Oleh : Abu Hafsh Usamah bin Kamal bin Abdir Razzaq
Teguh dengan kesetiaan yang jujur merupakan sifat
wanita yang paling utama. Sebuah kisah menyebutkan, bahwasanya Asma’
binti 'Umais adalah isteri Ja’far bin Abi Thalib, lalu menjadi isteri
Abu Bakar sepeninggalnya, kemudian setelah itu dinikahi oleh ‘Ali
Radhiyallahu ‘anhu. Suatu kali kedua puteranya, Muhammad bin Ja’far dan
Muhammad bin Abi Bakar saling membanggakan. Masing-masing mengatakan,
“Aku lebih baik dibandingkan dirimu, ayahku lebih baik dibandingkan
ayahmu.” Mendengar hal itu, ‘Ali berkata, “Putuskan perkara di antara
keduanya, wahai Asma’.” Ia mengatakan, “Aku tidak melihat pemuda Arab
yang lebih baik dibandingkan Ja’far dan aku tidak melihat pria tua yang
lebih baik dibandingkan Abu Bakar.” ‘Ali mengatakan, “Engkau tidak
menyisakan untuk kami sedikit pun. Seandainya engkau mengatakan selain
yang engkau katakan, niscaya aku murka kepadamu.” Asma’ berkata, “Dari
ketiganya, engkaulah yang paling sedikit dari mereka untuk dipilih” [1]
Abu
Bakar Radhiyallahu ‘anhu berwasiat agar Asma’ binti ‘Umais
Radhiyallahu ‘anhuma memandikannya (saat kematiannya). Ia pun
melakukannya, sedangkan ia dalam keadaan berpuasa. Lalu ia bertanya
kepada kaum Muhajirin yang datang, “Aku berpuasa dan sekarang adalah
hari yang sangat dingin, apakah aku wajib (harus) mandi?” Mereka
menjawab, “Tidak.” Sebelumnya Abu Bakar Radhiyallahu ‘anhu menekankan
kepadanya agar (ketika memandikannya) dia tidak dalam keadaan berpuasa,
seraya mengatakan, “Itu membuatmu lebih kuat.”
Kemudian
ia teringat sumpah Abu Bakar pada akhir siang, maka ia meminta air
lalu meminumnya seraya mengatakan, “Demi Allah, aku tidak ingin
mengiringi sumpahnya pada hari ini dengan melanggarnya” [2]
Ketika
kaum pendosa lagi fasik mengepung pemimpin yang berbakti dan “sang
korban pembunuhan” kaum berdosa, ‘Utsman bin ‘Affan Radhiyallahu ‘anhu
dan mereka menyerangnya dengan pedang, maka isterinya (Na'ilah binti
al-Furafishah) maju ke hadapan beliau sehingga menjadi pelindung
baginya dari kematian. Para pembunuh yang bengis ini tidak menghiraukan
kehormatan wanita ini dan mereka terus menebas ‘Utsman dengan pedang,
(namun sang isteri menangkisnya) dengan mengepalkan jari-jari
tangannya, hingga jari-jarinya terlepas dari tangannya. Isterinya
menggandengnya lalu terjatuh bersamanya, kemudian mereka membunuh
‘Utsman [3].
Ketika Amirul Mukminin Mu’awiyah
Radhiyallahu ‘anhu melamarnya, ia menolak seraya mengatakan, “Demi
Allah, tidak ada seorang pun yang dapat menggantikan kedudukan 'Utsman
(sebagai suamiku) selamanya."[4]
Di antara
tanda-tanda kesetiaan banyak wanita shalihah kepada suami mereka setelah
kematiannya bahwa mereka tidak menikah lagi. Tidak ada yang dituju
melainkan agar tetap menjadi isteri mereka di dalam Surga"[5]
Dari
Maimun bin Mihran, ia mengatakan: “Mu’awiyah bin Abi Sufyan
Radhiyallahu ‘anhu meminang Ummud Darda’, tetapi ia menolak menikah
dengannya seraya mengatakan, ‘Aku mendengar Abud Darda’ mengatakan:
‘Aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda.
