Poligami menjadi sebuah dilema bagi akhwat. Jenjang pengkaderan seolah
menutup tabir bagi para akhwat untuk tidak lengah terhadap prahara
jodoh. Jenjang pengkaderan secara perlahan menganjurkan akhwat agar
semaksimal mungkin berusaha agar menikah dengan ikhwan. Alasan yang
rasional diungkapkan oleh para qiyadah adalah terkait keberlangsungan
tarbiyah di kemudian hari pasca menikah. Perempuan yang dipimpin, bukan
memimpin dalam rumah tangga, sehingga dengan menikah sesama kader,
diharapkan rumah tangga yang terbangun kental akan nuansa tarbiyah
hingga anak cucu.
Berbeda dengan kader ikhwan (laki-laki) yang diberi keleluasaan untuk
menikah dengan akhwat atau tidak. Alasannya, kalau dengan akhwat maka
jalinan tarbiyah akan semakin kokoh. Kalau tidak, diharapkan menjadi
ajang rekrutmen kader. Hal ini sangat dimungkinkan karena laki-laki
(suami) adalah pemimpin rumah tangga. Dengan kekuasaan, tidak sulit
baginya untuk merubah seseorang yang telah hanif untuk menjadi seorang
'akhwat'.
Pada sisi yang lain, globalilsasi menyeret kaum adam lebih dalam
terjerat pada kubangan kemaksiatan. Perekrutan kader yang dilakukan
lebih menarik simpati para perempuan untuk tergabung dalam jama’ah.
Terlepas dari kinerja para ikhwan yang lamban dalam pengkaderan atau
merupakan hukum alam, yang jelas jumlah akhwat jauh lebih banyak dari
pada ikhwan. Jika ada 100 orang yang terekrut, hanya 30% diantaranya
laki-laki. Fenomena ini terjadi hampir di setiap jenjang pengkaderan
hingga tingkat nasional, walhasil sosok ikhwan menjadi langka.
Realita ini mendorong para qiyadah jama’ah untuk turut andil memikirkan
solusi yang terjadi. Beberapa tahun silam, sempat tersiar anjuran
berpoligami bagi para ikhwan untuk mensiasati regenerasi kader. Tidak
lama setelah itu, muncullah buku yang berjudul “Bahagia dengan satu
Istri”, karangan Ustadz Cahyadi Takariawan. Dalam buku tersebut
dipaparkan betapa Islam sangat bijaksana memperbolehkan poligami namun
juga tidak mengkultuskannya menjadi sebuah budaya Islam. Oleh karena
itu, penting bagi kita untuk mengetahui sejarah berpoligami.
Tradisi berpoligami sudah ada sejak berabad-abad silam bahkan sebelum
Rasulullah dilahirkan. Di Persia dan bangsa Arab, laki-laki bebas
menikahi lebih dari satu istri dengan jumlah tanpa batas. Kemudian Islam
hadir untuk membebaskan perempuan dari kedzaliman. Kehadiran Islam
telah mengangkat harkat dan martabat kaum hawa, melindungi
kehormatannya.
Alkisah, ada seorang sahabat yang memiliki istri lebih dari empat
sebelum masuk Islam. Dalam sebuah riwayat, Imam Syaukani menuturkan
‘Qais bin al-Harats berkata “Saat masuk Islam, saya memiliki 8 orang
isteri. Kemudian saya menemui Rasulullah saw, dan saya ceritakan kepada
beliau masalah ini. Selanjutnya beliau saw bersabda,”Pilihlah empat
orang diantara mereka". [HR. Abu Dawud dan Ibnu Majah].
Islam hadir untuk membatasi jumlah maksimum 4 istri bagi suami. Sehingga
budaya berpoligami bukan budaya Islam, melainkan budaya orang Arab saat
masa jahiliyah dahulu. Namun pembatasan yang Allah berikan kepada
laki-laki bukan hanya boleh 1 istri, melainkan 4. Walaupun pada akhirnya
Allah menganjurkan menikahi 1 orang saja bagi yang takut tidak dapat
berlaku adil, namun Allah juga tidak melarang bagi yang menganggap
dirinya dapat berlaku adil.
Adil dalam hal ini adalah pembagian waktu, materi maupun perhatian.
Terkait dengan kecenderungan rasa, hal itu tidak dapat direkayasa
sebagaimana Rasulullah juga lebih cenderung pada Aisyah dibandingkan
para istri-istri yang lain ketika Rasulullah berpoligami. Nuansa
romantika rumah tangga Rasulullah beserta para ummul mukminin merupakan
cermin keluarga poligami ideal. Demikian juga kisah rumah tangga
Rasulullah dengan istri pertamanya Khadijah ra, menjadi rol model
keluarga Islami satu istri. Rasulullah adalah laki-laki perfect, dalam
sejarah hidupnya ada contoh kehidupan dengan satu istri maupun dengan
banyak istri.
