Sebuah bus yang penuh berisi penumpang sedang melaju dengan cepat
menelusuri jalanan yang menurun. Di belakang bus tampak ada lelaki yang
mengejar bus dengan berlarian. Tampak wajahnya tegang dan berusaha
sekuat tenaga mencapai bus yang kian kencang.
Seorang penumpang mengeluarkan kepala keluar jendela bus dan berkata
kepada lelaki yang mengejar, “Hai kawan! Sudahlah kamu tak mungkin bisa
mengejar bus ini!”
Lelaki tersebut menjawab, “Saya harus mengejarnya . . .”
Dengan nafas tersengal-sengal dia berteriak, “Saya adalah pengemudi bus ini!”
*******
Menjadi pemimpin bukanlah pekerjaan mudah. Salah satu tugas pemimpin
adalah memberi arahan atau direction kepada semua pihak yang menjadi
tanggung jawabnya. Ia harus bisa mengarahkan semua potensi agar bekerja
secara optimal guna mencapai tujuan organisasi.
Mengarahkan adalah soal ilmu dan seni. Tentu ada ilmu yang bisa
dipelajari, bagaimana cara memberi arahan. Bagaimana cara memberikan
kejelasan direction yang mudah dimengerti dan dilaksanakan semua
anggota. Namun mengarahkan juga memiliki seni tersendiri.
Menebar Racun Persepsi
Suatu saat seorang pemimpin organisasi memberikan arahan dengan
berapi-api. Ia bercerita tentang visi dan misi organisasi. Ia
mengarahkan agar semua anggota bekerja dan berjuang untuk mencapai visi
dan misi organisasi di tengah kompetisi yang semakin berat. Ia bercerita
tentang rival atau musuh organisasi, yang bisa menghancurkan keutuhan
organisasi. Ia bercerita tentang strategi memenangkan kompetisi di
tengah rivalitas berbagai organisasi.
Sang pemimpin mampu membangkitkan semangat dan motivasi kepada semua
anggota. Arahan yang disampaikannya benar-benar membakar semangat para
anggota. Mereka semua terbangkitkan jati dirinya sampai ke level emosi.
“Kita harus bangkit !” kata sang pemimpin yang disambut dengan teriakan
dan yel-yel yang kompak.
Berkali-kali dalam kesempatan yang berlainan sang pemimpin
kharismatik ini menyampaikan arahan serupa. Ia selalu mampu
membangkitkan gairah yang menyala kepada semua anggota untuk setia dan
membela visi organisasi, bahkan semua cara harus dilakukan dalam rangka
memenangkan kompetisi. Kalau perlu harus menyerang dan mematikan rival,
agar semakin menguatkan eksistensi organisasi.
Apalagi dibumbui dengan cerita-cerita yang membangkitkan emosi. Bahwa
ada musuh yang telah bekerja siang dan malam untuk menghancurkan
organisasi. Bahwa ada konspirasi yang sangat berbahaya dan telah efektif
bekerja menggerogoti organisasi. Bahwa ada sejumlah operasi musuh yang
sedang berjalan untuk mematikan organisasi. Para anggota menyimpan
kemarahan yang mendalam terhadap musuh-musuh yang sedemikian memuakkan.
“Lawan !” kata para anggota serempak.
“Hancurkan !” kata semua anggota dengan kompak.
Semenjak proses “pembakaran” emosi berlangsung, temperamen para
anggota mulai menampakkan perubahan. Mereka berubah menjadi beringas
saat bertemu anggota organisasi lain yang masuk kategori musuh. Emosi
mereka mudah memuncak hanya karena melihat organisasi rival sedang
melakukan kegiatan yang telah terprogramkan.
Inilah racun persepsi itu. Sebuah racun yang sangat ganas dan merubah
temperamen serta perilaku. Bermula dari persepsi, akhirnya meracuni
watak dan perbuatan.
Jahatnya Racun Persepsi
Teori konspirasi telah merasuk sampai tulang sumsum para anggota.
Teori permusuhan telah masuk menjadi aliran darah dan ritme nafas semua
anggota. Setiap melihat aktivitas organisasi yang menjadi rival,
pikiran mereka selalu menyimpukan, “Mereka sedang berusaha menghancurkan
organisasi kita”.
Setiap ada tokoh organisasi rival yang muncul di media memberikan
pernyataan, selalu dikaitkan dengan strategi penghancuran dan
permusuhan. “Modus apa lagi yang dia lakukan untuk merusakkan organisasi
kita ?”
Tidak ada yang benar, semua aktivitas dan pernyataan dari organisasi
rival selalu dinilai negatif dan salah. Semua masuk dalam kerangka teori
yang telah terbangun kokoh di benak mereka, bahwa organisasi rival
selalu bekerja siang dan malam, tanpa kenal lelah, mengeluarkan berbagai
daya dan upaya untuk menghancurkan organisasi mereka. Pikiran mereka
dipenuhi curiga dan kewaspadaan yang berlebihan.
Hingga akhirnya terjadilah peristiwa itu. Ada sedikit salah paham saat organisasi rival melakukan aktivitas rutin.
“Mengapa anda beraktivitas di sini ? Bukankan anda tahu ini wilayah
kekuasaan kami ? Anda ingin merusak organisasi kami ya ?” tanya mereka.
Para rival sangat terkejut. Mereka hanya berkegiatan rutin, mereka
telah memiliki program yang juga sudah berjalan selama ini tanpa ada
masalah. Tiba-tiba program yang sudah rutin berjalan itu
dipermasalahkan.
“Kami hanya menjalankan program rutin organisasi kami”, jawab sang rival.
“Bohong, selama ini anda bekerja sistemis merusak organisasi kami. Anda selalu memusuhi kami!” mereka tambah beringas.
