Hayo, siapa di antara kamu yang kepengen jadi orang ngetop bin tenar?
Rasa-rasanya sih semua orang punya keinginan untuk dikenal oleh orang
lain. Kalo di kampung saja sudah dikenal, ingin juga dikenal di kampung
orang lain. Ini memang sifat dasar manusia secara umum. Why? Karena
manusia oleh Allah Ta’ala dibekali naluri mempertahankan diri. Lho apa
hubungannya? Ada.
Hubungannya ada. Naluri mempertahankan diri perwujudan
alias penampakannya bisa melalui ingin dihargai, tak ingin sekadar
dianggap bilangan tetapi juga ingin diperhitungkan, reaktif jika ada
yang menyerang (baik secara fisik maupun perasaan), ingin memiliki
pengaruh dan kekuasaan di tengah-tengah manusia lainnya. Itu semua ada
contoh dari penampakan alias perwujudan dari naluri mempertahankan diri.
Maka, tak heran kalo ada orang yang naluri mempertahankan dirinya itu
ingin dipenuhinya. Namun yang terkategori nggak wajar adalah cara
memenuhinya yang berlebihan sehingga menghalalkan segala cara. Ini yang
perlu diredam.
Bro en Sis rahimakumullah, Tanggal 9 Juli
2014 adalah hari dimana negeri ini memilih pemimpinnya. Sudah berbulan
lamanya, bahkan berbilang tahun persiapan untuk memuluskan rencana
pasangan capres/cawapres agar bisa menang di arena pemilu tersebut.
Tentu saja, adu kekuatan pengaruh sudah sering ditampilkan. Tim sukses
masing-masing capres/cawapres sudah putar otak nyari cara gimana
jagoannya bisa populer di mata masyarakat. Utak-atik survei—yang kadang
diproduksi sendiri—sudah biasa dilakukan demi memberikan pengaruh dan
opini kepada masyarakat tentang siapa di antara kedua pasangan
capres/cawapres yang mudah dikenal di masyarakat. Tujuannya tentu saja
mendulang suara pemilih. Makin banyak suara yang masuk, makin lempang
jalan jagoannya menduduki singgasana kekuasaan. Lagi-lagi, popularitas
menjadi sarana untuk meraih kekuasaan dan ujungnya memang memenuhi
naluri mempertahankan diri.
Oya, kamu juga sudah mafhum kalo di Piala Dunia 2014 ini tim-tim
unggulan dan favorit juara sudah bisa dipastikan berputar pada empat
negara: Jerman, Brasil, Belanda, dan Argentina. Why? Karena sejauh ini
keempat timnas negara tersebut sudah berada di semifinal. Tangga
populartis keempat negara di ajang piala dunia pun sudah hampir berada
di puncak. Siapa coba yang tak kenal deretan nama-nama pemain top dunia
dari keempat negara itu yang biasa malang-melintang di liga-liga Eropa.
Kamu kenal Lionel Messi, Robin van Persie, Neymar, dan Mesut Ozil?
Keempat pemain top dunia dari keempat negara itu adalah para punggawa
klub-klub elit Eropa. Popularitas? Tentu saja sudah mereka dapatkan.
Tinggal berebut tangga popularitas sebagai juara dunia tahun ini di
turnamen empat tahunan yang digelar FIFA tersebut.
Bagaimana dengan para selebritis dunia hiburan yang selalu wara-wiri
di layar kaca milik kita? Popularitas sudah mereka dapatkan. Untuk
mendapatkannya tak jarang dengan susah payah. Lihat saja di bulan
Ramadhan ini, mereka tak surut dan justru makin moncer aja dikontrak
berbagai stasiun televisi. Ada beberapa seleb bahkan mampu nongol sehari
di tiga stasiun televisi sekaligus untuk membawakan acara yang menjadi
jobnya. Untuk semua itu, tentu saja ada yang ingin diraihnya lebih dari
sekadar ketenaran alias popularitas, tetapi juga harta kekayaan dan
mungkin juga kekuasaan. Popularitas boleh jadi kunci pertama untuk bisa
menaiki anak tangga berikutnya hingga ke puncak keinginan yang hendak
diraih.
Kekayaan dan kekuasaan
Sobat, jika ada tetanggamu yang ngetop sebagai pemain bola
sewaan dalam turnamen antar kampung, pastinya bakalan dibayar lebih.
Saya dulu punya kenalan di kampung yang ahli menggocek si kulit bundar.
