*disadur dari kitab “Jami’ul ‘Ulum wal Hikam”, Ibnu Rajab Al-Hanbali.
Dari Abu Mas`ud Al-Badri Radhiyallahu `Anhu, yang berkata, Rasulullah Shallallahu `Alaihi wa Sallam bersabda,
“Di antara sesuatu dari perkataan kenabian pertama yang diketahui
manusia ialah, ‘Jika engkau tidak malu, silakan berbuat apasaja yang
engkau inginkan’.” [Hadits Riwayat Bukhari]1
Petikan sabda Nabi Shallallahu `Alaihi wa Sallam, “Di antara sesuatu dari perkataan kenabian pertama yang diketahui manusia,”
mengisyaratkan bahwa perkataan tersebut diriwayatkan dari para Nabi
terdahulu. Manusia saling menyebarkannya sesama mereka, dan
mewariskannya dari satu generasi kepada generasi lainnya. Ini
menunjukkan bahwa kenabian-kenabian terdahulu datang membawa perkataan
tersebut dan perkataan tersebut dikenal luas oleh manusia hingga sampai
pada masa umat Islam.
Hadits ini memiliki dua penafsiran makna:
Pertama. Makna hadits tersebut bukanlah perintah kepada
seseorang untuk mengerjakan apasaja yang ia inginkan; namun maknanya
adalah celaan dan larangan. Perkataan tersebut adalah bentuk perintah
dengan arti ancaman. Artinya, jika engkau tidak mempunyai rasa malu,
kerjakanlah apasaja yang engkau inginkan, karena Allah akan memberi
balasan di dalamnya. Bentuk hadits tersebut juga adalah kata perintah
dengan arti penjelasan. Maksudnya, barangsiapa tidak malu, pastilah ia
akan berbuat apasaja yang ia inginkan. Karena yang menghalangi seseorang
untuk berbuat buruk ialah malu. Jadi, siapa yang tidak malu, ia dengan
mudah larut dalam perbuatan keji dan mungkar, serta melakukan
perbuatan-perbuatan yang dijauhi orang-orang yang mempunyai rasa malu.
Salman Al-Farisi Radhiyallahu `Anhu berkata, “Jika Allah
menghendaki kebinasaan bagi seorang hamba, Dia mencabut rasa malu
darinya. Jika Dia telah mencabut rasa malu darinya, ia (orang itu) tidak
ditemui kecuali (sebagai) orang (yang) amat benci dan (sebagai) orang
yang dibenci. Jika ia telah menjadi orang yang sangat dibenci dan orang
yang dibenci, (maka) kejujuran dicabut darinya, kemudian ia tidak
ditemui kecuali (sebagai) orang yang berkhianat dan dikhianati. Jika ia
telah menjadi orang yang berkhianat dan dikhianati, Allah mencabut
rahmat darinya, kemudian ia tidak ditemui kecuali (sebagai) orang yang
kasar. Jika ia telah menjadi orang yang kasar, Allah mencabut tali iman
dari lehernya. Jika Allah telah mencabut tali iman dari lehernya, ia
tidak ditemui kecuali oleh syaitan mengutuk dan terkutuk.”2
Ibnu `Umar Radhiyallahu `Anhuma berkata bahwa Nabi Shallallahu `Alaihi wa Sallam bersabda, “Malu dan iman adalah satu pedang. Jika salah satu dari keduanya diangkat, maka keduanya terangkat.”3
Abu Hurairah Radhiyallahu `Anhu juga meriwayatkan hadits yang berbunyi, “Malu adalah salah satu cabang iman.”4
Al-Asyaj Al-Ashri berkata, “Rasulullah Shallallahu `Alaihi wa
Sallam bersabda kepadaku, ‘Sesungguhnya pada dirimu terdapat dua akhlaq
yang dicintai Allah.’ Aku berkata, “Apa kedua akhlaq tersebut?”
Rasulullah Shallallahu `Alaihi wa Sallam bersabda, ‘Tenang dan malu.’..”5
Malu itu ada dua jenis:
1. Malu yang merupakan karakter dan watak bawaan.
Malu seperti ini adalah akhlaq paling mulia yang diberikan Allah
kepada seorang hamba. Oleh karena itu, Nabi Shallallahu `Alaihi wa
Sallam bersabda, “Malu tidak mendatangkan kecuali kebaikan,”
karena malu itu seperti menghalangi seseorang dari mengerjakan
perbuatan buruk dan akhlaq tercela dan mendorongnya menggunakan akhlaq
mulia. Dalam konteks inilah malu termasuk iman, karena diriwayatkan
dari `Umar bin Khaththab Radhiyallahu `Anhu yang berkata, “Barangsiapa malu, ia merahasiakan diri. Barangsiapa merahasiakan diri, ia bertaqwa. Barangsiapa bertaqwa, ia dilindungi.”
