Seringkali kita baca kisah-kisah mengagumkan dari shirah Rasulullah
dan para sahabat serta para pendahulu kita dari buku-buku shirah atau
dikutip oleh ustadz-ustadz atau di artikel-artikel yang kita baca.
Kemarin habis baca buku bagus banget, berisi kumpulan kisah-kisah
teladan terbiyah dalam bingkai Arkanul Ba’iah, judulnya Teladan
Tarbiyah, karya Parman Hanif M.Pd. Isinya bukan dongeng tetapi memang
kisah-kisah nyata dari para mujahid yang patut diteladani. Setelah
membacanya semoga kita tidak mengatakan, “Ah.. itu kan Rasulullah…” atau
“Ah.. itu kan para sahabat…” atau “Ah.. itu kan Hasan Al Banna…” atau
“Ah… itu kan Syeikh Ahmad Yasin…” atau “Ah.. itu idealis banget…” begitu
dst. Mungkin kita memang tidak bisa menyamai mereka mulai kepahaman
mereka, keikhlasan, amal, jihad, pengorbanan, ketaatan, keteguhan,
totalitas, ukhuwah sampai ketsiqohan mereka. Tetapi tidakkah kita iri
dengan mereka para mujahid yang mendapat kedudukan mulia di hadapan
Allah dan Rasul-Nya, yang memberikan cinta tertinggi mereka untuk Allah,
Rasulllah dan jihad di jalan-nya?
Mungkin ada yang berpikir, kehidupan kita sekarang berbeda dengan jamannya Rasulluah dan para sahabat. Bagaimana dengan Ustadz Hasan Al Banna, Sayyid Quthb, Syeikh Ahmad Yasin dan Abdullah Azam, mereka hidup di era baru, di abad 20, tak jauh dengan diri kita.Yang penting bagaimana kita menghubungkan kisah-kisah mereka itu dengan kehidupan masa kini.
Setelah baca kisah-kisah itu, aku merasa malu… malu pada Allah, pada diriku sendiri dan malu pada para mujahid itu. Muncul ruh dan semangat baru. Membaca kisah Perjanjian Hudaibiyah dimana para sahabat harus menerima sesuatu yang menurut mereka buruk tetapi ternyata tidak demikian menurut Allah, sebuah perjanjian yang mengawali kemenangan dan kejayaan Islam. Subhanallah membaca kisah-kisahnya ustadz Hasan Al Banna yang meskipun hanya seorang guru tetapi kiprah dakwahnya menggegerkan seantro dunia, sungguh haru membaca kisah akhir hidupnya.
Malu membaca kisah-kisah keikhlasan para mujahid. Apakah selama ini aku sudah benar-benar ikhlas? Akan sangat merugi jika nantinya menjadi seperti syuhada, ulama dan dermawan yang amalnya ditolak oleh Allah karena mereka tidak ikhlas. Malu dengan kisah-kisah mereka yang tidak hanya dalam tataran faham dan kata-kata tetapi bersegera untuk beramal. Subhanallah kisah Ummu Sulaim yang meminta mahar syahadat dari Abu Thalhah yang meminangnya, bukan menerimanya karena hartanya, dan ia pun menjadi istri yang sholehah. Subhanallah kisahnya Said bin Al Musayyib yang menolak pinangan raja untuk putrinya dan lebih suka menikahkan putrinya itu dengan muridnya yang sholih meskipun miskin.
Membaca kisah-kisah mereka menjadi malu, begitu sungguh-sungguhnya mereka meraih surga, meraih cinta Allah dan Rasul-Nya, memberikan pengorbanan dan persembahan yang terbaik untuk Islam. Trus… apa yang saja yang sudah kita lakukan? Apa yang sudah kita persembahkan untuk kejayaan Islam? Jangan-jangan selama ini kita hanya sibuk dengan diri kita sendiri, memanjakan diri, banyak mengeluh dan bermimpi, berangan-angan mengharapkan kenikmatan duniawi. Padahal yang diimpikan para mujahid itu adalah surga, itulah yang menjadi semangatnya ketika menyambut panggilan jihad. Bagaimana dengan diri kita? Apakah kita hanya terbuai mimpi dapat kerja layak, hidup berkecukupan, dapat pasangan yang kita impikan, dsb. Bukannya tidak boleh meraih kenikmatan duniawi, tetapi jangan hanya karena mengejar itu kenikmatan ukhrawi jadi terlupakan. Dan beban dakwah yang kita miliki lebih banyak dari waktu yang tersedia, masih banyak PR yang harus kita kerjakan.
Subhanallah membaca kisah-kisah jihad saat perang Uhud. Jihad yang paling rendah adalah ingkar hati dan yang tertinggi adalah perang mengangkat senjata di jalan Allah. Sedangkan di tengah-tengah itu adalah jihad lisan, pena, tangan dan berkata benar di hadapan penguasa tiran. Karena itu tidak ada alasan bagi kita untuk tidak berjihad, seperti sabda Rasulullah “Barangsiapa yang mati, sedangkan ia tidak berjuang atau minimal tidak pernah punya niat untuk berjuang, maka kematiannya adalah dalam keadaan jahiliyah” Mari kita niatkan setiap langkah dan aktifitas kita untuk berjihad, ketika berangkat kuliah, ketika berangkat bekerja, ketika berangkat berdakwah, dsb, karena kita tidak tahu kapan ajal akan menjemput.
Membaca kisahnya Sayyid Quthub yang dengan keteguhannya dia berjihad dengan tulisan-tulisannya, memberi semangat baru untuk tetap teguh dalam berdakwah lewat tulisan. Tidak takut dan ragu-ragu dengan ancaman atau ejekan orang, karena salah satu cirri generasi yang dicintai Allah (baca generasi 5:54) adalah tidak takut celaan orang. Meskipun bukan sastrawan cerdas seperti Sayyid Quthb, dan tulisan-tulisan yang ada di blog ini juga jauh dari sempurna, paling tidak isinya semoga bisa menjadi obat bagi yang futur dan penyemangat bagi diri sendiri maupun orang yang membacanya.
Itu tadi renungan setelah membaca buku Teladan Tabiyah. Insya Allah akan saya tuliskan kisah-kisahnya secara bertahap di blog ini, saya masukkan ke kategori Teladan Tarbiyah. Jadi, sering-sering aja ya kunjungi blog ini, kali aja ada kisah baru. Bisa bermanfaat untuk bahan rujukan atau taujih di kajian-kajian Islam atau untuk diceritakan kepada putra-putri kita (daripada dongeng kancil ) atau untuk penyemangat diri kita dan yang terpenting kita teladani dalam kehidupan kita.
Wallahu a’lam bishowab
0 Komentar:
Posting Komentar
Kehormatan buat kami jika selesai baca Anda beri komentar atas Artikel ini....tapi, Mohon Maaf kawan Komentarnya yang sopan ya....he..he..he..