Meski sekadar pemain kampung, tetapi popularitasnya sanggup menjebol
dinding batas desa lain dan mereka kepincut untuk menggunakan jasanya.
Tentu saja dibayar. Kamu bisa bayangkan gimana kalo orang yang tenar itu
sekaliber Lionel Messi yang merantau dari Argentina ke Spanyol dengan
berlabuh di klub Barcelona. Bayaran Messi di Barcelona per pekan minimal
4 miliar rupiah. Fantastis! (itu duit semua lho, bukan daun!)
Kalo kamu sedikit berpikir, kenapa sih Prabowo-Hatta rela bertarung
dengan Jokowi-JK untuk mendapatkan kursi empuk RI-1? Rasa-rasanya, semua
orang tahu bahwa kekuasaan itu memang menyenangkan. Nah, untuk
mendapatkannya, tentu anak tangga pertama yang harus dipijak adalah
popularitas. Siapa yang mendulang suara terbanyak, dialah jawaranya.
Kalo udah jadi jawara dan kekuasaan sudah dalam genggaman, rasa-rasanya
semua orang paham bahwa kekayaan dan pengaruh tak sulit untuk bisa juga
diraih. Maka, yang udah-udah nih, jadi penguasa itu gampang buat nyari
duit dan jadi corong kepentingan mereka yang menyokongnya selama
kampanye. Begitulah.
Para selebritis dunia hiburan juga sama saja. Seorang kenalan yang
bekerja di sebuah stasiun televisi pernah bercerita pada suatu hari saat
makan siang bersama. Dia mengatakan, bahwa ada seorang seleb top negeri
ini yang sehari pendapatannya tak kurang dari Rp 300 juta. Itu dia
dapatkan dari manggung—setidaknya di 3 stasiun televisi dalam sehari.
Capek? Sudah pasti. Tetapi dia mendapatkan upah besar dari keringat yang
diteteskannya. Tak semua seleb bisa seperti dia, salah satunya karena
faktor popularitas.
Bagaimana dengan para penceramah top negeri ini yang konon bayarannya
per jam dalam berceramah bisa tembus di angka Rp 17 juta atau bahkan
lebih? Kini ceramah memang sudah menjadi bagian dari bisnis dan hiburan
jika kita hubungkan dengan ketenaran dari si penceramah tersebut yang
‘dibesarkan’ oleh media massa bernama televisi. Hal ini diperparah
dengan pola pikir masyarakat kita yang juga masih menjadikan popularitas
sebagai sesuatu yang dibangga-banggakan. Para pengurus masjid sering
merasa bangga jika bisa menghadirkan penceramah top yang sering tampil
di televisi. Ada kepuasan meski harus membayar mahal untuk semua itu,
asalkan acara yang digelar dihadiri penceramah top. Sebegitu parahkah
cara pandang masyarakat kita?
Contoh-contoh di atas, kian mengukuhkan bahwa tangga popularitas bisa
menjadi sarana mendulang kekayaan dan juga kekuasaan. Tergantung apa
yang selama ini ingin dikejarnya.
Popularitas dan keikhlasan
Bro en Sis rahimakumullah, Jika popularitas
menjadi anak tangga pertama yang dipijak demi meraih kekayaan dan
kekuasaan, rasa-rasanya memang identik dengan ketidak-ikhlasan dalam
berbuat. Ada pamrih yang hendak diraih. Maka, dalam Islam sudah sejak di
awal sebelum berbuat, yakni niat, harus diluruskan. Jika niatnya
keliru, maka perbuatan yang dilakukan juga bisa dipastikan keliru.
Minimal tujuannya jadi melenceng. Bukan untuk meraih ridho Allah Ta’ala,
tetapi untuk meraih ridho manusia (mungkin termasuk ridho rhoma,
hehehehe…).
Di website rumaysho.com, saya
menemukan sebuah pemaparan yang menarik tentang pendapat para ulama
seputar ketenaran dan keikhlasan. Syaikh al-Fudhail bin ‘Iyadh
mengatakan, “Wahai hamba Allah, sembunyikanlah selalu kedudukan muliamu.
Jagalah selalu lisanmu. Minta ampunlah terhadap dosa-dosamu, juga dosa
yang diperbuat kaum mukminin dan mukminat sebagaimana yang diperintahkan
padamu.”
Abu Ayub as-Sikhtiyani mengatakan, “Seorang hamba sama sekali tidaklah jujur jika keinginannya hanya ingin mencari ketenaran.”
