“Perumpamaan aku dengan nabi sebelumku,” sabda Rasulullah shalallahu
‘alaihi was salam, “Ialah seperti seorang lelaki yang membangun sebuah
bangunan. Kemudian ia memperindah dan mempercantik bangunan tersebut,
kecuali satu tempat batu bata di salah satu sudutnya. Ketika orang-orang
mengitarinya, mereka kagum dan berkata, ‘Amboi, jika batu bata ini
diletakkan?’”
Rasulullah memaksudkan bahwa orang-orang yang mengitari bangunan
tersebut kagum terhadap keindahan dan kecantikan bagunan tersebut.
Namun, mereka mendapati bahwa bangunan itu ada kekurangan di salah satu
sudutnya. Kemudian Rasulullah shalallahu ‘alaihi was salam menutup
sabdanya dengan menjelaskan bahwa beliau ibarat batu bata itu di sudut
bangunan itu. Beliau juga menjelaskan makna perumpamaan bangunan dan
batu bata tersebut terkait dengan diutusnya beliau sebagai rasul.
“Akulah batu bata itu,” sabdanya, “Dan akulah penutup para nabi.”
Nukilan pernyataan Rasulullah shalallahu ‘alaihi was salam yang
tercantum dalam Shahih Bukhari dan Shahih Muslim tersebut menunjukkan
keistimewaan risalah yang beliau bawa dan keistimewaan beliau diantara
nabi dan rasul yang lain.
Dengan demikian, maka kita dapat mengambil satu kesimpulan pokok yang
sangat penting bahwa setelah Rasulullah shalallahu ‘alaihi was salam
wafat, maka tidak ada lagi rasul ataupun nabi, baik yang mengaku membawa
syariat baru ataupun yang mengaku menerima wahyu. Semua yang
mengaku-ngaku itu jelaslah hanya berdusta semata karena Rasulullah
shalallahu ‘alaihi was salam telah menggariskan satu kaidah dasar dalam
agama Islam bahwa tidak ada lagi nabi, rasul, ataupun penambahan dan
pengurangan syari’at.
Jadi, orang-orang yang selama ini mengaku sebagai nabi atau rasul
dapat dipastikan hukumnya yaitu kafir terhadap risalah yang dibawa
Muhammad shalallahu ‘alaihi was salam.
Perlu kita ketahui pula bahwa antara apa yang dibawa Muhammad
shalallahu ‘alaihi was salam dan nabi-nabi sebelumnya ada beberapa hal
yang sama. Seperti yang disampaikan oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi
was salam sendiri dalam hadits di atas, risalah kenabian beliau adalah
sebagai penegasan dan penyempurnaan terhadap risalah da’wah yang dibawa
oleh rasul-rasul sebelumnya.
Disebutkan dalam Fikih Sirah Al Buthi, da’wah para nabi
didasarkan pada dua asas utama. Pertama, aqidah. Jadi, aqidah yang
dibawa oleh Nabi Adam, rasul pertama Nabi Nuh, hingga Rasulullah
Muhammad shalallahu ‘alaihi was salam adalah sama. Esensi aqidah mereka
adalah iman kepada wahdaniyah Allah, mensucikan Allah sesuai sifatnya,
hari akhir, hisab, neraka, dan surga.
Setiap rasul yang datang kepada ummatnya senantiasa datang dengan
membenarkan risalah nabi sebelumnya dan memberikan kabar gembira akan
datangnya kenabian sesudah dirinya. Demikianlah terus-menerus saling
menyambung kabar gembira itu hingga risalah kenabian terakhir, risalah
yang dibawa oleh Muhammad shalallahu ‘alaihi was salam.
Dalam Al Qur’an Asy Syura’ ayat 13, Allah berfirman kepada Muhammad shalallahu ‘alaihi was salam,
“Dia
telah mensyariatkan bagi kamu tentang agama apa yang diwasiatkanNya
kepada Nuh, dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu, dan apa yang
telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa, dan Isa, yaitu tegakkan
agama, dan janganlah kamu berpecah-belah tentangnya.”
Dengan demikian, tidak mungkin akan ada perbedaan aqidah antara satu
nabi dengan nabi yang lain. Sedangkan perbedaan aqidah antara Islam,
Nashrani, dan Yahudi saat ini, lebih banyak dikarenakan dua agama
sebelumnya itu banyak melakukan pelanggaran dan penyelewengan dalam
bidang aqidah dan hukum oleh para penganutnya. Padahal, saat datang dan
turun bersama nabi-nabinya, dua agama ahlul kitab ini juga merupakan
agama Islam.
“Sesungguhnya agama (yang diridhai) di sisi Allah hanyalah Islam. Tiada berselisih orang-orang yang diberi Al Kitab, kecuali sesudah datang pengetahuan kepada mereka, karena kedengkian (yang ada) di antara mereka…” (QS Ali Imran: 19)
Kedua, asas syari’at dan akhlak. Seluruh hukum yang dibawa oleh para
rasul itu bertujuan untuk mengatur kehidupan masyarakat dan pribadi.