Mengutip ungkapan Ibu Sri Rahayu Tifatul Sembiring, beliau berkata bahwa
“prinsip dasarnya, poligami bukan untuk membuat kebubrahan, tapi justru
harus menjadi sebuah ekspansi cantik yang menambah keindahan dakwah”.
Alangkah indah, saat dalam dunia dakwah bukan menjadi hal yang tabu jika
ada yang berpoligami. Tidak dicerca apalagi dihina. Justru pada saat
itulah moment strategis kader dakwah untuk membuktikan kepada dunia
bahwa poligami dalam Islam adalah anugerah, bukan musibah.
Bagi penulis, tidak masalah jika ada sosok ikhwan yang tidak mau
berpoligami. Karena bisa jadi ia begitu mencintai istrinya, atau takut
tidak dapat berlaku adil. Namun menjadi sebuah masalah apabila ada
seorang istri tidak mau dipoligami, hemat penulis hal ini ada sangkut
pautnya dengan mahabbah kepada Allah. Sedikit agak sadis memang, mari
kita rasionalisasikan.
Ummul mukminin Khadijah ra adalah sosok tauladan umat dari kalangan
perempuan. Beliau dijamin Allah masuk surga, dijamin dibangunkan istana
dari bambu, dijamin akan menjadi pemimpin wanita kelak di surga. Beliau
adalah kekasih Rasulullah. Ibunda Khadijah binti Khuwailid ra tidak
dipoligami dan tidak ada sikap beliau yang melarang Rasulullah untuk
berpoligami. Walaupun juga tidak ada hadits yang menguatkan bahwa
Khadijah ra pernah meminta Rasulullah untuk mempoligaminya, namun
setidaknya digambarkan dalam sirah bahwa Khadijah adalah sosok wanita
yang mau melakukan apa saja demi mendapatkan keridraan Allah dan
Rasulullah.
Begitu pula saat kita telisik kisah almarhumah Ustazah Yoyo Yusro,
beliau tidak dipoligami bukan karena tidak mau dipoligami, justru beliau
sangat ingin dipoligami dan meminta suaminya agar mau poligami, dan
pada akhirnya sejarah asmara hidup beliau harum tak ubahnya kisah para
sahabiyah. Karena suami Ustazah Yoyo tidak menikah lagi.
Pertanyaan besar bagi akhwat yang anti poligami, “mengapa sosok
Khadijah, Ustazah Yoyo Yusro, dan para sahabiyah mau dipoligami?
Terlepas pada akhirnya dipoligami atau tidak, namun mengapa para wanita
tangguh itu mau hidup berbagi. “Mahabbah/ Cinta pada Allah”. Itu
jawabannya. Begitulah cinta mengalahkan logika. Dapatkah kita berfikir,
bahwa bisa jadi pada masa dakwah Mekkah atau Madinah jumlah akhwat jauh
lebih banyak dari pada ikhwan sebagaimana yang terjadi hari ini?
Sehingga dengan gampang para sahabiyah mau dipoligami oleh para sahabat.
Umar bin Khathab memiliki jumlah istri hingga 9 orang. Bukan dalam satu
waktu, melainkan ketika istrinya wafat, ia menikah lagi. Sepanjang hidup
Umar bin Khathab, istrinya selalu berjumlah 4. Hingga wajar jika pada
akhirnya jumlah istrinya lebih dari 4 jika diakumulasikan. Ketika
ditanya oleh sahabat lain mengapa ia begitu suka menikah, Umar bin
Khathab hanya menjawab “Sesungguhnya aku ingin Rasulullah bangga padaku
dengan banyaknya ummatnya kelak di akhirat”. Subhanallah, sosok Umar bin
Khathab menikah bukan semata karena syahwat, melainkan karena
mengharapkan apresiasi/kebanggaan itu muncul dari Rasulullah kelak di
akhirat.
Para sahabat rata-rata memiliki banyak keturunan. Khalid bin Walid ra
memiliki 40 anak. Disebutkan bahwa anak cucu Anas bin Malik yang
berkumpul saat khataman al Qur’an di rumahnya lebih dari 100 orang.
Begitulah sifat para sahabat/sabahiyah dalam berlomba dalam kebaikan.
Mereka seolah mengabaikan keegoisan, hidup berbagi mudah mereka lakukan.
Sungguh, itsar-nya para sahabat luar biasa. Mereka bertindak
bukan semaunya, tapi semampunya. Apa saja akan mereka lakukan untuk
meraih simpati Allah, membuat Allah bangga. Yang penting bagi mereka
adalah bagaimana agar Islam semakin kokoh dengan banyaknya jundi- jundi
Allah, agar janda dapat terberdayakan, agar tidak ada lagi perawan tua
dari kalangan sahabiyah, agar izzah Islam semakin mengakar dalam
kehidupan.
