Setiap
insan pastilah memiliki masa lalu. Sebuah masa dimana hal-hal yang
telah dilalui yang tidak akan mungkin kita dapat mengulanginya kembali.
Berbagai macam masa lalu yang dilalui oleh seseorang tak sedikit
mempengaruhi perjalanan masa depannya. Ada penyesalan dan ada
kebahagiaan. Penyesalan ketika masa lalu itu tak bisa diulang kembali
karena seluruh isinya penuh dengan kegelapan dan kemudian ada
kebahagiaan ketika masa lalu bisa dimanfaatkan secara baik dengan visi
dan misi masa depan.
Masa
lalu yang disi dengan kegelapan banyak membuat pesimis ketika akan
berbicara tentang visi dan misi masa depan, apalagi jika hal tersebut
berhubungan dengan dakwah keislaman watawatsaubil haq watawatsaubil shabar. Tidak
akan sedikit cela dan cemooh yang datang “sudahlah, kami tau masa lalu
kamu bagaimana!” “udah jadi ustadz yah sekarang!” “baru belajar islam
kemaren sore aja udah belagu!” dan akan banyak cemoohan lainnya.
Kemudian akan timbul pertanyaan “haruskah kita menyalahkan masa lalu?”
Syeikh
Abdur Rahman Bin Nasir As-Sa’di dalam bukunya yang berjudul “Meraih
Hidup Bahagia” mengatakan bahwa Rasulullah saw berlidung dari Al-Hamm dan Al-Hazn.Al-Hazn adalah perkara-perkara yang telah lalu yang tidak mungkin diulang dan didapati kembali, sedangkan Al-Hamm adalah
sesuatu yang diakibatkan oleh ketakutan pada masa yang akan datang.
Sehingga Syeikh Abdur Rahman Bin Nasir As-Sa’di memberikan pejelasan
maka hendaklah seseorang menjadi manusia hari ini, mengerahkan sekuat
tenaga kesungguhannya dalam memperbaiki hari dan waktunya saat ini.
Tak
ada masa lalu yang harus disalahkan dalam perjalan ini. Yang kemudian
harus disalahkan adalah ketika kita terfokus pada cemoohan dan celaan
sehingga timbul sikap pesimis yang menyebabkan tak ada amal pengganti
atas kesalahan-kesalahan yang telah dilakukan.
Dalam sebuah hadist Rasulullah saw dikatakan bahwa :
“Berusahalah
untuk meraih apa yang bermanfaat untukmu, mintalah pertolongan Allah
dan janganlah engkau lemah. Jika ada sesuatu yang menimpamu, maka jangan
engkau katakan: Seandainya saya kerjakan ini niscaya akan jadi begini
dan begitu, akan tetapi katakanlah bahwa Allah yang telah menetapkannya,
apa yang Dia kehendaki Dia perbuat. Karena sesungguhnya (kata-kata)
“seandainya” membuka peluang bagi perbuatan setan.” (HR. Muslim)
Syeikh
Abdur Rahman Bin Nasir As-Sa’di menjelaskan hadist ini bagaimana
Rasulullah saw dalam hadits diatas menggabungkan antara perintah untuk
berupaya mendapatkan manfaat dalam setiap keadaan dengan perintah
meminta pertolongan kepada Allah serta tidak tunduk terhadap kelemahan,
yaitu kemalasan yang merugikan dan menyerah terhadap perkara-perkara
yang telah berlalu serta menyaksikan ketetapan Allah dan ketentuannya.
Tentunya
kita harus fokus pada amal yang kita lakukan pada hari ini, dengan
mengabaikan setiap cemoohan dan setiap celaan dari orang-orang yang
tidak paham akan jalan kebaikan.
