwah Islam).
Karena seperti sebab-sebab inilah, keragaman manhaj ilmiyah dikalangan ulama salaf kita muncul, ada diantara mereka yang berpegang kepada Atsar dan sedikit menggunakan akal, hingga menjadi dua madrasah besar yakni Madrasah Ahlul Hadits dan Madrasah Ahlur Ra’yi (logika), pada madrasah pertama seperti sahabat Abdullah ibnu Umar – semoga Allah meridhai keduanya - hingga kemudian muncul dalam kepribadian Imam Malik bin Anas – semoga Allah merahmatinya - yakni Imam Kota hijrah. Dan tokoh terkemuka pada madrasah lain – yakni madrasah Ahlul Ra’yi - sahabat sekaliber Umar bin Khattab dan Abdullah ibnu Mas’ud, yang kemudian tampil pada sosok Imam Abu Hanifah – semoga Allah merahmatinya - [4].
Karena hal-hal seperti inilah, terjadi keragaman sikap para salafus shaleh kita - semoga Allah merahmati mereka semua - dalam mengambil ketentuan fikih yang bersifat pasti maupun nisbi, di antara mereka ada yang mengambilnya dan bahkan sangat luas dalam membahasnya, namun ada juga yang menolaknya dan bersifat lebih hati-hati dan masing-masing memberikan dalil-dalil baik yang bersifat naqli maupun Aqli [5].
Seperti ini juga, keragaman manhaj para ulama salaf kita dalam membuka peluang seluas-luasnya dan mempersempit peluang dalam mengambil pokok-pokok bahasan dan memanfaatkan hal-hal yang baik, di antara mereka ada yang memperluas dan sebagian yang lain mempersempit, dan masing-masing memberikan argumentasi terhadap manhajnya baik naqli maupun aqli [6].
Dan contoh-contoh yang lain yang selalu muncul keragaman manhaj kaum muslimin baik pada tempo dulu maupun kontemporer yang meliputi seluruh sisi kehidupan kaum muslimin baik yang umum maupun yang khusus.
2. Diantara sebab yang melahirkan beragamnya manhaj dakwah kaum muslimin hari ini adalah hilangnya kesatuan politik di lapangan medan dakwah yang tercermin dalam khilafah Islam yang menjadi menjaga kepentingan ummat, mensinergikan beragam potensi dan menghilangkan perbedaan.
Dr. Yusuf Al Qardhawi menjelaskan tentang sebab ini saat kami dan beliau sedang diwawancarai olrh majalah Al Ishlah yang terbit di Dubai, salah satu kota di Emirat Arab, beliau ditanya pertanyaan berikut:
“Ketika berbicara tentang Kebangkitan Islam, ada sebuah kenyataan yang sangat menarik perhatian yaitu masalah keragaman jamaah-jamaah Islam yang berada di lapangan dakwah, yang tidak dapat menghilangkan perbedaan tapi bahkan pertikaian yang memecah satu sama yang lain pada beberapa kondisi. Bagaimana persepsi yang benar yang seharusnya dimiliki oleh jamaah-jamaah ini untuk mensinergikan potensi demi kepentingan dan kemaslahatan kaum muslimin secara keseluruhan?”
Beliau menjawab,
“Apakah engkau menyakini bahwa realitas keragaman ini hanyalah sebuah realitas saja? Keragaman ini merupakan sebuah realitas yang pasti dan tidak terelakkan karena hilangkan penegakan kewajiban besar dari kewajiban-kewajiban Islam, apabila kita melihat pada masa generasi awal, masa kenabian, kemudian masa kekhalifahan Ar Rasyidah yang menyatukan ummat, maka kita tidak menemukan kecuali satu jamaah, dibawah kepemimpinan yang satu yakni jamaatul muslimin dibawah kepemimpinan Rasulullah saw kemudian kepemimpinan Khulafurrasyidin.
Amal Islami ini tetap berjalan dibawah naunan jamaah yang satu dan kepemimpinan yang satu hingga hilangnya kekhilafahan yang diangkat dengan sebuah bai’at syar’i dari kaum muslimin, maka terpanggillah para Alim dan para duat yang ikhlash untuk memperbaiki kondisi demi tertegaknya kembali Al Islam, dari sinilah awal munculnya jamaah-jamaah dan sangat beragam. Yakni bahwa keragaman jamaah-jamaah tidak akan muncul apabila kaum muslimin hidup dibawah naungan kekhalifahan yang diangkat dengan sebuah bai’at yang syar’i [7]. Adapun realitas hari ini, saat hilangnya kekhalifahan dari kehidupan kaum muslimin, maka seharusnyalah jamaah-jamaah mensinergikan potensinya dan hendaknya mereka memiliki kesepahaman dan saling tolong menolong diantara mereka. [8]”
3. Diantara sebab yang melahirkan munculnya keragaman ini adalah: Keinginan besar dari para pelaku dakwah di lapangan dalam mengumpulkan jumlah yang besar dari kaum muslimin dalam sebuah amal Islami demi menjaga eksistensi keberadaan kaum muslimin dari makar-makar musuh-musuhnya serta agar lebih memusatkan perhatian segenap potensi ummat untuk merealisasikan tujuan bersama.
