Dulu waktu masih kecil, saya mikir apa dalam hidup ini harus pacaran
ya? Atau kalau mau nikah itu harus pacaran dulu ya? Soalnya orang-orang,
baik yang tetangga atau yang di televisi, banyak yang begitu. Mereka
pacaran dulu yang lama, kalau belum cocok mereka cari pacar lagi. Kalau
sudah cocok, pacarnya enggak langsung diajak nikah, tapi tunangan dulu.
Ah, ribet amat!
Lalu saya jadi kepikiran, kalau harus pacaran, kira-kira kapan ya
saya pacaran? Caranya gimana biar punya pacar? Terus kalau sudah punya
pacar ngapain saja? Huh, semua itu bikin otak saya yang masih polos
mendadak cenat-cenut jadinya.
Apalagi kalau lihat orang pacaran, rasanya bikin tambah depresi dan
enggak percaya diri. Bagaimana enggak, kalau mau punya pacar itu harus
cakep dan keren. Lah, muka saya kan pas-pasan. Ganteng enggak,
jelek-jelek amat juga kagak. Baju juga seadanya doang. Enggak bisa
dibilang keren. Itu pakaian juga cuma buat main sama teman di lingkungan
rumah. Karena itulah saya suka seragam sekolah, karena enggak perlu
pusing mikirin pakaian.
Saya yang masih lugu itu juga sempat berpikir kalau pacaran harus
punya uang banyak. Kenapa? Karena harus punya handphone, terus beli
pulsa terus untuk nanyain kabar pacar lagi apa di mana. Sudah begitu,
harus antar jemput pacar dari rumah ke sekolah. Wah, enggak sanggup deh!
Handphone saja enggak ada (baru dibeliin pas kelas satu SMA). Itu juga
irit banget soal pulsa. Makanya, kalau enggak terpaksa banget, pasti
saya enggak akan bales-bales SMS. Terus saya paling anti yang namanya
nelpon. Enggak cukup tega lihat jeda pulsa yang langsung raib karena
nelpon yang cuma beberapa menit doang. Terus gimana mau antar jemput
pacar, kendaraan saja enggak punya. Pulang pergi dari rumah ke sekolah
saja sudah ngabisin sekian jam. Belum lagi kalau macet. Mau jam berapa
sampai rumah kalau harus anter jemput pacar? Belum lagi ngitung
ongkosnya! Alamak, bisa pingsan saya. Belum lagi kalau ingat pacaran itu
ada kewajiban traktir pacar. Saya selalu mikir begini, kalau semangkuk
mie ayam itu Rp 5000,- dan saya harus mengeluarkan Rp 10.000,- untuk
beli dua mangkuk, yang sejatinya saya hanya makan satu mangkuk, jelas
logika saya tidak bisa menerima. Kenapa tidak dua mangkuk saya makan
saja sekaligus? Kenapa harus dikasih pacar? Hey, itu kan duit saya!
Terus kalau pacaran itu harus setia kan ya? Nah, saya yang saat itu
masih suka ngabisin duit Rp 2000,- buat main PS one satu jam di rumah
Pak Bagio enggak setuju dengan aturan ini. Saya sadar, saya itu masih
suka tengok kanan tengok kiri. Maksudnya masih ingin bebas mainnya. Masa
iya kalau mau apa-apa itu harus lapor pacar. Ke lapangan sebelah buat
main sepeda bilang-bilang pacar. Mau makan cakwe atau somay harus ajak
pacar. Aduh, ribet!
Sempat juga saya prediksi, bahwa kalau pacaran itu pasti ada
obrolan-obrolan, yang sebetulnya saya kurang paham apa yang diobrolkan.
Tapi saya sadar, saya orangnya kaku, pendiam, dan enggak banyak tingkah.
Pokoknya pribadi yang kalau ada orang ngajak ngobrol syukur, kalau
enggak ya sudah. Saya memang enggak cerdas buat bikin permulaan dalam
pembicaraan. Dipancing-pancing juga pasti buntu pikiran. Bagaimana mau
ngobrol, bahannya saja seret. Mungkin gara-gara jarang baca buku kali
ya. Buktinya di kelas saya juga enggak pinter-pinter amat. Pikirannya
cuma main dan main. Oia, saya juga lihat di televisi, orang-orang
pacaran itu ada rayuan-rayuannya. Nah, ngobrol saja sulit, apalagi jadi
orang yang sok romantis. Beuh, rasanya saya makin yakin kalau saya itu
memang enggak bakat pacaran.
