"Sesungguhnya Karun adalah termasuk
kaum Musa, maka ia berlaku aniaya terhadap mereka, dan Kami telah
menganugerahkan kepadanya perbendaharaan harta yang kunci-kuncinya
sungguh berat dipikul oleh sejumlah orang yang kuat-kuat. (Ingatlah)
ketika kaumnya berkata kepadanya, "Janganlah kamu terlalu bangga;
sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang terlalu membanggakan
diri" (QS Al Qashash (28): 76).
Urgensi Cerita dalam Al Quran
Di antara hal yang banyak menghiasi
lembaran-lembaran Al Quran adalah kisah atau cerita tentang kaum
terdahulu. Dan semua kisah atau cerita dalam Al Quran semuanya nyata,
tidak ada yang fiktif atau dibuat-buat. Tentang urgensi, fungsi dan
hakekat cerita dalam Al Quran telah ditegaskan oleh Allah swt dalam
firman-Nya, "Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat
pengajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal. Al Quran itu bukanlah
cerita yang dibuat-buat, akan tetapi membenarkan (kitab-kitab) yang
sebelumnya dan menjelaskan segala sesuatu, dan sebagai petunjuk dan
rahmat bagi kaum yang beriman" (QS Yusuf (12): 111).
Siapa Karun?
Salah satu cerita yang dipaparkan oleh
Al Quran adalah kisah Karun. Ayat di atas tidak merinci seting waktu dan
tempat cerita. Namun, cukup dengan mengisyaratkan bahwa "Sesungguhnya Karun adalah termasuk kaum Musa, maka ia berlaku aniaya terhadap mereka".
Tidak lebih dari itu. Apakah kisah ini terjadi di saat nabi Musa masih
di Mesir? Atau setelah beliau as keluar dari Mesir tapi masih dalam masa
hidupnya? Atau terjadi di tengah kaum Bani Israil setelah era Nabi
Musa? Tidak ada penjelasan tentang itu.
Ada beberapa riwayat yang menerangkan
tentang siapa Karun. Di antaranya, bahwa dia adalah anak paman Nabi Musa
as, bernama lengkap Karun bin Yashur bin Qaahatsa, kakek Nabi Musa
karena silsilah beliau adalah Musa bin Imran bin Qaahatsa (Tafsir Ibnu Katsir IV/145).
Sebagian lagi menambahkan, bahwa Karun pernah menyakiti Nabi Musa as,
yaitu dengan menyuap seorang wanita agar mau mengaku telah berbuat zina
dengan Musa as. Lalu Allah membebaskan Nabi Musa dan menghukum Karun
dengan dibenamkan ke dalam bumi (Fii Zhilal Al Quran V/2710).
Kita tidak perlu menguras tenaga untuk
membahas riwayat-riwayat semacam itu dan bahkan tidak membutuhkannya.
Sebab, apa yang dikupas oleh ayat tersebut di atas cukup untuk
menghantarkan tujuan dari kisah dan yang terpenting bagaimana kita mampu
mencerna dan menangkap pelajaran dan pesan spiritual dari kisah
tersebut.
Harta yang Melimpah Membuat Karun Berlaku Aniaya
Harta atau fulus sudah pasti menggiurkan
semua orang. Siapa yang tidak senang dengan fulus? Dengan fulus, semua
urusan mulus, demikian komentar sebagian orang. Sebagian lagi
berseloroh, fulus dapat membangkitkan nufus (jiwa) dan tanpa fulus jiwa
akan mampus. Semua itu menunjukkan betapa kuatnya daya tarik harta bagi
manusia. Dan dahsyatnya daya tarik dunia inilah yang terkadang membuat
tidak sedikit manusia yang terjerumus dalam kesesatan dan berakhir
dengan kesengsaraan karena menghamba kepada harta dan menganggap harta
segala galanya.
Perhatikan firman Allah swt berikut, "Kecelakaanlah
bagi setiap pengumpat lagi pencela, yang mengumpulkan harta dan
menghitung-hitungnya. Dia mengira bahwa hartanya itu dapat
mengekalkannya" (QS Al Humazah (104): 1-3). Menurut Sayyid Quthb,
itu artinya bahwa ia menyangka hartanya itu tuhan yang mampu atau kuasa
atas segala sesuatu. Tidak lemah untuk melakukan apa pun. Bahkan dapat
menolak kematian dan mengekalkan kehidupan sekalipun! (Fii Zhilal Al Quran VI/3972).
Ketika jiwa manusia telah didominasi
oleh cinta harta yang membuta, maka ia akan terus memburu harta tanpa
lelah dan tanpa pernah merasa kenyang sebagaimana sabda Nabi saw,
"Seandainya manusia memiliki dua
lembah (yang penuh terdiri) dari harta niscaya ia akan menginginkan
lembah ketiga. Dan tidak akan memenuhi dada manusia kecuali tanah, dan
Allah akan menerima taubat orang yang mau bertaubat" (HR Bukhari VIII/115 dan Muslim II/725, 726 hadits no. 1048-1050).