“Artinya :Wanita itu bersama suaminya yang terakhir,’ atau beliau mengatakan, ‘untuk suaminya yang terakhir"[6]
Dari
‘Ikrimah bahwa Asma’ binti Abi Bakar menjadi isteri az-Zubair bin
al-‘Awwam, dan dia keras terhadapnya. Lalu Asma’ datang kepada ayahnya
untuk mengadukan hal itu kepadanya, maka dia mengatakan, “Wahai
puteriku, bersabarlah! Sebab, jika wanita memiliki suami yang shalih,
kemudian dia mati meninggalkannya, lalu ia tidak menikah
sepeninggalnya, maka keduanya dikumpulkan di dalam Surga” [7]
Dari
Jubair bin Nufair, dari Ummud Darda’ bahwa dia berkata kepada Abud
Darda’, “Sesungguhnya engkau telah meminangku kepada kedua orang tuaku
di dunia, lalu mereka menikahkanmu denganku. Dan sekarang, aku
meminangmu kepada dirimu di akhirat.” Abud Darda’ mengatakan, “Kalau
begitu, janganlah menikah sepeninggalku.” Ketika Mu’awiyah meminangnya,
lalu ia menceritakan tentang apa yang telah terjadi, maka Mu’awiyah
mengatakan, “Berpuasalah! [8]
Ketika Sulaiman
bin ‘Abdil Malik keluar dan dia disertai Sulaiman bin al-Muhlib bin Abi
Shafrah dari Damaskus untuk melancong, keduanya melewati sebuah
pekuburan. Tiba-tiba terdapat seorang wanita sedang duduk di atas
pemakaman dengan keadaan menangis. Lalu angin berhembus sehingga
menyingkap cadar dari wajahnya, maka ia seolah-olah mendung yang
tersingkap matahari. Maka kami berdiri dalam keadaan tercengang. Kami
memandangnya, lalu Ibnul Muhlib berkata kepadanya, “Wahai wanita hamba
Allah, apakah engkau mau menjadi isteri Amirul Mukminin?” Ia memandang
keduanya, kemudian memandang kuburan, dan mengatakan:
"Jangan engkau bertanya tentang keinginanku
Sebab keinginan itu pada orang yang dikuburkan ini, wahai pemuda
Sesungguhnya aku malu kepadanya sedangkan tanah ada di antara kita
Sebagaimana halnya aku malu kepadanya ketika dia melihatku”
Sebab keinginan itu pada orang yang dikuburkan ini, wahai pemuda
Sesungguhnya aku malu kepadanya sedangkan tanah ada di antara kita
Sebagaimana halnya aku malu kepadanya ketika dia melihatku”
Maka, kami pergi dalam keadaan tercengang.[9]
Di
antara teladan yang pantas disebutkan sebagai teladan utama dari para
wanita tersebut adalah Fathimah binti ‘Abdil Malik bin Marwan. Fathimah
binti Amirul Mukminin ‘Abdil Malik bin Marwan ini pada saat menikah,
ayahnya memiliki kekuasaan yang sangat besar atas Syam, Irak, Hijaz,
Yaman, Iran, Qafqasiya, Qarim dan wilayah di balik sungai hingga
Bukhara dan Janwah bagian timur, juga Mesir, Sudan, Libya, Tunisia,
Aljazair, Barat jauh, dan Spanyol bagian Barat. Fathimah ini bukan
hanya puteri Khalifah Agung, bahkan dia juga saudara empat khalifah
Islam terkemuka: al-Walid bin ‘Abdil Malik, Sulaiman bin ‘Abdil Malik,
Yazid bin ‘Abdil Malik dan Hisyam bin ‘Abdil Malik. Lebih dari itu dia
adalah isteri Khalifah terkemuka yang dikenal Islam setelah empat
khalifah di awal Islam, yaitu Amirul Mukminin ‘Umar bin ‘Abdil ‘Aziz.
Puteri khalifah, dan khalifah adalah kakeknya
Saudara khalifah, dan khalifah adalah suaminya
Saudara khalifah, dan khalifah adalah suaminya
Wanita
mulia yang merupakan puteri khalifah dan saudara empat khalifah ini
keluar dari rumah ayahnya menuju rumah suami-nya pada hari dia diboyong
kepadanya dengan membawa harta termahal yang dimiliki seorang wanita
di muka bumi ini berupa perhiasan. Konon, di antara perhiasan ini
adalah dua liontin Maria yang termasyhur dalam sejarah dan sering
disenandungkan para penya’ir. Sepasang liontin ini saja setara dengan
harta karun.
