Asas utama dari partisipasi politik adalah dalam rangka tahshilul maslahah wa taqlilul mafasid (menghasilkan maslahat dan mengurangi mafsadat). Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullah berkata:
وَفِي أَنَّ الشَّرِيعَةَ جَاءَتْ
بِتَحْصِيلِ الْمَصَالِحِ وَتَكْمِيلِهَا وَتَعْطِيلِ الْمَفَاسِدِ
وَتَقْلِيلِهَا وَأَنَّهَا تُرَجِّحُ خَيْرَ الْخَيْرَيْنِ وَشَرَّ
الشَّرَّيْنِ وَتَحْصِيلِ أَعْظَمِ الْمَصْلَحَتَيْنِ بِتَفْوِيتِ
أَدْنَاهُمَا وَتَدْفَعُ أَعْظَمَ الْمَفْسَدَتَيْنِ بِاحْتِمَالِ
أَدْنَاهُمَا
“Bahwa syariat datang untuk menghasilkan maslahat dan
menyempurnakannya, dan menghilangkan mafsadat serta meminimalisirnya.
Syariat juga menguatkan yang terbaik di antara dua kebaikan, dan memilih
keburukan yang lebih ringan di antara dua keburukan. Serta menghasilkan
mashlahat terbesar di antara dua maslahat dengan mengabaikan maslahat
yang lebih ringan, dan syariat juga menolak mafsadat yang lebih besar di
antara dua mafsadat, dengan memilih resiko yang lebih ringan di antara
keduanya.”(Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Majmu’ Fatawa, Juz. 4, Hal. 241. Al Maktabah Asy Syamilah)
Lalu masih di halaman yang sama beliau berkata lagi:
وَمِنْ هَذَا الْبَابِ تَوَلِّي يُوسُفَ الصِّدِّيقَ عَلَى خَزَائِنِ
الْأَرْضِ لِمَلِكِ مِصْرَ بَلْ وَمَسْأَلَتُهُ أَنْ يَجْعَلَهُ عَلَى
خَزَائِنِ الْأَرْضِ وَكَانَ هُوَ وَقَوْمُهُ كُفَّارًا كَمَا قَالَ
تَعَالَى : { وَلَقَدْ جَاءَكُمْ يُوسُفُ مِنْ قَبْلُ بِالْبَيِّنَاتِ
فَمَا زِلْتُمْ فِي شَكٍّ مِمَّا جَاءَكُمْ بِهِ } الْآيَةَ وَقَالَ
تَعَالَى عَنْهُ : { يَا صَاحِبَيِ السِّجْنِ أَأَرْبَابٌ مُتَفَرِّقُونَ
خَيْرٌ أَمِ اللَّهُ الْوَاحِدُ الْقَهَّارُ } { مَا تَعْبُدُونَ مِنْ
دُونِهِ إلَّا أَسْمَاءً سَمَّيْتُمُوهَا أَنْتُمْ وَآبَاؤُكُمْ } الْآيَةَ
وَمَعْلُومٌ أَنَّهُ مَعَ كُفْرِهِمْ لَا بُدَّ أَنْ يَكُونَ لَهُمْ
عَادَةٌ وَسُنَّةٌ فِي قَبْضِ الْأَمْوَالِ وَصَرْفِهَا عَلَى حَاشِيَةِ
الْمَلِكِ وَأَهْلِ بَيْتِهِ وَجُنْدِهِ وَرَعِيَّتِهِ وَلَا تَكُونُ
تِلْكَ جَارِيَةً عَلَى سُنَّةِ الْأَنْبِيَاءِ وَعَدْلِهِمْ وَلَمْ يَكُنْ
يُوسُفُ يُمْكِنُهُ أَنْ يَفْعَلَ كُلَّ مَا يُرِيدُ وَهُوَ مَا يَرَاهُ
مِنْ دِينِ اللَّهِ فَإِنَّ الْقَوْمَ لَمْ يَسْتَجِيبُوا لَهُ لَكِنْ
فَعَلَ الْمُمْكِنَ مِنْ الْعَدْلِ وَالْإِحْسَانِ وَنَالَ بِالسُّلْطَانِ
مِنْ إكْرَامِ الْمُؤْمِنِينَ مِنْ أَهْلِ بَيْتِهِ مَا لَمْ يَكُنْ
يُمْكِنُ أَنْ يَنَالَهُ بِدُونِ ذَلِكَ وَهَذَا كُلُّهُ دَاخِلٌ فِي
قَوْلِهِ : { فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ } .
“Dari sisi inilah, Nabi Yusuf ‘Alaihissalam menjadi bendahara negeri
Mesir, bahkan beliau memintanya kepada Raja agar beliau dijadikan
bendahara negeri, padahal saat itu sang Raja dan kaumnya adalah kafir,
sebagaimana yang Allah Ta’ala firmankan:
“Dan Sesungguhnya telah datang Yusuf kepadamu dengan membawa
keterangan-keterangan, tetapi kamu Senantiasa dalam keraguan tentang apa
yang dibawanya kepadamu, ..” (QS. Al Mu’min (40): 34)
“Hai kedua penghuni penjara, manakah yang baik, tuhan-tuhan yang
bermacam-macam itu ataukah Allah yang Maha Esa lagi Maha Perkasa? Apa
yang kamu sembah selain Allah tiada lain kecuali hanya (menyembah)
Nama-nama yang kamu dan nenek moyangmu membuat-buatnya ..” (QS. Yusuf
(12): 39-40)
Dapat dimaklumi bahwa dengan kekafiran yang ada pada mereka, maka itu
mengharuskan mereka memiliki kebiasaan dan cara tertentu dalam
mengambil dan menyalurkan harta kepada Raja, keluarga raja, tentara dan
rakyatnya.
Tentu cara itu tidak sesuai dengan kebiasaan para nabi dan
utusan Allah. Namun bagi Nabi Yusuf ‘Alaihissalam tidak memungkinkan
untuk menerapkan apa yang ia inginkan berupa ajaran Allah karena rakyat
tidak menghendaki hal itu. Akan tetapi Nabi Yusuf ‘Alaihissalam tetap
melakukan apa-apa yang bisa dilakukannya, berupa keadilan dan perbuatan
baik. Dengan kekuasaan itu, ia dapat memuliakan orang-orang beriman
diantara keluarganya, suatu hal yang tidak mungkin dia dapatkan tanpa
kekuasaan itu.
Semua itu termasuk dalam firman Allah Ta’ala: “Betaqwalah
kepada Allah semampu kalian.” (QS. At Taghabun (64): 16) …” (Ibid)
Demikianlah pandangan cerdas Imam Ibnu Taimiyah, dengan dalil yang
lugas dan kaidah yang jelas, beliau merekomendasikan musyarakah dengan
pemerintahan yang jelas-jelas rajanya adalah kafir yang menggunakan
undang-undang kafir pula di mana mereka punya sistem sendiri yang tidak
mungkin dihindari Nabi Yusuf ‘Alaihissalam, lalu dengan musyarakah itu
dengan tujuan menghasilkan maslahat dan mencegah mudharat.
Dikutip dari: Pandangan Para Ulama Terhadap Musyarakah Siyasiyyah Di bawah Pemerintah Non Islami, Farid Nu’man Hasan
http://www.al-intima.com/syariah/pandangan-para-ulama-terhadap-musyarakah-siyasiyyah-di-bawah-pemerintah-non-islami
0 Komentar:
Posting Komentar
Kehormatan buat kami jika selesai baca Anda beri komentar atas Artikel ini....tapi, Mohon Maaf kawan Komentarnya yang sopan ya....he..he..he..