Yah, begitulah. Pas masih kecil saya memang sensitif tentang masalah
duit. Maklum, saya terlahir di keluarga yang cukup sederhana. Masalah
duit, tentu menjadi hal yang sakral untuk diusik. Rasanya enggak ikhlas
kalau duit cepet habis untuk beli makanan, apalagi beliin buat orang
lain. Orang tua juga paling-paling marah kalau saya keseringan minta
duit yang enggak jelas larinya kemana, padahal habis buat pacaran. Tapi
sebaliknya, saya enggak pernah pelit kalau disuruh beli mainan kaya
robot-robotan, atau main dingdong dan PS one. Hm, kenapa ya? Yasudahlah,
namanya juga anak kecil.
Mungkin karena sifat saya yang kebanyakan mikir dan mempertimbangkan
untung-rugi itulah yang membuat saya akhirnya (sampai sekarang) belum
pernah pacaran.
Tapi itu dulu. Saat masa-masanya lebih banyak bermain daripada
belajar. Saat masih lucu-lucunya. Belum paham betul tentang masalah
perasaan suka, sayang, atau cinta. Saat di mana emosi masih labil dan
suka egois terhadap banyak hal. Juga saat hasrat terhadap lawan jenis
masih belum terlalu tajam. Paling-paling hanya bisa membedakan mana anak
yang cakep, mana yang enggak.
Kemudian, seiring berjalannya waktu, saya pun berubah. Jakun sudah
timbul. Bulu-bulu juga sudah muncul. Saya ibarat besi yang ditarik-tarik
oleh medan magnet dari lawan jenis, sehingga kadang kalau papasan
dengan lawan jenis yang cakep, ada aliran listrik mengalir dalam darah
saya. Saya sadar, saya sudah SMP, bukan anak kecil lagi. Hasrat itu pun
sudah mulai ada. Tapi, masih enggak berani buat ambil keputusan pacaran.
Kenapa? You know-lah… Ideologi ‘hemat’ itu masih kuat melekat. Maka
benarlah kata orang, “Tidak ada yang gratis di Jakarta!” Mau pacaran
saja harus punya duit. Oh, Tuhan… kasihanilah saya. Sampai kemudian saya
bertekad cari duit yang banyak biar kaya raya, baru deh cari pacar.
Tapi belum maksud itu terwujud, keyakinan saya mulai goyah.
Maksudnya, ‘hemat’ bukan lagi menjadi satu-satunya ideologi yang
bercokol di kepala saya. Ada ideologi baru yang merasuk ke dalam relung
pemikiran saya. Tidak hanya berputar di kepala, tetapi juga merembes ke
hati. Ideologi baru ini dimulai saat saya mengenal Rohis. Sebuah ekskul
penuh misteri yang akhirnya menyihir saya untuk bergabung dan aktif di
sana selama SMA. Ideologi ini bukan lagi soal untung rugi, tetapi soal
orientasi dalam memandang cinta sejati, yang hanya pantas diberikan
kepada Illahi Robbi.
Alhasil, muncullah beberapa butir pemikiran baru yang menjadi alasan kenapa saya belum juga pacaran:
1. Pacaran itu bukan budaya Islam
Di Islam adanya langsung nikah setelah melalui tahapan pengenalan
(ta’aruf) secara syar’i. Pacaran tidak dilarang, asal sudah muhrim.
Karena kalau tidak, akan mengarahkan pada perbuatan zina. Islam juga
tidak menjadikan faktor dunia, seperti harta, sebagai landasan utama
untuk menikah. Yang diutamakan adalah keimanan dan ketakwaannya kepada
Allah SWT. Wah, jelas ini lebih ‘hemat’ kan!
2. Pacaran itu bikin hati enggak bersih
Jika hati itu ibarat papan kayu, maka pasangan hidup adalah pakunya.