Ketika suaminya, Amirul Mukminin,
memerintahkannya agar membawa semua perhiasannya ke Baitul Mal, dia
tidak menolak dan tidak membantahnya sedikit pun.
Wanita
agung ini -lebih dari itu- ketika suaminya, Amirul Mukminin ‘Umar bin
‘Abdul ‘Aziz wafat meninggalkannya tanpa meninggalkan sesuatu pun untuk
diri dan anak-anaknya, kemudian pengurus Baitul Mal datang kepadanya
dan mengatakan, “Perhiasanmu, wahai sayyidati, masih tetap seperti
sedia kala, dan aku menilainya sebagai amanat (titipan) untukmu serta
aku memeliharanya untuk hari tersebut. Dan sekarang, aku datang meminta
izin kepadamu untuk membawa (kembali) perhiasan tersebut (kepadamu).”
Fathimah
memberi jawaban bahwa perhiasan tersebut telah dihibahkannya untuk
Baitul Mal bagi kepentingan kaum muslimin, karena mentaati Amirul
Mukminin. Kemudian dia mengatakan, “Apakah aku akan mentaatinya semasa
hidupnya, dan aku mendurhakainya setelah kematiannya? [10]
[Disalin
dari kitab Isyratun Nisaa Minal Alif Ilal Yaa, Edisi Indonesia Panduan
Lengkap Nikah Dari A Sampai Z, Penulis Abu Hafsh Usamah bin Kamal bin
Abdir Razzaq, Penterjemah Ahmad Saikhu, Penerbit Pustaka Ibnu Katsair]
__________
Foote Note
[1]. Thabaqaat Ibni Sa’ad (II/2080), Abu Nu’aim dalam al-Hilyah (II/36), Siyar A’laamin Nubalaa’ (II/286); al-Ishaabah (VII/491).
[2]. Thabaqaat Ibni Sa’ad (VIII/208).
[3]. Audatul Hijaab (II/533), dan dinisbatkan kepada ad-Durrul Mantsuur fii Thabaqaat Rabaatil Khuduur (hal. 517).
[4]. Siyar A’laamin Nubalaa’ (VII/343).
[5]. ‘Audatul Hijaab (II/534).
[6]. As-Silsilah ash-Shahiihah, Syaikh al-Albani (no. 1281), shahih.
[7]. As-Silsilah ash-Shahiihah, Syaikh al-Albani (III/276), shahih.
[8]. Siyar A’laamin Nubalaa’ (IV/278).
[9]. Akhbarun Nisaa' (hal. 138), dan kitab ini dinisbatkan secara keliru kepada Ibnu Qayyim al-Jauziyyah. Yang benar bahwa beliau tidak pernah menulis kitab ini.
[10]. ‘Audatul Hijaab (II/538)
__________
Foote Note
[1]. Thabaqaat Ibni Sa’ad (II/2080), Abu Nu’aim dalam al-Hilyah (II/36), Siyar A’laamin Nubalaa’ (II/286); al-Ishaabah (VII/491).
[2]. Thabaqaat Ibni Sa’ad (VIII/208).
[3]. Audatul Hijaab (II/533), dan dinisbatkan kepada ad-Durrul Mantsuur fii Thabaqaat Rabaatil Khuduur (hal. 517).
[4]. Siyar A’laamin Nubalaa’ (VII/343).
[5]. ‘Audatul Hijaab (II/534).
[6]. As-Silsilah ash-Shahiihah, Syaikh al-Albani (no. 1281), shahih.
[7]. As-Silsilah ash-Shahiihah, Syaikh al-Albani (III/276), shahih.
[8]. Siyar A’laamin Nubalaa’ (IV/278).
[9]. Akhbarun Nisaa' (hal. 138), dan kitab ini dinisbatkan secara keliru kepada Ibnu Qayyim al-Jauziyyah. Yang benar bahwa beliau tidak pernah menulis kitab ini.
[10]. ‘Audatul Hijaab (II/538)
0 Komentar:
Posting Komentar
Kehormatan buat kami jika selesai baca Anda beri komentar atas Artikel ini....tapi, Mohon Maaf kawan Komentarnya yang sopan ya....he..he..he..