Sang rival bertambah heran dan bingung. Tidak ada niat untuk
melakukan perusakan atau penghancuran organisasi. Itu hanya kegiatan
rutin yang selama ini juga sudah berjalan. Bagaimana bisa dituduh
melakukan perusakan sistemis ?
Pertikaian tidak bisa dihindarkan. Setiap kali bertemu rival, selalu
terjadi perbenturan fisik. Korban mulai berjatuhan, semakin lama semakin
banyak. Dari kedua belah pihak. Racun persepsi telah menjalar dan
menguasai hati, pemikiran dan perilaku anggota organisasi. Yang ada
dalam benak mereka hanyalah mencegah lawan bekerja, agar tidak
menghancurkan organisasi. Lawan, hancurkan ! Itu semboyan setiap bertemu
rival.
Semakin lama permusuhan kian mengkristal. Konflik horisontal merebak
dimana-mana. Para anggota tidak bisa lagi berpikir rasional dan
proporsional. Semua berlaku emosional. Perilaku bakar membakar, perilaku
saling melempar, akhirnya menjadi kian liar dan tidak bisa
dikendalikan.
Sang pemimpin menyadari bahwa arahannya telah menjadi pemicu
kerusuhan massal. Ia berusaha mengingatkan dan mengendalikan para
anggota. Namun tidak bisa. Perilaku anggota yang emosional semakin kokoh
terbangun akibat benturan praktis di lapangan. Emosi kian memuncak.
Gerakan para anggota yang emosi kian kencang. Seperti bus yang
bergerak kian kencang pada jalan menurun. Seseorang berusaha sekuat
tenaga mengejar bus yang berjalan kencang tersebut. Sia-sia. Bahkan
seorang penumpang menasihati, “Hai kawan! Sudahlah kamu tak mungkin bisa
mengejar bus ini!”
Lelaki tersebut menjawab, “Saya harus mengejarnya . . .”
Dengan nafas tersengal-sengal dia berteriak, “Saya adalah pengemudi bus ini!”
Awalnya Adalah Ilmu dan Kepahaman
Sebagai pemimpin, anda harus memberikan arahan untuk menumbuhkan
kepahaman yang mendalam. Bukan arahan untuk membangkitkan emosi serta
kemarahan anggota. Apabila para anggota bergerak berdasarkan ilmu,
pengetahuan dan kepahaman, akan muncul pergerakan yang cerdas, smart,
serta membuahkan hasil yang optimal seperti harapan.
Ada perbedaan yang mencolok antara ilmu dengan emosi. Ilmu cenderung
memerlukan proses yang runtut dan bertahap. Seperti logika sekolah, dari
TK hingga ke Perguruan Tinggi. Seseorang tidak bisa sekolah di SMA
apabila tidak pernah melalui sekolah dulu di SD. Hal ini karena
pertumbuhan ilmu memerlukan proses yang bertahap.
Sedangkan emosi bercorak sesaat. Ia mudah diledakkan kapan saja,
tanpa proses yang bertahap. Orang bisa dicetak dengan cepat untuk
menjadi beringas dan penuh kebencian. Tanamkan saja racun persepsi,
bangun saja teori konspirasi, maka para anggota akan terjebak dan
terpenjara dalam racun persepsi yang sangat mematikan ini. Yang akan
muncul hanyalah emosi.
Maka selalu tanamkan ilmu, pengetahuan dan pemahaman yang benar
kepada para anggota organisasi. Jangan hanya meledakkan emosi mereka
dengan berbagai cerita yang didramatisir untuk mendapatkan pembenaran.
Bergerak berdasarkan ilmu berbeda dengan bergerak karena emosi. Bangsa
kita sudah cukup sakit, jangan diperparah dengan tindakan yang membuat
suasana permusuhan dan pertikaian berkepanjangan antara sesama anak
bangsa.
Pemimpin Harus Bertanggung Jawab
Sebagai pemimpin, anda harus bertanggung jawab atas ledakan emosi
para anggota. Bukankah itu dampak dari arahan yang anda berikan ?
“Saya tidak pernah memerintahkan anggota saya melakukan perusakan”, jawab sang pemimpin.
“Saya tidak pernah menyuruh anggota untuk bertindak brutal”.
“Saya tidak bisa mengendalikan anggota saya. Mereka sedang marah karena perbuatan musuh”.
Benarkah mereka marah dan emosi karena perbuatan musuh ? Tapi, siapa
yang menciptakan musuh dalam benak mereka ? Siapa yang menyiapkan
kerangka teori tentang konspirasi musuh sehingga mereka yakini ?
Pemimpin harus bertanggung jawab atas tindakan anggotanya. Tidak bisa
berlepas diri dari tanggung jawab, dan melempar kesalahan begitu saja
kepada pihak yang dianggap musuh.
Jangan menjadi pemimpin yang ketinggalan bus. Padahal harusnya anda
yang menjadi sopir bus itu, nyatanya bus berjalan sendiri di jalan
menurun. Anda mengejar dengan susah payah karena merasa bertanggung
jawab untuk mengendarai bus. Ternyata bus bergerak kian cepat dan anda
semakin payah untuk mengejarnya.
Bahkan seorang penumpang menasihati anda, “Hai kawan! Sudahlah kamu tak mungkin bisa mengejar bus ini !”
Anda menjawab, “Saya harus mengejarnya . . .”
Dengan nafas tersengal-sengal anda akhirnya berteriak, “Saya adalah pengemudi bus ini !”
Penulis : Ust. Cahyadi Takariawan
http://cahyadi-takariawan.web.id/?p=1870
0 Komentar:
Posting Komentar
Kehormatan buat kami jika selesai baca Anda beri komentar atas Artikel ini....tapi, Mohon Maaf kawan Komentarnya yang sopan ya....he..he..he..