Sementara lubang yang tertinggal di papan saat paku dicabut adalah
kenangan. Meski paku tak lagi bersarang, namun tubuh papan sudah banyak
bolongnya. Hati yang sudah sering dipakai untuk pacaran, tentu sudah
banyak bolongnya, terisi kenangan-kenangan sama pacar. Jadinya kalau
sudah menikah, rasa gregetnya sudah banyak yang hilang. Kasihan kan
istri atau suami kita kalau kita kasih hati yang statusnya ‘sisa’.
Lagipula memang kita mau kalau dikasih hati yang ‘sisa’ sama istri atau
suami kita nantinya? Ingatlah, wanita yang baik untuk lelaki yang baik,
dan wanita yang tidak baik untuk lelaki yang tidak baik.
3. Pacaran itu boros uang
Uang yang seharusnya bisa dihemat mendadak sering habis karena
dipakai buat antar jemput pacar, traktir makan pacar, nelpon dan SMS
pacar, bayar SPP pacar (masa iya?), dan lain-lain yang berkaitan dengan
pacar. Mending kalau uangnya cari sendiri, nah kalau masih minta orang
tua? Gengsi dong…
4. Pacaran itu boros pikiran
Masa muda itu harusnya dipakai untuk belajar, belajar, dan belajar.
Jadi hati dan pikiran kudu bersih tuh. Nah, kalau sudah penuh dengan
bayangan pacar, bagaimana mau belajar dan mengukir prestasi? Daripada
mikirin pacar, mending mikirin deh tuh rumus matematika. Lagian, belum
tentu juga pacar mikirin kita sebagaimana kita mikirin dia.
5. Pacaran itu boros waktu
Sehari ada 24 jam. Itu juga dibagi-bagi untuk tidur delapan jam,
belajar di sekolah kurang lebih delapan jam, lalu sisanya untuk antar
jemput pacar, nelpon pacar, kasih makan pacar, dan apa-apa sama pacar.
Ah, enggak bebas jadinya. Mending waktunya dipakai untuk hal lain yang
lebih jelas manfaatnya.
6. Pacaran itu boros tenaga
Sudah capek pikiran, tentu tenaga terkuras saat pacaran. Ya itu tadi.
Antar jemput pacar, nelpon dan SMS pacar, kasih makan pacar,
jalan-jalan sama pacar, mijetin pacar. Aduh, capek deh… mending
tenaganya buat olah raga atau bantu-bantu orang yang lebih membutuhkan.
Sudah sehat, dapat pahala pula.
Nah, sejak saat itulah, saya berniat meski sudah kaya raya nantinya
(aamiin), saya tidak mau menempuh jalan pacaran. Lewat jalan pintas
saja, yakni langsung nikah! Toh, pacaran itu kan untuk masa penjajakan
atau kenalan. Kenapa juga harus buang-buang banyak uang, waktu, tenaga,
dan pikiran untuk berlama-lama kenalan? Bisa rugi bandar saya.
Biarlah indahnya masa pacaran itu saya rasakan setelah menikah nanti.
Dalam balutan ridho Illahi dan dengan kesegaran hati yang belum pernah
terbagi, khusus untuk wanita muhrim yang telah resmi menjadi istri
pujaan hati.
Enggak mudah memang tidak pacaran di tengah zaman millennium seperti
ini. Tapi yakin deh, semua akan indah pada waktunya. Dan saya merasa
dada saya sudah makin tipis karena sering dielus-elus sambil bilang,
“Sabar… Sabar…” Semoga kalian pun demikian. ^_^
“(Mereka berdoa): Ya Tuhan kami, janganlah Engkau jadikan hati kami condong kepada kesesatan sesudah Engkau beri petunjuk kepada kami, dan karuniakanlah kepada kami rahmat dari sisi Engkau; karena sesungguhnya Engkau-lah Maha Pemberi (karunia).” [QS. Ali Imron (3): 8]Oleh: Deddy Sussantho, Depok.
http://www.fimadani.com/kenapa-ngga-pacaran/
0 Komentar:
Posting Komentar
Kehormatan buat kami jika selesai baca Anda beri komentar atas Artikel ini....tapi, Mohon Maaf kawan Komentarnya yang sopan ya....he..he..he..