Gaza terus bergejolak, menampar jutaan tokoh di dunia yang masih saja
sibuk berebut mahkota tahta, harta dan wanita. Tiga lokasi ‘permata
dunia’ tak dipedulikan oleh kaum pecinta materi, terbiasa mengumbar
obrolan tentang kemewahan kendaraan, berbelanja benda dengan merk
ternama, atau berwisata tanpa tujuan taqarrub Ilallah. Yah, Gaza, Syria,
dan Mesir…. Tiga lokasi yang pemberitaannya dipecah-pecah dengan bumbu
fitnah sana-sini supaya ummat tetap terkota-kotak dan lupa pada
identitas diri sebagai satu keluarga : muslim.
Seiring dengan ragam rasa geram, gelisah dan merinding bagi jiwa raga
kita atas segala berita dari bumi para syuhada, kuutarakan rasa malu
diri kepada saudariku disana, ukhti fillah… Bukan hanya para sisters
Palestine yang telah populer seperti sist sarah, Ummu Nidhal, sist
Andalib, Hiba, Reem Shalih, Fatimah Umar, Sist Mirvat, Hamadi, Zainab
Abu salim, Sist Wafa, dan banyak lagi. Melainkan kepada semua saudari
mukminah nan istiqomah di bumi jihad itu, sungguh aku bermalu diri…
Ketika engkau telah menjadi yatim, piatu atau bahkan kehilangan kedua
orang tua, hidupmu sejak kecil sudah terpola mengatur jadwal diri
dengan mendalami kitbulloh dan sunnah rasulNya SAW. Sementara aku dan
teman-teman wanita di tanah air sibuk bermain boneka, masak-masakan, dan
bertabur hadiah dari ayah bunda.
Ketika engkau remaja, duhai ukhti, telah terekam kuat dalam benakmu
untuk meneruskan perjuangan para syuhada… Bahkan engkau biarkan ragamu
menjadi martir demi menegakkan kalimat tauhid di tanah kiblat pertama
muslim sedunia. Astaghfirrulloh, ukhti… teman-teman remaja di tanah
pertiwi malah sibuk bergonta-ganti pasangan demi menamai diri sebagai
‘orang modern’ yang menyerap tradisi barat.
Ketika engkau ‘ngefans’ dengan para syuhada, engkau mengenali
tokoh-tokoh jihad yang senantiasa memperjuangkan keesaan Allah SWT, yaa
ukhti… Kupandangi teman-teman remaja di tanah air asyik mengoleksi foto
penyanyi, aktor, dan idola mereka, yang dengan sadar mereka turut
menghadiahkan peluru-peluru buatmu, ukhti… Karena kaum kuffar sengaja
‘menerbitkan artis idola’ dengan mendulang dana di setiap acara konser
megahnya.
Yaa ukhti, kutatap wajah jelitamu dengan raut ketenangan di sana,
padahal jarak kita terpisah benua. Namun menelusup rasa tenang damai
dalam relung jiwa, seolah tertular dari senyum semangatmu. Bagai telah
lama kukenal, ketika berita tentangmu hadir, lidah turut berbisik
mendoakan perjuanganmu, mata membanjir membayangkan ketegaranmu.
Beginilah rasa dalam jiwa kita, yaa ukhti, karena kita adalah sebuah
bangunan utuh yang mewarisi pesan ber-illah satu sebagai wasiat
Rasulullah Muhammad SAW.
Suatu hari aku membaca berita darimu, engkau berseru takbir dan
bersorak girang seraya membersihkan luka saudaramu. Innalillahi, ukhti…
Saudara lelakimu syahid, dan engkau ucapkan ‘congrats’ buatnya,
sementara media kuffar dan teman-temanku di sini sibuk mencemooh
keteguhanmu.
Saat berjumpa dengan seorang saudaramu yang baru menyelesaikan
sekolah di bumi Eropa, “Selanjutnya tetap meneruskan perjuangan…”
ujarnya. Ia tak hanya hafiz quran, melainkan juga menyelesaikan
penelitian-penelitian ilmiah yang diimpikan sejak lama, dan well done.
