Oleh: Sigit Kamseno
Menjelang pembukaan sebuah acara pelatihan di kawasan Puncak, Bogor,
seorang teman yang bekerja di Kementerian Agama menceritakan
pengalamannya menjadi moderator dalam sebuah acara temu konsultasi
antara Ditjen Bimas Islam Kementerian Agama RI dengan Ormas-Ormas Islam
di Indonesia. Sebagai seorang jebolan pesantren dan sebuah Universitas
Islam di Medan, wawasan keislaman teman saya ini cukup luas dan
moderat.
Saya tertarik dengan ucapannya waktu itu, bahwa sebagai salah satu ‘ormas’ Hizbut Tahrir sesungguhnya memiliki dua wajah. (by the way saya sepakat dengan kata ‘ormas’ ini. Bahwa, Hizbut Tahrir secara de jure
memang terdaftar sebagai ormas di Indonesia, sekalipun seluruh
syabab/aktivis HT mengklaim diri sebagai partai politik non peserta
pemilu).
Wajah baik
Kata “dua wajah” ini mengingatkan saya tentang fakta demokrasi, sebuah
ideologi yang tak henti-henti dihinadina dan dicerca habis-habisan oleh
syabab Hizbut tahrir. Selayaknya demokrasi yang memiliki dua wajah,
yakni wajah baik dan buruk, Hizbut Tahrir juga memiliki dua wajah. Wajah
baik Hizbut Tahrir, seperti sering saya apresiasi di setiap kuliah
saya di hadapan rekan2 mahasiswa dan dosen, adalah bentuk perlawanan
mereka terhadap dominasi ideologi yang dihembuskan oleh Negara adidaya
Amerika Serikat ke seluruh penjuru bumi. Semangat ini, saya pandang
sebagai wajah baik hizbut tahrir, karena sejujurnya saya termasuk dalam
kalangan yang memandang bahwa hembusan demokrasi yang dikipas2 oleh
amerika ke banyak Negara sebetulnya dipenuhi oleh banyak sekali
kepentingan. Minyak, dan usaha mempertahankan superioritasnya pada
negara2 lain di dunia adalah kepentingan terbesar AS yang berlindung
dibalik gaun demokrasi. Amerika Serikat bahkan menyimbahkan genangan
darah pada gaun demokrasi itu di Afghanistan, Iraq, dan kini Libya.
Hingga gaun itu terlihat bersimbah darah dan terlihat amat buruk.
Dengan berlindung di balik gaun demokrasi itulah, pemerintah AS
menumpahkan darah2 manusia sehingga tampak amat lengket di aspal-aspal
jalan, di pagar-pagar perkampungan, hingga di mimbar-mimbar masjid,
sementara tangannya sibuk membawa tangki2 minyak yang siap ia bawa
pulang untuk berminum-minum di atas meja makan nan indah dipenuhi
obrolan-obrolan ‘ringan’: “Negara mana lagi selanjutnya?”
Hizbut tahrir, menentang imperialisme ini. Dengan tak henti menyebarkan
wacana perlawanan terhadap ideologi Amerika yg kini mendominasi dunia.
Di kampus-kampus, di dunia maya, di masjid2, tak sulit bagi kita
untuk mendapatkan leaflet, brosur, atau bulletin kampanye Hizbut Tahrir
ini. Meski perannya memang hanya sebatas wacana (jujur sejauh ini saya
belum melihat langkah riil HT dalam “melawan” Amerika kecuali
lewat seminar, jaulah tokoh, konferensi, atau tulisan2 di media2 milik
mereka, yang kesemuanya hanya berada pada level ‘wacana’ semata.),
namun saya pikir cukup berperan sebagai sebuah counter wacana atas “keunggulan-keunggulan” demokrasi yang merajalela di hampir seluruh dunia.
Melalui media HT, meski bukan satu2nya faktor, tak sedikit diantara
ummat Islam yang akhirnya paham bahwa demokrasi, tak melulu unggul
sebagai sebuah ideologi.
Melihat hizbut tahrir dalam wajah“baik”nya ini, mengingatkan kita pada
karya-karya Karl Marx, Engels, beserta ‘binaan’2anya semacam Lenin,
Stalin, Mao Tse Tung, DN Aidit, Tan Malaka, Fidel Castro, Hugo Chavez,
atau mungkin Pramoedya Ananta Toer. Wajah HT mirip dengan nama-nama
tersebut, hanya saja HT duduk di jajaran kursi sebelah “kanan”. Maksud
saya, Di dalam pesawat yang hendak membombardir kapitalisme dan
demokrasi ini, Marx satu jajaran dengan Engels di bangku sebelah kiri,
sementara Taqiyuddin dengan Abdul Qadim Zallum berada pada pesawat yang
sama di jajaran sebelah kanan.