Namun, tentang tata cara dan jumlahnya menyesuaikan dengan kondisi ummat
tersebut karena risalah-risalah kenabian sebelum risalah Muhammad
shalallahu ‘alaihi was salam hanya dikhususkan untuk ummat tertentu.
Misalnya Nabi Musa yang khusus diutus untuk Bani Israil menerapkan
syariat dengan asas yang kuat dan tegas dikarenakan sifat dan karakter
Bani Israel yang suka melanggar dan membangkang. Setelah beberapa waktu,
diutuslah Nabi Isa pada Bani Israel dengan membawa syari’at yang lebih
mudah dan ringan dalam hukum bagi Bani Israel.
“Dan (aku datang kepadamu) membenarkan Taurat yang datang sebelumku, dan untuk menghalalkan bagimu sebagian yang telah diharamkan untukmu..” (QS Ali Imran: 50)
Jadi, soal aqidah, Nabi Isa membenarkan apa yang ada di dalam Taurat,
tapi mengenai syari’at ia telah ditugaskan untuk mengadakan beberapa
perubahan, penyederhanaan, dan penghapusan sebagian hukum syari’at yang
memberatkan mereka. Dan apa yang ada di dalam syari’at yang dibawa oleh
Nabi Isa pun, juga ada yang dihapuskan oleh risalah Nabi Muhammad,
misalnya kehalalan mengambil harta rampasan perang yang diharamkan pada
syari’at Nabi Isa.
Risalah yang dibawa Muhammad shalallahu ‘alaihi was salam juga
memiliki keistimewaan dari segi peruntukan. Jika, nabi-nabi sebelumnya
membawa risalah khusus untuk ummat tertentu, maka risalah kenabian
Muhammad shalallahu ‘alaihi was salam diperuntukkan bagi seluruh ummat
hingga hari kiamat. Allah subhanahu wa ta’ala telah mengamanahkan beban
risalah ini hanya kepada Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi was salam.
“Dan andaikata Kami menghendaki, benar-benarlah Kami utus pada tiap-tiap negeri seorang yang memberi peringatan (rasul).. (QS Al Furqan: 51)
Dalam Fikih Sirah Az Zaid dijelaskan bahwa Allah bisa saja
mengutus seorang nabi untuk satu negeri pada masing-masing massa, tapi
ternyata Allah menghendaki agar risalah Islam hanya diemban oleh seorang
rasul saja, agar tampak keutamaannya atas risiko beban da’wah yang
teramat berat tersebut karena risalahnya menyeluruh, dan pahalanya besar
karena perjuangannya juga sangat berat.
Risalah kenabian Muhammad shalallahu ‘alaihi was salam juga ditujukan kepada dua jenis makhluk, yakni manusia dan jin.
“Dan (ingatlah) ketika Kami hadapkan serombongan jin kepadamu yang mendengarkan Al Qur’an, maka tatkala mereka menghadiri pembacaan (nya) lalu mereka berkata, ‘Diamlah kamu (untuk mendengarkannya).’ Ketika pembacaan telah selesai mereka kembali kepada kaumnya (untuk) memberi peringatan.” (Al Ahqaf: 29)
Da’wah atas risalah kenabian Muhammad shalallahu ‘alaihi was salam
tidak terputus dengan berhentinya wahyu dan risalah. Bahkan da’wah
tersebut berlanjut hingga hari kiamat nanti. Dan Allah menjaga agama
Islam ini dengan menjaga kesucian Al Qur’an dari pengurangan,
penggantian, penambahan, dan perubahan terkait keaslian Al Qur’an.
Allah juga akan senantiasa memunculkan sekelompok manusia dari umat
Muhammad shalallahu ‘alaihi was salam yang senantiasa berkomitmen dengan
jalan kebenaran. Sebelumnya, ummat terdahulu jika menyimpang dari
syari’at Allah, maka akan diutus seorang nabi untuk meluruskan mereka
kepada jalan kebenaran. Namun, jika ada diantara ummat Muhammad ada yang
mengubah agama Allah, maka Allah akan memunculkan generasi lain yang
meluruskan kesalahan mereka dan memperbarui agama ini sesuai ketika
agama ini turun, karena ummat ini tidak akan seluruhnya bersepakat dalam
masalah kesesatan dan kesalahan.
Nabi shalallahu ‘alaihi was salam bersabda, “Sekelompok dari umatku akan senantiasa muncul, mereka komitmen dengan kebenaran, kelompok yang mengucilkan tidak akan membahayakan mereka hingga datanglah ketetapan Allah, sementara mereka dalam kondisi seperti itu.” (HR Bukhari dan Muslim)
Oleh karena itu, ummat Muhammad adalah ummat yang mulia karena
memiliki karakter yang tidak dimiliki oleh ummat sebelumnya, yaitu
mereka adalah ummat yang terjaga (ma’shum) dari melakukan kesepakatan
kesesatan.
0 Komentar:
Posting Komentar
Kehormatan buat kami jika selesai baca Anda beri komentar atas Artikel ini....tapi, Mohon Maaf kawan Komentarnya yang sopan ya....he..he..he..