Satu hal yang tidak dapat dipungkiri, beragamnya kecenderungan dan tempat pengambilan sumber kaum muslimin serta aneka pendapat dan ijtihad di kalangan mereka tidak memungkinkan dapat diakomodir dan dikelola oleh sebuah tandzim (menejemen dakwah) yang satu atau kepemimpinan yang satu, terlebih saat hilangnya jamaah yang dapat diakui kesempurnaannya oleh semua kalangan, yang dapat menjadi pengayom ketika berada di bawah panji-panjinya, serta tidak lagi membutuhkan kelompok dan perkumpulan-perkumpulan yang lain dengan keberadaanya.
Abul A’la Al Maududi seorang da’i Pakistan pernah menyampaikan sebab yang melahirkan munculnya organisasi yang beliau rintis sebagai berikut:
“Aku berusaha demikian pula para sahabatku yang memiliki keprihatian dan pemikiran yang sama denganku, kami berusaha dengan keras selama kurun tiga tahun menghimpun jamaah-jamaah yang ada saat itu bernaung di bawah bendera yang satu, atau program kerja yang satu yang akan merealisasikan tuntutan-tuntutan lapangan bagi hidupnya Islam yang hakiki, usaha ini bertujuan untuk mensinergikan beragam potensi yang tersebar dalam jamaah-jamaah yang ada, yang dengannya tidak ada lagi alasan dan kebutuhan lapangan untuk membentuk perkumpulan dan jamaah yang lain.
Namun sayang, usaha kami mengalami kegagalan, dan tidak ada pilihan di hadapan kami selain bertemunya jamaah-jamaah yang bergerak dalam medan amal saat itu dalam prinsip-prinsip dasar Islam yang shahih.
Demikianlah, pertemuan yang diadakan di bulan Sya’ban 1360 H atau yang bertepatan dengan bulan Agustus 1941 M, telah diselenggarakan pertemuan organisasi-organisasi, maka setelah diskusi dan perbincangan maka kami sepakat membuat organisasi yang bernama ‘Jamaah Islam’ [9].”
Dan seperti sebab berdirinya organisasi jamaah Islam ini, kita terkadang menemukan kemiripan pada berdirinya organisasi dan jamaah-jamaah Islam yang tersebar hari ini, yang semakin menguatkan kemestian keragamaman jamaah-jamaah dan kebutuhan kaum muslimin saat ini akan keberadaannya.
Jika kaum muslimin pada waktu yang lalu telah dikaruniakan taufiq Allah SWT akan keberadaan para ulama dan du’at yang benar lagi jujur, yang dengan keikhlasan, jerih payah dan kesadaran mereka sanggup mendekatkan antara manhaj (metodologi dan pendekatan) Ahli Hadits dan Ahli Ra’yu (logika), sebagaimana yang telah dilakukan oleh Al Imam Syafi’i – Rahimahullah- dan yang lainnya.
Maka, semoga hari ini kita pun dikaruniakan taufiq Allah Swt para ulama yang ikhlas dan para du’at yang berupaya dengan segenap kekuatannya mempertemukan antar para pelaku di medan amal Islami serta mendekatkan jamaah-jamaah yang beragam, mereka menapaktilasi kembali perjuangan dan usaha yang telah dirintis para pendahulunya, telah memberikan andil menajamkan makna persatuan Islam, dan mendekatkan beragam persepsi dan pemahaman sedapat mungkin, sebab ummat hari ini sangat membutuhkan jamaah yang membawa misi ini dan berupaya dalam medan amalnya merealisasikan tujuan ini.
Siapapun yang membaca realita masa lalu yang pernah terjadi di antara dua kubu madrasah (metodologi dan pemikiran) yakni Ahli hadits dan ahli logika serta para pengikutnya akan menemukan permusuhan, perselisihan yang sengit dan bahkan saling melemparkan tuduhan dan kecaman, lalu mereka kembali dalam kedekatan pemahaman dan persepsi pada sebagian besar masalah, maka akan terasa ringan dan kecil apa yang kita hadapi hari-hari ini, serta rasa optimis yang besar akan terwujudnya kedekatan pemahaman pada jamaah-jamaah ini. Dalam kitab “Tartibul Madarik” Qadhi ’iyadh – rahimahullah - pernah berkata: “Imam Ahmad bin Hambal berkata: “Kami tiada henti-hentinya mengecam Ahli Ra’yi (logika) dan merekapun mengecam kami, hingga datang Imam Syafi’i yang menjadi penengah diantara kami”.”