"Dan
(ingatlah) hari (ketika itu) orang-orang yang zalim menggigit dua
tangannya, seraya berkata: "Aduhai kiranya (dulu) aku mengambil jalan
bersama-sama Rasul". Kecelakaan besarlah bagiku; kiranya aku (dulu)
tidak menjadikan si fulan itu teman akrab (ku). Sesungguhnya dia telah
menyesatkan aku dari Al Qur'an ketika Al Qur'an itu telah datang
kepadaku. Dan adalah syaitan itu tidak mau menolong manusia." (QS. al Furqan: 27-29).
Bagaimana
kemudian kita bisa mencontoh Rasulullah saw dalam menyampaikan
kebaikan-kebaikan sehingga mereka orang-orang yang melakukan cemooh atau
celaan akan tau kemanfaatan hingga nanti di akhir zaman dan munculah
penyesalan-penyesalan karena masih berteman dengan masa lalu yang telah
kita lakukan.
Hal-hal
yang kita lakukan hari memiliki urgensi yang sejalan dari sebuah
perjalanan perubahan. Imam al Ghazali dalam kitab “Ihya Ulumuddin”
menyampaikan bahwa taubat adalah sebuah makna yang memiliki 3 buah
unsur, yaitu Ilmu, Hal, dan Amal. Dimana ada proses keterkaitan diantara
ketiganya yang saling mewajibkan ketika menjalani sebuah perjalanan
perubahan.
Imam
Al Ghazali menyampaikan dalam bukunya : "Sedangkan ilmu adalah,
mengetahui besarnya bahaya dosa, dan ia adalah penghalang antara hamba
dan seluruh yang ia senangi. Jika ia telah mengetahui itu dengan yakin
dan sepenuh hati, pengetahuannya itu akan berpengaruh dalam hatinya dan
ia merasakan kepedihan karena kehilangan yang dia cintai. Karena hati,
ketika ia merasakan hilangnya yang dia cintai, ia akan merasakan
kepedihan, dan jika kehilangan itu diakibatkan oleh perbuatannya,
niscaya ia akan menyesali perbuatannya itu. Dan perasaan pedih
kehilangan yang dia cintai itu dinamakan penyesalan. Jika perasaan pedih
itu demikian kuat berpengaruh dalam hatinya dan menguasai hatinya, maka
perasaan itu akan mendorong timbulnya perasaan lain, yaitu tekad dan
kemauan untuk mengerjakan apa yang seharusnya pada saat ini, kemarin dan
akan datang. Tindakan yang ia lakukan saat ini adalah meninggalkan dosa
yang menyelimutinya, dan terhadap masa depannya adalah dengan bertekad
untuk meninggalkan dosa yang mengakibatkannya kehilangan yang dia cintai
hingga sepanjang masa. Sedangkan masa lalunya adalah dengan menebus apa
yang ia lakukan sebelumnya, jika dapat ditebus, atau menggantinya”.
Jadi
tak seharusnya kita melahirkan sikap-sikap pesimis atas sebuah
perjalanan perubahan. Sikap optimis untuk menghasilkan amal sebagai
jalan penggugur kesalahan-kesalahan harus di pupuk terus-menerus
sehingga memudarkan masa lalu yang cukup itu menjadi munajad beserta
tetes-tetes air mata di setiap hening malam.
Saudaraku,
setiap orang memiliki jalan perubahan menuju kebaikan. Janganlah
timbulkan sikap-sikap pesimis di hati mereka. Jikau engkau tak dapat
menerima seruannya maka syukurilah bahwa hari ini telah hadir calon baru
penduduk surga. Doakan mereka, sikapi mereka dengan bijaksana. Ajarkan
mereka tentang dunia tapi jangan ajak mereka terperosok kembali kedalam
jurang kegelapan maya.
Wallahualam
Oleh : Faguza Abdullah
Oleh : Faguza Abdullah
0 Komentar:
Posting Komentar
Kehormatan buat kami jika selesai baca Anda beri komentar atas Artikel ini....tapi, Mohon Maaf kawan Komentarnya yang sopan ya....he..he..he..