Gelar doctor sangat berguna jika bisa mendidik generasi qurani dan
mencintai jihad, bukan buat mengincar kursi ‘dosen senior’ dengan
pangkat tinggi di universitas seperti desas-desus di tanah
antah-berantah itu. Masya Allah, prinsip tegas yang amat kukagumi, yaa
ukhti…
Saat engkau menjadi janda di malam pertama usai pernikahan nan
dirindukan, betapa takjub dan terkejut diriku mendengarmu mengucap,
“Alhamdulillah…”
Engkau tak bersedih sedikit pun karena merelakan suami menjemput syahid, kemuliaan yang dirindukan mukmin sedunia, masya Allah…
Bahkan ketika engkau yaa ukhti, hamil di usia amat muda, dengan
kelahiran kembar empat atau lima, dengan jundi-jundi tak memiliki figur
ayah, ternyata mereka menjadi anak-anak penyejuk mata, menghiasi dunia
sebagai cahaya keluarga, menyempurnakan hafalan quran dengan giat
berlatih fisik, dan membuatmu tersenyum menatap jerih payah mereka. Lalu
cahya-cahya pewaris menyebabkanmu sukses sebagai ibu, engkau antar
mereka ke medan jihad dengan mantap.
Ya Allah, padahal menu makan sehari-hari tak sekomplet kami, padahal
daerah tempat tinggalmu dibombardir senjata penjajah keji.
Astaghfirrulloh… Sementara aku? Punya amanah satu-dua saja sudah
kerepotan, ketika suami dinas seminggu saja sudah menangis seperti
tepercik potongan bawang bombai, ketika anak-anakku berkreatifitas tak
habis-habis—aku sudah merasa kepayahan, seolah kemalangan besar menimpa
diri ‘hanya karena tertusuk setitik duri’.
Engkau buat adonan roti gandum tanpa mengenal lelah, yaa ukhti…
Anak-anak Palestine tetap tumbuh berkembang dengan sehat, kuat fisik
mental, teguh berprinsip dan lembut hatinya. Bantal guling disana adalah
batu-batu kecil yang keras, sementara bantal kami disini amat empuk,
namun hati kami sangat keras, astaghfirrulloh!
Engkau mendidik diri dan generasi, pondasi iman kian teguh, Islam
kian dibanggakan, lafadz dzikrulloh menjadi penghias hari. Engkau
mungkin tertawa melihatku dan ukhti muslimah di negeri kami, malah sibuk
mendengar music favorit, mencari beberapa pembantu di rumah supaya
‘bisa selonjoran’, belajar memakai hijab modis dengan ragam hiasan dan
kian bersikap tabarruj, faghfirlana… bahkan kalau ‘duit shopping’
kurang, tinggal minta tambah dengan ayah, abang, atau suami.
Aku malu padamu, Ukhti… Bahkan ketika engkau sahur dan berbuka dengan
secuil-secuil kurma dan air putih yang kalian bagi dengan penghematan
luar biasa, sementara aku disini masih mengenyangkan perut dengan
berpiring hidangan, menikmati pizza, burger, dan ragam minuman favorit
lainnya. Aku malu, sungguh malu padamu, yaa ukhti… Ketika engkau
menanyakan, “Siapa lagi yang Engkau izinkan syahid hari ini, Yaa
Robbi?!” dalam untaian doa, sementara aku komat-kamit memohon, “Semoga
ada waktu belanja baju buat hari raya, dan bisa berlibur ke luar kota…”
Faghfirlana. Subhanalloh, maafkan atas ketidak-pedulianku, yaa ukhti…
Aku malu padamu, ukhti… Tatkala kalimat laa ilaha ilalloh senantiasa
engkau teguhkan hingga nafas penghabisan, senyummu merekah meski tubuh
berdarah-darah, semangatmu tetap hadir meski peluru-peluru bersemayam
dalam raga, perjuanganmu kian kokoh meski obat-obatan telah habis
stoknya, pengorbananmu tiada berhenti meski hanya sekejap mata, sungguh
malu diri ini yaa ukhti! Maafkan aku, yaa ukhti…
Aku malu, betapa cengengnya diri ini! Aku malu karena engkau terus
berkorban buatku juga, karena engkau bahkan sempat mendoakanku, padahal
saudara-saudarimu ini tak peduli padamu. Atau sering kami seolah peduli,
cuap-cuap di internet, padahal tak ada aksi nyata demi menolongmu.
