Ilustrasi (agefotostock.com |
“Eh, Nak…! Benar enggak sih dia seorang ustadz? “Seorang
ibu yang menghadiri pengajian rutin akhir bulan bertanya pada saya
dengan rona wajah yang menunjukkan rasa tak percaya manakala sang MC
menyebutkan sebuah nama berikut sekilas biodata yang akan menjadi
penceramah pada kesempatan itu di masjid Al-Falah-Berlin.
“Ya benar bu, seperti yang dikatakan MC tadi, dia seorang ustadz” jawab saya sambil tersenyum memaklumi keheranan sang ibu.
“Apa di Indonesia dia juga suka ngisi ceramah?” ibu tersebut masih sangsi dengan jawaban saya dan kembali bertanya.
“Ya,
setahu saya beliau salah seorang pendakwah di tempat ia tinggal, beliau
juga memiliki pemahaman dan wawasan Islam mendalam serta fasih
berbahasa Arab.” Kali ini saya jawab sedikit lebih rinci untuk
meyakinkan sang ibu. Kebetulan saya dekat dengan istri sang ustadz
sehingga cukup mengetahui aktivitas mereka berdua.
Raut muka ibu
yang bertanya tadi agak sedikit berubah, sepertinya berusaha mempercayai
apa yang baru saja saya ucapkan. Pandangannya tertuju ke tempat di mana
duduk sesosok muda berambut gondrong sebahu yang mengenakan peci dan
kemeja serba putih. Sosok yang baru saja dikatakan MC sebagai ustadz ini
memang sangat nyentrik penampilannya, berbeda dengan ustadz-ustadz
lainnya yang bergantian mengisi ceramah selama ini.
Disadari atau
tidak, seringkali kita terperangkap pada pola pikir atau tata nilai yang
berkembang dalam suatu masyarakat. Tak jarang ketika menilai seseorang
kita tergesa-gesa mengukur hanya pada penampilan fisik, gelar atau
jabatan semata, namun mengabaikan bagaimana pribadi di balik tampilan
luarnya. Sehingga tak heran berkembang di masyarakat, orang-orang yang
sibuk memperbaiki tampilan luar dan berbangga dengan wajah, pakaian,
rumah, kendaraan atau jabatan yang disandang tetapi lalai untuk menata
pribadinya. Padahal Allah SWT sendiri telah berfirman bahwa… “Sesungguhnya orang yang paling mulia di sisi Allah ialah orang yang paling takwa di antara kamu….” (QS. Al-Hujuraat: 13)
Pernah
seorang ustadz bercerita, di tempat tinggalnya masyarakat hanya mau
mendengar dan hormat bila seseorang yang bicara telah bergelar haji
sekalipun orang tersebut awam dalam masalah agama. Sebaliknya,
masyarakat tak akan menggubris bila seseorang tak menyandang predikat
haji walaupun orang itu berwawasan dan memahami Islam dengan baik.
Sehingga seorang penyeru dakwah di sana baru akan didengar seruannya dan
berpengaruh pada masyarakat tersebut bila embel-embel haji telah
melekat pada dirinya.
Ada juga cerita unik seorang ustadz lain
yang menuturkan pengalamannya usai memenuhi permintaan menjadi imam
sekaligus penceramah saat bulan Ramadhan di sebuah masjid. Salah seorang
pengurus masjid tersebut berbisik kepadanya agar beliau bersedia
mengisi kembali namun dengan sebuah pesan agar sang ustadz di lain waktu
harus menggunakan peci, karena pada saat berceramah di kesempatan itu
rambut sang ustadz dibiarkan leluasa tanpa penutup.
Heran dan
sangsi yang dirasa oleh sang ibu tadi juga adalah sesuatu hal yang
sangat mungkin terjadi, karena imej yang berkembang di masyarakat
tentang sosok seorang ustadz umumnya adalah sosok berambut pendek,
berbaju koko dengan atau tanpa jas serta dilengkapi dengan sorban atau
peci serta berbagai atribut lainnya. Maka ketika ada sosok yang berbeda
dari pakem yang ada, seperti penampilan sang ustadz berambut gondrong
saat itu, tak heran bila mengundang perasaan aneh atau sangsi salah
seorang jamaah.
Saya sendiri pernah terjebak dalam perasaan
“seram” bila melihat orang-orang berambut gondrong. Namun perasaan itu
lambat laun menghilang ketika saya bertemu dengan beberapa remaja
berambut gondrong yang menjadi pendatang baru di masjid.
Saat
bulan Ramadhan tahun lalu, saya pernah melihat salah seorang remaja
gondrong itu sedang khusyu membaca Al-Quran ketika menanti ceramah
khusus untuk kalangan remaja dimulai. Pada kesempatan lain, remaja itu
menjadi imam shalat buat teman-temannya. Dia dan remaja gondrong lainnya
hingga saat ini tak pernah absen dari berbagai acara yang
diselenggarakan di masjid. Mereka ternyata jauh dari imej yang
menyebabkan perasaan seram itu hadir menyelimuti pikiran saya. Bahkan
kini yang ada hanya rasa haru membuncah setiap melihat mereka melakukan
berbagai aktivitas ibadah.
Ya Allah, ampunilah hamba karena pernah
terbesit sebentuk rasa akan penampilan luar hamba-hambaMu yang lain.
Padahal bisa jadi mereka sangat mulia di hadapan Engkau. Berkali-kali
istighfar menggema di hati dan terucap di lisan seiring dengan
penjelasan sang ustadz gondrong yang saat itu sedang membahas tentang
orang-orang yang bersegera pada ampunan Allah.
Oleh: Ineu Ratna Utami
0 Komentar:
Posting Komentar
Kehormatan buat kami jika selesai baca Anda beri komentar atas Artikel ini....tapi, Mohon Maaf kawan Komentarnya yang sopan ya....he..he..he..