Qadhi Iyadh berkata: “Yang dimaksud beliau, Imam Syafi’i berpegang pada Atsar-atsar yang shahih dan menggunakannya, kemudian membingkainya dengan logika jika diperlukan lalu menggali hukum-hukum syariat. Dan sesungguhnya ia hanyalah analogi terhadap pokok-pokoknya, dan Imam Syafi’i telah menunjukkan kepada mereka bagaimana mengambilnya serta berpijak terhadap illat-illat hukumnya. Maka Ahli hadits pun mengetahui bahwa Logika yang benar adalah cabang dari hukum asal, dan Ahli logikapun mengetahui bahwa tidak ada cabang tanpa pokok, dan sesungguhnya tiada guna sebuah logika jika harus mendahului sunnah dan atsar-atsar yang shahih [10].”
Pada penutup ini, saya ingin sekali menguatkan penegasan bahwa upaya untuk mempersatukan amal Islami dan mempertemukan satu kalimat dengan berbagai sarana yang memungkinkan adalah kewajiban syar’i bagi siapa saja yang mampu, sebab yang demikian itu akan mencegah perpecahan di kalangan umat Islam, mensinergikan beragam potensi serta lebih merealisasikan kesatuan barisan dihadapan musuh-musuh agama, sebab sudah cukup bencana dan musibah yang telah menimpa umat ini akibat perpecahan dan perselisihan mereka. Allah berfirman:
Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah, orang-orang yang bersaudara. (QS.3:110)
Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya. (QS. 5:2)
[]
—
Oleh: Dr. Muhammad Abul Fath Al Bayanuni (Dosen Ma’had Al ‘Aly Fakultas Dakwah Madinah Al Munawwarah)
Penterjemah: Abu Zaki
—--------------------
Catatan Kaki:
[3] Hal ini sebagaimana yang telah diungkapkan oleh Ibnu Taimiyah – rahimahullah - adalah sebuah dasar yang kokoh, bermanfaat lagi agung, yang menunjukkan kedalaman pandangannya, kejelian analisanya yang belum pernah kami temukan sebelumnya, kami telah beberapa tahun lamanya mengkaji topik ini agak sedikit ragu dengan analogi ini, ketika kami semakin mendalami dan menyelami perkataan ini maka kami semakin tenang dan yakin pendapat kami akan hakekat keragaman manhaj dalam dakwah dan mazhab-mazhab ilmiyah, karenanya kami paparkan penjelasan Ibnu Taimiyah – rahimahullah - secara utuh agar lebih bermanfaat sebab beliau telah menegaskan hakekat keragaman serta beberapa isyarat tentang sebab dan faktor-faktor kemunculannya berikut sikap yang seharusnya kita tampilkan, semoga Allah senantiasa membalasnya dengan segenap kebaikan. Majmu’ Fatawa (19/126-128)
[4] Lihat Kitab “Al Fikrul Sami Fi Tarikhi Fiqhil Islami” yang dikarang oleh Al Hijri yang kemudian di tahqiq oleh Abdul Aziz bin Abdul fatah al Qari, diterbitkan oleh Maktabah Ilmiyah Madinah Al Munawwarah (1/349-353) dan juga kitab “Dirasah Tarikhiyah Lil fiqh Wa Ushuluhu, Wal Ittijahat Allati Dhaharat fiha” karangan Dr. Musthafa Said Al Khasyi yang diterbitkan Syariah Muttahidah Lit Tauzi’ cet. 1 (76-80)
[5] Lihat penjelasannya lebih luas dalam “Al Fikrul Sami Fi Tarikhi Fiqhil Islami” yang dikarang oleh Al Hijri, (1/349-353).
[6] Lihat dalam kitab “Al Muwafaqat” karangan Asy Syathibi yang disyarahkan oleh Asy Syaikh Abdullah Darraz (1/117-123).
[7] Demikianlah pandangan Dr. Yusuf al Qardhawi, dalam hal ini saya memandang bahwa pandangan dalam masalah ini adalah sebuah kemaslahatan yang dilihat oleh seorang Imam. Saat itulah, apabila ia melihat sebuah kemaslahatan harus ditetapkan maka ia akan menetapkannya, dan apabila ia melihat sebuah kemaslahatan harus ditiadakan maka ia akan meniadakannya, dan apabila ia melihat sebuah kemaslahatan adalah dengan berpegang pada satu bentuk dari beberapa bentuk yang ada maka baginya pula, maka ia adalah sebuah rujukan, dan masalah ini hukumnya dapat menghilangkan perbedaan. Wallahu a’lam.
[8] Lihat Majalah Ishlah no 77 bulan Syawal 1404 H
[9] Lihat Kitab “Abul A’la Al Maududi, fikratun wa Dakwatuhu” karangan As’ad Jilani hal.43.
[10] Lihat kitab “Tartibul Madarik” (1/91) (3/181) lihat juga dalam mukaddimah A’la’us Sunan karangan At Tahawuni (1/230)
Cat : Sebaiknya baca juga Bagian Satu DISINI
0 Komentar:
Posting Komentar
Kehormatan buat kami jika selesai baca Anda beri komentar atas Artikel ini....tapi, Mohon Maaf kawan Komentarnya yang sopan ya....he..he..he..