Bedanya kaum komunis melakukan aksi berdarah-darah dalam perlawanan
melawan kapitalisme-demokrasi (dan saya tidak setuju dengan hal ini),
sementara HT tidak berdarah-darah tetapi berseminar2 dan
berkonferensi-konferensi (saya juga tak setuju dengan hal ini karena
tidak kongkrit, rasanya harus ada formula lain dalam membasmi racun
kapitalisme ini yang cerdas dan membunuh).
Bagaimanapun, saya selalu memberikan apresiasi atas bentuk counter opinion terhadap sesuatu yang dianggap wajar padahal zalim. Seperti kapitalisme dan demokrasi a la amerika itu. Tanpa ada pihak2 yang berani melakukan counter,
maka kezaliman akan dianggap sebagai kelaziman. Selain itu, adanya
dialektika dari satu tesis dengan tesis lainnya. Meminjam istilah
filosof Jerman George Wilhem Friendrich Hegel, akan melahirkan absolute
idea atau the great spirit yang akan membawa manusia pada kesempurnaan
konsep. Hizbut Tahrir berdiri sebagai antitesa, layaknya Daud melawan
raksasa tesis Demokrasi Amerika.
Wajah Buruk
Eksplorasi di atas adalah pembedahan saya dari obrolan ringan dengan
teman yang orang medan itu. Kemudian dia melanjutkan bahwa hizbut
tahrir memiliki satu wajah lagi: wajahnya yang buruk. Bukan buruk
secara aqidah seperti selama ini cukup ramai diperbicangkan, misalnya
ketidakyakinan Hizbut tahrir terhadap adanya siksa kubur, (utk hal ini
baiknya diantara rekan syabab ada yang memberikan klarifikasi karena
point ini menjadi bola liar untuk menghantam hizbut tahrir dari segi
aqidah. Atau justru memang kenyataannya demikian?), atau
bagaimana seorang syabab HT menafikan Nabi Ismail sebagai Rasul Allah
sebagaimana dicetuskan di dunia maya oleh seorang kakak kelas saya yang
aktivis Hizbut Tahrir itu. Laa haula wa laa quwwata illa billah,
sebuah keyakinan yang nyata-nyata bertentangan dengan al-Qur’an, (saya
berharap itu hanya pandangan pribadi kakak kelas saya yang—sekali
lagi, aktivis hizbut tahrir itu—atas kejahilannya terhadap al-Quran
semata karena berpijak pada definisi “Nabi” dan “Rasul” a la buku Materi Dasar Islam yg dikaji oleh pemula2 di Hizbut Tahrir).
Saya tak ingin membedah terlalu jauh masalah aqidah Hizbut Tahrir ini,
di dunia maya ada cukup banyak rekan yang saya pikir lebih kompeten utk
membedahnya. Wajah buruk HT yang lain, menurut teman saya itu, adalah
penyerangannya yang membabibuta terhadap kelompok-kelompok lain.
Hal ini mudah dipahami bahwa, sebagai jamaah yang berfokus pada “counter opinion”
terhadap ideologi asing, Hizbut Tahrir tak henti melakukan propaganda
agar publik memahami betapa busuknya kapitalisme, sekularisme, dan
demokrasi. Perjuangan meng-counter ideologi ini memang
mengharuskan syabab Hizbut Tahrir untuk melakukan propaganda ke dalam
opini masyarakat seperti yang mudah kita temui di masjid2, kampus, atau
di dunia maya seperti saya singgung di awal tulisan tadi.
Senyatanya, propaganda ini merupakan sebentuk “dakwah” Hizbut Tahrir.
Hampir seluruh (atau memang seluruhnya?) aktivitas dakwah Hizbut
Tahrir, mulai dari bulletin, tabloid, majalah, jaulah, seminar, diskusi
publik, konferensi, demonstrasi, dan sebagainya ditujukan untuk
mempropagandakan keagungan khilafah dan kebusukan ideologi dan sistem
politik selainnya. Saya pikir tak ada masalah dengan hal ini, hanya
saja tampaknya Hizbut Tahrir “kelewatan” dalam melakukan “aktivitas
dakwah”nya.