Cobalah kita merenung dengan dua pesan ini. Ketenaran seringkali
membuat kita menjadi sombong dan riya’. Waduh, kalo sampe kita sengaja
nyari ketenaran diri, bisa dianggap sebagai orang yang nggak jujur.
Ibnul Mubarok mengatakan bahwa Sufyan ats-Tsauri pernah menulis surat
padanya, “Hati-hatilah dengan ketenaran. Imam Ahmad mengatakan,
“Beruntung sekali orang yang Allah buat ia tidak tenar.” Beliau juga
pernah mengatakan, “Aku lebih senang jika aku berada pada tempat yang
tidak ada siapa-siapa.”
Tuh, para ulama sekaliber Ibnul Mubarok, Sufyan ats-Tsauri dan Imam
Ahmad saja nggak mau tenar. Walau pada faktanya umatlah yang membuatnya
dikenal luas karena keilmuan mereka.
Syaikh al-Fudhail bin ‘Iyadh kembali mengatakan, “Rahimahullahu ‘abdan akhmala dzikrohu (Moga-moga Allah merahmati seorang hamba yang tidak ingin dirinya dikenal/tenar)”
Basyr bin al-Harits al-Hafiy mengatakan, “Aku tidak mengetahui ada
seseorang yang ingin tenar kecuali berangsur-angsur agamanya pun akan
hilang. Silakan jika ketenaran yang dicari. Orang yang ingin mencari
ketenaran sungguh ia kurang bertakwa pada Allah.” Suatu saat juga Basyr
mengatakan, “Orang yang tidak mendapatkan kelezatan di akhirat adalah
orang yang ingin tenar.”
Ibrahim bin Adham mengatakan, “Tidaklah bertakwa pada Allah orang yang ingin kebaikannya disebut-sebut orang.”
Sobat, rasa-rasanya pendapat para ulama ini sudah cukup
memberikan tamparan buat kita semua yang suka kepengen popularitas bagi
diri kita. Apalagi setelah populer bin tenar, kita berharap kekayaan dan
kekuasaan juga dalam genggaman. Ini lebih bahaya lagi, Bro en Sis!
Cobalah lihat bagaimana ulama salaf dahulu tidak ingin dirinya tenar.
Imam al-Hasan al-Bashri pernah menceritakan mengenai Ibnul Mubarok.
Suatu saat Ibnul Mubarok pernah datang ke tempat sumber air dimana
orang-orang banyak yang menggunakannya untuk minum. Tatkala itu
orang-orang pun tidak ada yang mengenal siapa Ibnul Mubarok. Orang-orang
pun akhirnya saling berdesakan dengan beliau dan saling mendorong untuk
mendapatkan air tersebut. Tatkala selesai dari mendapatkan minuman,
Ibnul Mubarok pun mengatakan pada al-Hasan al-Bashri, “Kehidupan memang
seperti ini. Inilah yang terjadi jika kita tidak terkenal dan tidak
dihormati.” Lihatlah Ibnul Mubarok lebih senang kondisinya tidak tenar
dan tidak menganggapnya masalah. Bagaimana dengan pejabat negeri ini
yang konon kabarnya senang blusukan sambil berharap tertangkap kamera
wartawan. Hadeeeuhh!
Oke deh sobat. Meski sekilas menjelaskan hubungan popularitas,
kekayaan dan kekuasaan yang teryata mencederai keikhlasan kita, namun
bisa memberikan tambahan wawasan bahwa kita haruslah tetap menggapai
ridho Allah Ta’ala dalam setiap amal yang kita kerjakan. Ketenaran,
kekayaan, dan kekuasaan hanyalah efek samping saja dari keikhlasan yang
kita kerjakan dalam setiap amal shalih kita.
Eh, itu jika ngomongin soal amal shalih lho. Lha, gimana kalo yang
dikerjakan adalah amal salah (misalnya ngejar popularitas demi kekayaan
dengan kerja gila-gilaan sampe buka aurat dan menghinakan harga diri
macam seleb-seleb jaman sekarang)? Aduh, itu sih rugi bingit. Jangan
sampe deh kamu begitu rupa.
*gambar dari sini
Cat. Admin : Terjadi pengurangan redaksi tanpa mengurangi isi yg di sampaikan
0 Komentar:
Posting Komentar
Kehormatan buat kami jika selesai baca Anda beri komentar atas Artikel ini....tapi, Mohon Maaf kawan Komentarnya yang sopan ya....he..he..he..