Sungguh aku malu, yaa ukhti…
Kini, aku kian malu pada Robb kita, Sang pelindung dan pemelihara semesta, karena dialog kita waktu itu amat menusuk nuraniku.
Ukhti Gaza : “Doakan yang terbaik, yaa sister…”
Aku : “Sungguh aku berdoa semoga segalanya yang terbaik, engkau
selamat beserta keluargamu… Aku sangat mengkhawatirkanmu, yaa sister…”
Ukhti Gaza : “Allah Maha Pemberi Keselamatan. Doakanlah agar kami
memperoleh kemuliaan mati syahid, hanya dua pilihan : hidup mulia tanpa
dijajah oleh taghut durjana, atau menjemput syahid dengan pasti… Sungguh
malah aku mengkhawatirkanmu, sister…”
Aku : “Kenapa, yaa habibati..?”
Ukhti Gaza : “Sebab engkau berada dalam taburan kesenangan duniawi.
Negerimu damai, teman-teman dan tetangga hidup tentram. Busana, harta
benda, makanan, minuman, tersedia dengan lengkap. Istana dan rumah-rumah
kalian dihiasi dengan cantik, transportasi amat lancar, hiburan begitu
mudah didapat. Acara-acara televisi dan film-film menggerogoti hafalan
quranmu. Pergaulan tanpa batasan meminimkan pakaianmu, akses internet
amat mudah dengan pengaruh western menggoyahkan keteguhan prinsipmu,
hingga engkau dapat menganggap dosa besar sebagai hal sepele, hingga
akhlak karimah dapat engkau abaikan, hingga aturan islam menjadi asing
di negerimu…. Sangat mengkhawatirkan, dear….”
Aku amat malu, Yaa Allah… sungguh malu padamu, yaa ukhti… Untuk
menyantap sepotong roti, engkau menjalani perjuangan panjang dengan
ranjau-ranjau yang disiapkan zionis laknatulloh di sekitarmu. Sedangkan
aku bisa pesan via telepon dan roti tersedia kapan pun saat ku inginkan.
Pakaianmu tetap sederhana, yang itu-itu saja… Donasi sandang dan pangan
masuk ke areamu dengan pengorbanan banyak nyawa mujahid di
lorong-lorong persembunyian. Sedangkan aku bisa nge-mall beli baju kapan
pun juga. Faghfirlii, Ampuni hamba, Yaa Allah…
Aku malu padamu, Ukhti…. Dan aku lebih malu lagi jika masih belum
berubah dan memperbaiki diri! Aku malu jika ramadhan ini terlewati
dengan sia-sia, padahal engkau telah diutusnya buatku, untuk
mengajarkanku agar lebih bersyukur, untuk melembutkan hatiku, untuk
menampar keterlenaanku. Aku malu menyaksikanmu mengulang-ulang hafalan
quran seraya menemani jundimu yang sedang koma, dan jundimu berbisik
menyamakan bacaan bersamamu… sementara aku masih terengah-engah
mengajarkan alif-ba-ta kepada anak-anakku.
Semoga rasa malu ini adalah cambukan motivasi buat jiwa hamba yang
berlumur dosa, semoga Allah ta’ala ridho dan memberkahi persahabatan
kita. Kalaulah kita tak dapat bersua di dunia dengan penjajahan yang
masih mengangkangi al-aqsho, aku berharap semoga kita dapat bertemu di
kampung akhirat nan abadi kelak. Uhibbuk fillah yaa ukhti… Sholawat dan
salam tercurah bagi baginda kita, Yaa Rasoolullah Sallallahu Alaihi
Wasallam, serta para sahabat, para thabi’in, semoga Allah berkenan
menyelamatkan kaum muslimin nan istiqomah hingga hari kiamat, aamiin…
Allahumma A’izzatal Islam wal Muslimin,
wa Adzillassyirka wal Musyrikin… Allahummansur ikhwanana mujahidina fi kulli makaan wa fi kulli zaman… aamiin, wallohu a’lam.
(@bidadari_azzam, Selamat berjuang! KL, 13 Ramadhan 1435h)
[Sumber: islampos]
0 Komentar:
Posting Komentar
Kehormatan buat kami jika selesai baca Anda beri komentar atas Artikel ini....tapi, Mohon Maaf kawan Komentarnya yang sopan ya....he..he..he..