Tak jarang dalam melakukan propaganda demi mengopinikan keagunan
khilafah yang dicita-citakan seraya membusuk-busukan apa yang dipandang
bertentangan dengannya, seperti demokrasi misalnya, syabab Hizbut
tahrir melakukan serangan pada kelompok-kelompok Islam yang tak
sepemandangan dengannya. Bagaimana syabab Hizbut Tahrir misalnya, kerap
mengeksploitasi habis-habisan kelemahan kelompok lain agar tampak
bahwa pemahaman HT-lah satu-satunya yang paling benar. Jika ada satu
kelemahan atau kekhilafan {‘kekhilafan’ ya, bukan ‘kekhilafahan’ :-)}
yang dilakukan kelompok dakwah lain, maka serta merta syabab HT
menjadikannya sebuah amunisi untuk kemudian mengeksploitasi kekhilafan
tersebut tanpa merasa perlu melakukan tabayun atau check and recheck yang merupakan sikap seorang muslim.
Dalam lain kesempatan, syabab Hizbut Tahrir juga memberikan predikat
penuh propaganda sekaligus demarketisasi terhadap sebuah partai dakwah
islam di Indonesia dengan sebutan telah melakukan “pelacuran politik”.
Sebuah predikat terlampau kasar yang tak pantas digunakan oleh seorang
aktivis dakwah, apalagi sengaja disebar sebagai sebuah demarketing
terhadap partai dakwah tersebut dengan harapan agar para pembaca
mengalihkan dukungannya pada Hizbut Tahrir. Sebuah megalomania
ideologis yang mirip-mirip madzhab Machiavelli.
Dan, sebagaimana tak sulit untuk menemukan media-media propaganda
Hizbut Tahrir setiap Sholat Jumat, ternyata pedasnya lisan aktivis
Hizbut tahrir juga mudah ditemukan di banyak tempat. Dalam interaksi di
dunia maya, kadang kelompok lain juga terpancing utk membalas,
beberapa syabab mungkin sudah melakukan screen shoot atau menyimpan link di
layar komputer utk menujukkan bahwa bukan hanya syabab yg berlaku
kasar, tapi perlu diketahui bahwa semuanya diawali oleh syabab Hizbut
Tahrir itu sendiri yg memang dituntut utk melakukan propaganda akan
keagungan khilafah dan kebusukan sistem lain itu. (Sekadar
mengingatkan, dakwah HT memang banyak berkutat pada propaganda politik
sehingga segala macam “yang buruk2” tentang demokrasi akan di-blow up habis2an, dan “segala yang buruk2” tentang sejarah khilafah akan disimpan rapat2. )
Tak cukup menyerang aktivis dakwah lain, Syabab HT juga menyerang para
ulama. Terus terang saya betul-betul terkejut ketika ada syabab HT
menggelari al-Muhaddits Al-Syaikh Nashiruddin al-Albani serta Syamahatusy Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdullah bin Baz sebagai Ulama-ulama Su’, atau seburuk-buruk ‘ulama. Laa hawla walaa quwwata illa billah.
Bahkan seorang ulama Indonesia yang merupakan Imam Masjid Istiqlal,
seorang pakar hadits dan murid langsung dari ulama internasional
al-Syaikh Musthafa al-A’zhami, seorang ‘alim yg berbaris dalam jajaran
ulama MUI, sekaligus Rais Syuriah PBNU, dan anggota lajnah pentashih
Mushaf al-Quran, yakni al-Ustadz Dr. ‘Aly Musthafa Ya’qub, MA pun
disesat2kan dan digelari dengan sebutan ulama su’ (Ulama sesat) semata
karena berbeda pandangan dengan Hizbut Tahrir. Masya Allah.
sebuah musibah bagi dakwah Islam jika seorang pemuda da’i yang baru
belajar mengaji begitu berani menyesat-nyesatkan ulama, apalagi tampak
para syabab Hizbut Tahrir saling tolong menolong dalam hal mencela
ulama tersebut.
Memang hanya orang besar yang bisa menghormati orang besar. Meminjam
istilah ust. Farid Nu’man, Mereka (para pemuda itu) merasa telah
menyelam ke lautan dalam, padahal ilmu mereka masihlah di tepian
pantai. Uang receh memang berisik bunyinya.