2. Malu yang didapatkan dengan ma`rifatullah
(kenal Allah) dan mengenal keagungan-Nya, kedekatan-Nya dengan
hamba-hamba-Nya, perhatian-Nya terhadap mereka, pengetahuan-Nya terhadap
mata yang berkhianat dan apasaja yang dirahasiakan hati. Malu seperti
ini termasuk iman tertinggi dan bahkan termasuk derajat ihsan.
Sebagaimana Nabi Shallallahu `Alaihi wa Sallam bersabda kepada
seseorang, “Malulah engkau kepada Allah sebagaimana engkau malu kepada salah seorang shalih dari keluargamu.”
Bisa jadi, malu kepada Allah membuat seseorang melihat nikmat-nikmat
Allah pada dirinya dan ia melihat dirinya lalai dalam mensyukurinya.
Jika malu yang didapatkan dengan mengenal Allah dicabut dari seorang
hamba, maka ia tidak lagi mempunyai sesuatu yang meredamnya dari
mengerjakan hal-hal buruk dan akhlaq hina, dan ia menjadi orang yang
seperti tidak memiliki iman.
Rasa malu yang dipuji sesuai sabda Nabi Shallallahu `Alaihi wa Sallam
ialah akhlaq yang mendorong seseorang mengerjakan kebaikan dan
meninggalkan keburukan. Sedangkan perasaan negatif (takut, tidak
yakin/percaya diri, kurang tekad) yang membuat seseorang lalai dalam
salah satu hak-hak Allah atau hak-hak hamba-Nya, bukanlah termasuk malu
yang terpuji, tapi kelemahan dan kemalasan.
Kedua. Penafsiran yang lain dari sabda Nabi Shallallahu `Alaihi wa Sallam, “Jika engkau tidak malu, silakan berbuat apa saja yang engkau inginkan,”
ialah Nabi Shallallahu `Alaihi wa Sallam memerintahkan pengerjaan
apasaja yang sesuai dengan tekstual sabda tersebut. Maksudnya, jika
perbuatan yang ingin engkau kerjakan itu termasuk perbuatan-perbuatan
yang engkau tidak malu untuk mengerjakannya; baik malu kepada Allah atau
manusia, namun ianya termasuk perbuatan-perbuatan ketaatan atau
termasuk akhlaq mulia, atau termasuk etika yang dipandang baik, maka
kerjakanlah seperti apa yang engkau inginkan itu.
Dalam hal ini, salah seorang salaf berkata ketika ditanya tentang muru`ah, “Muru`ah ialah engkau tidak mengerjakan di saat sepi sesuatu yang engkau malu mengerjakannya pada saat ramai.” Itu juga sejalan dengan penggalan hadits, “Dosa ialah apa saja yang meresap di jiwamu dan engkau tidak suka manusia melihatnya.”6
Harmalah bin `Abdullah berkata, “Aku datang kepada Nabi
Shallallahu `Alaihi wa Sallam untuk menambah ilmu. Aku berdiri di depan
beliau, kemudian berkata, ‘Wahai Rasulullah, apa yang engkau
perintahkan untuk aku kerjakan?’ Nabi Shallallahu `Alaihi wa Sallam
bersabda, ‘Kerjakan kebaikan dan jauhi kemungkaran. Perhatikanlah suatu
kebaikan yang didengar oleh telingamu yang diucapkan suatu kaum
kepadamu; apabila engkau akan pergi meninggalkan mereka, maka
kerjakanlah sesuatu tersebut. Pikirkan sesuatu yang tidak engkau sukai
diucapkan salah satu kaum kepadamu; jika engkau pergi dari mereka, maka
jauhi sesuatu tersebut..’”7
Ibnu Jarir berkata, “Malu jangan menghalangimu untuk melanjutkan
apa (kebaikan) yang telah engkau inginkan; seperti dikatakan di hadits,
‘Jika syaitan datang kepadamu ketika engkau shalat kemudian ia berkata
(membisikkan waswas), ‘Engkau melakukan riya’, ‘maka panjangkan lagi
(shalatmu)’.”
1. Hadits 3483, 3484, 6120; dan di Adabul Mufrad hadits nomor 597 dan 1316
2. Diriwayatkan Abu Nu`aim dalam Al-Hilyah 1/304
3. Diriwayatkan Al-Hakim 1/22
4. Al-Bukhari hadits nomor 9; Muslim hadits nomor 35
5. Al-Bukhari di Adabul Mufrad hadits nomor 584
6. Al-Bukhari di Adabul Mufrad hadits nomor 295 dan 302; Muslim hadits nomor 2553
7. Al-Bukhari di Adabul Mufrad hadits nomor 222
*http://www.lingkaran.org/rasa-malu-yang-terpuji.html
0 Komentar:
Posting Komentar
Kehormatan buat kami jika selesai baca Anda beri komentar atas Artikel ini....tapi, Mohon Maaf kawan Komentarnya yang sopan ya....he..he..he..