Jodoh adalah bagian dari rahasia Allah. Bisa saja kita ngeles dengan
berujar “Jodoh itu Allah yang atur, bukan kita. Semua sudah tercatat di
lauful mahfud. Perawan tua karena jodohnya belum datang”. Iya benar,
tapi bukankah ikhtiar manusia juga menjadi penentu siapa dan bagaimana
proses itu berlanjut. Bukankah kemenangan dan prospek dakwah yang kita
alami saat ini karena sebuah kerja keras yang diawali dengan
rasionalisasi untuk membuat suatu strategi. Bukankah poligami merupakan
rasionalisasi atas strategi pemecahan masalah pernikahan bagi para
akhwat.
Lalu bagaimana mungkin para ummahat menolak poligami yang diperbolehkan
Allah. Lagi pula, mau dipoligami belum tentu pada akhirnya dipoligami.
Bisa jadi suaminya tidak mau, atau tidak ada akhwat yang mau dijadikan
istri kedua, ketiga, maupun keempat. Disitulah letak maksimalisasi
ikhtiar para ummahat. Sampai disitulah kemudian kita berujar “Semua
sudah tercatat di lauful mahfud”.
Kalau tidak ada keikhlasan dari para ummahat, tidakkah kita merasa juga
memiliki andil dengan para akhwat yang berguguran di jalan dakwah karena
tidak jua menemukan jodoh? Tidakkah para ummahat tersekat lidahnya saat
ada akhwat yang futur keluar dari jamaah dan masuk di jamaah lain
karena peroleh suami yang tidak sefikrah?
Tidakkah kita telisik hati seorang presiden PKS Anis Matta yang bisa
jadi menganjurkan poligami sebagi solusi, hingga kemudian beliau
mengaplikasikannya langsung, bukan dengan kata-kata. Sebagaimana dulu
ketika Rasulullah melakukan potong rambut sendiri saat berhaji dan
kemudian diikuti para sahabat yang lain. Karena ada kalanya manusia
lebih faham dengan perbuatan bukan dengan perkataan.
Para akhwat yang anti poligami, coba kita renungkan. Coba bayangkan
suatu suasana ideal sistem berpoligami para sahabiyah yang kini dapat
terejawantahkan dalam zaman modern. Suami (ikhwan) yang mau poligami
boleh berpoligami, akhwat yang mau dipoligami punya jalan untuk itu,
anak-anak kader semakin banyak. Bukankah itu artinya memperkecil peluang
berguguran akhwat kalau alasan futurnya karena jodoh, bukankah dengan
banyaknya jundi-jundi Allah secara kualitas dan kuantitas penduduk
Indonesia semakin membaik?
Tidakkah kita mau menggantikan penduduk muslim di Indonesia yang keluar
dari islam karena harta, kita gantikan dengan anak-anak kita. Bukankah
kita meyakini bahwa secara kualitas Insya Alah aqidah anak-anak kader
jauh lebih baik dari pada orang awam di luar sana. Bukankah itu artinya
agenda ‘poligami’ merupakan agenda umat?
Bukan cuma 1 atau 2 orang akhwat di Indonesia ini yang sudah berusia 30
tahun namun belum juga menikah, adakah kita berfikir bagaimana nasib
mereka selanjutnya. Apakah mereka harus menunggu duda-duda ikhwan?
Karena sungguh sulit bagi mereka mendapatkan ikhwan yang masih lajang,
karena kebanyakan dari mereka mencari akhwat dengan usia muda. Sadarilah
wahai ummahat, siapa lagi yang akan menolong kecuali kita?
Sekali lagi coba renungkan, para akhwat tua jumlahnya banyak, mereka
tidak boleh menikah kecuali dengan ikhwan, jumlah ikhwan sedikit, ikhwan
yang lajang mencari istri yang muda, waktu terus bertambah, usia mereka
semakin renta, dan kita hanya dapat memaksa suami agar tidak poligami.
Duhai… betapa malang saat tubuh mereka terhimpit dan berusaha bertahan
dalam jalan dakwah, kita yang kuasa untuk menolongnya namun tidak juga
mengulurkan tangan untuk bersama-sama satu atap meraih Jannah Nya.
Dalam hal ini, penulis juga yakin. Tidak semua akhwat yang belum menikah
mau dipoligami. Terkait hal itu sah-sah saja kalau mereka menolak tidak
mau dipoligami. Namun setidaknya para ummahat telah memberi jalan...
jalan bagi para akhwat yang kesulitan menikah tersebab salahsatunya
faktor usia. Masih terlalu banyak peluang kebaikan yang dapat kita
lakukan, selama masih ada kesempatan.
Wallahu ‘alam…
*Penulis:
@MinieBintis on twitter
sumber:
http://www.pkspiyungan.org