Aktivis Hizbut Tahrir juga tak jarang mencela HAMAS, sebuah gerakan
perlawanan terhadap Israel yang didukung oleh “sangat Mayoritas” rakyat
Palestina, syabab HT juga mencela Pemimpin Turki Recep Thayib Erdogan
yang berupaya merubah konsitusi sekular di Negara reruntuhan Khilafah
‘Utsmaniyyah itu, HT juga mencela hasil usaha keras rakyat Mesir yang
telah berlelah-lelah dalam menggulingkan rezim Husni Mubarak semata
karena tak menelurkan hasil yang sesuai dengan keinginan HT. Ironisnya,
di negara2 tersebut, peran Hizbut Tahrir dalam membela kepentingan
rakyat tak terdengar sama sekali gemanya.
Propaganda kesekian kalinya adalah “pembajakan” terhadap nama
organisasi2 Islam. Dalam dunia maya, kita bisa melihat betapa syabab HT
melakukan propaganda yang melampaui batas dengan mencatut nama
Nahdhatul ‘Ulama, Muhammadiyyah, serta Kammi. Nama-nama organisasi
tersebut dibajak untuk dicantumkan dalam grup facebook “mendukung
khilafah”, sebuah grup yang ditujukan sebagai media propaganda dan
kampanye HT. Anda, rekan-rekan sekalian bisa bertanya kepada para
pengurus PBNU, Muhammadiyah, atau Kammi, apakah mereka mengetahui
pembuatan grup tersebut? Hizbut Tahrir seolah ingin—maaf—“numpang
tenar” dengan menggunakan nama besar organisasi tersebut, seolah
organisasi-organisasi besar itu mendukung ide2 mereka. Hal ini mungkin
dibutuhkan karena sejatinya Hizbut Tahrir memang hanya organisasi kecil
dengan pengikut yang relative sedikit. Dalam hal ini, HT tampak memang
telah kelewatan dalam melakukan “dakwah”nya.
Demikianlah, wajah baik maupun wajah buruk Hizbut Tahrir, keduanya
merupakan “perlawanan” terhadap “musuh2” ideologisnya. Dalam dunia
marketing, cara2 mereka ini justru akan menjadi boomerang yang menghantam “nama besar” Hizbut Tahrir itu sendiri. Bagaimana cara marketisasi ideologi yg mereka lakukan, seperti tagging gambar-gambar ke account aktivis dakwah lain secara berlebihan, atau melakukan spamming link-link milik HT di grup-grup yang high rate
yang diharapkan akan menumbuhkan dukungan bagi Hizbut Tahrir , justru
akan melahirkan ‘kebencian’ terhadap Hizbut Tahrir itu sendiri.
Kekecewaan terhadap HIzbut thari ini tampaknya sulit dielakkan, bahkan
seorang teman mengatakan, “saya setuju khilafah, tapi bukan oleh Hizbut
Tahrir. Karena jika HT berkuasa, akan meletus perang dunia karena HT
meyakini perluasan wilayah yg tak henti2 utk menancapkan kekuasaannya di
seluruh penjuru bumi secara radikal.”
Sebuah imperialisme baru, bukan?
Wallahu a’lam
Jakarta, 30 Juni 2011
sumber : Notes FB Sigit
* http://mediaukhuwwah.blogspot.com/2011/07/dua-wajah-hizbut-tahrir.html
assalam, mas saya orang awam yang gag tau tentang ormas dan segala macam, dengan artikel ini saya jadi berfikir tindakan apa yang seharusnya dilakukan? tapi setelah saya membaca dan medalaminya, bukan malah semakin tertarik memperdalam islam, jadi takut masuk terlalu jauh berhubungan dengan para aktifis islam yang mendakwahkan islam. . . jazakillah
BalasHapuswals. semoga antm di muliakan Allah, berkenaan dgn tindakan apa yg di lakukan jawaban ana hanya ada satu kata mengutip sebuah ungkapan dari tokoh gerakan dakwah " bekerjasama terhadap apa yg di sepakati dan saling toleransi terhadap hal yg berbeda. " selma hal itu bukan persoalan prinsip dalm hal agama. terus saudaraku, artikel ini bukan tujuan utk mejelekan atau mempertontonkan kekurangan salah satu organisasi dlm mengusung dakwah, tapi semoga menjadi ibroh buat kita. saudaraku, teruslah mendalami islam karena itu untuk kejayaan ummat ini dan jgn membatasi diri hanya krn perbedaan organisasi, bukankah kita di persaudarakan oleh islam ?...syukron
BalasHapus