Inilah yang terjadi pada Karun. Kekayaan
yang Allah swt anugerahkan kepadanya luar biasa dan tidak ada duanya
saat itu dan mungkin sepanjang sejarah umat manusia sehingga hartanya
pun sampai kini masih terus diburu. Sehingga muncul istilah 'memburu
harta Karun'.
".. dan Kami telah menganugerahkan
kepadanya perbendaharaan harta yang kunci-kuncinya sungguh berat dipikul
oleh sejumlah orang yang kuat-kuat" demikian Al Quran menggambarkan kekayaan yang dimiliki Karun.
Penyebutan "Kunuuz" (perbendaharaan
harta) dalam ayat di atas memberikan pemahaman kepada kita bahwa Karun
bukan saja memiliki uang kontan yang melimpah, namun ia juga memiliki
berbagai macam perhiasan yang tidak terhitung jumlahnya yang disimpan
dalam peti-peti besar. Tidak terbayang betapa banyak dan besarnya peti
serta betapa berat isinya sehingga untuk memikul kunci-kuncinya saja
diperlukan banyak orang yang berbadan kekar. Konon, kata Ibnu Abbas ra,
ada 40 orang yang kuat-kuat yang memikul kunci-kunci brankas atau peti
tersebut (Tafsir Al Munir, DR Wahbah Az Zuhaili XX/160).
Namun, kekayaan yang melimpah yang
merupakan nikmat Allah itu tidak disyukuri oleh Karun. Justru membuatnya
berlaku aniaya, takabur, sombong dan durhaka kepada Allah swt. Tidak
dijelaskan secara detail perbuatan aniaya macam apa yang dilakukan Karun
terhadap kaumnya. Namun, kita bisa menangkap bahwa mungkin tidak akan
jauh berbeda dengan perbuatan aniaya yang dilakukan para penghamba harta
zaman sekarang. Yaitu, dengan merampas tanah kaumnya atau tanah
rakyatnya dan negaranya. Dengan korupsi, monopoli dan segala bentuk
praktek kezaliman lainnya. Sehingga harta rakyat habis terkuras, yang
tersisa hanya sampah-sampahnya.
Selalu Ada Orang Baik di tengah Kezaliman
Selalu saja ada orang yang galau melihat
berbagai macam fenomena kezaliman yang bertentangan dengan fitrah dan
hati nuraninya yang ingin meluruskan keadaan yang menyimpang. Demikian
pula, ketika Karun tampil ke panggung kehidupan dengan congkak dan rakus
serta membangga-banggakan kekayaannya, maka tampillah orang-orang
shalih dari kaumnya memberanikan diri menasehatinya dengan mengatakan, "Janganlah kamu terlalu bangga".
Janganlah kamu terlalu bangga dengan
harta, kekayaan dan kekuasaan. Jangan kamu membanggakan diri sehingga
lupa terhadap Tuhan yang memberi nikmat harta kepadamu yang seharusnya
kamu bersyukur kepada-Nya. Jangan kamu terlalu membanggakan diri
sehingga membuatmu merendahkan orang lain dan berlaku aniaya
terhadapnya. Sebab "Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang terlalu membanggakan diri" yang tidak mensyukuri Allah atas berbagai macam nikmat yang Ia anugerahkan kepada mereka.
Ketika Al Quran menyinggung tentang
kekayaan Karun di atas, tidak berarti bahwa Islam melarang seseorang
untuk kaya. Tidak. Sebab, tidak sedikit ayat Al Quran yang memerintahkan
kita untuk menunaikan zakat dan rajin berinfak. Bagaimana kita bisa
berhaji, berzakat dan bersedekah jika kita tidak memiliki harta dan
kaya. Selama kekayaan itu diperoleh seseorang dengan cara yang halal,
dan tidak melanggar aturan syariat Islam dan membuatnya menjadi orang
yang bersyukur kepada Allah swt maka justru ia menjadi manusia yang
mulia.
Yang dilarang oleh Islam bahkan dicela
adalah orang-orang yang menumpuk kekayaan dengan cara yang haram seperti
dengan mencuri, KKN (korupsi kolusi dan nepotisme) serta manipulasi
sehingga membuatnya sombong, durhaka dan mengkufuri nikmat Allah swt
seperti yang diperankan oleh Karun dengan ending yang sangat
menyakitkan dan mengenaskan. Yaitu ia beserta rumah dan seluruh
kekayaannya dibenamkan oleh Allah ke dalam bumi. Maka, waspadalah!
Waspadalah!
Semoga kita sekeluarga dapat mengambil
pelajaran dari kisah Karun ini sehingga kita pantas disebut sebagai
orang-orang yang berakal. Amin...
(Ahmad Khusyairi Suhail, MA)
0 Komentar:
Posting Komentar
Kehormatan buat kami jika selesai baca Anda beri komentar atas Artikel ini....tapi, Mohon Maaf kawan Komentarnya yang sopan ya....he..he..he..