Oleh: Akmal Sjafril
Bermula dari tauhid, masyarakat Arab yang tadinya jahil
dibimbing menuju pencerahan. Jika dulunya mereka melakukan penyembahan
yang keliru – menyembah berhala dengan harapan mereka akan jadi
perantara antara dirinya dengan Tuhan – maka kini diarahkan untuk
berhubungan langsung dengan Allah SWT. Jika dulu sebagian di antara
mereka membunuh anak-anak perempuan dan menolak memeluk-mencium
anak-anak mereka, maka kini mereka diajarkan untuk mengikuti fitrah
sejatinya sebagai makhluk Allah yang pandai berkasih sayang.
Tidak berhenti sampai di situ, kaum jahiliyyah pun diseru untuk meninggalkan segala sesuatu yang tidak bermanfaat. Tidak perlu lagi percaya ramalan, karena ikhtiar dan tawakkal itu jauh lebih produktif. Jangan lagi mengkonsumsi khamr,
karena ia merusak akal. Jangan sampai menghabiskan hari dengan
duduk-duduk di pasar, karena kelelahan mencari nafkah itu teramat mulia
di sisi Allah.
Jika ‘aqidah telah diluruskan, maka orientasi hidup pun akan
terlihat dengan jelas. Lenyaplah keinginan untuk habiskan umur dengan
bermain-main, karena ajal selalu mengintai, bahkan kiamat pun terasa
begitu dekat. Sadar atau tidak, bangsa ini telah menjelma menjadi
kekuatan yang begitu efektif dan efisien dalam menjalankan semua
tugasnya.
Di masa-masa awal perjuangan dakwah di Madinah, keefektifan jama’ah
terlihat dari kemampuannya mengalahkan musuh yang jumlahnya jauh lebih
besar di medan jihad. Tidak usah heran jika seorang prajurit
Muslim mampu mengatasi tiga atau lima musuh sekaligus, sebab yang
seorang itu tidak pernah mabuk, perutnya tidak pernah kekenyangan,
pikirannya tidak pernah melamun, dan pandangannya tertuju pada tempat
yang sangat jauh melampaui jarak pedangnya dengan leher musuhnya. Mereka
berangkat ke medan jihad dengan membawa dua opsi, dan hanya dua opsi itu saja: pulang sebagai pemenang atau pergi sebagai syuhada. Sesungguhnya, kemenangan pasukan yang seefektif dan seefisien ini sama sekali tidak mengherankan, bahkan wajar belaka.
Sepeninggal Rasulullah saw, masyarakat Arab bukan lagi bangsa jahil yang dulu. Mereka sudah tidak punya lagi kebiasaan-kebiasaan yang merusak efisiensi hidup. Tidak ada lagi khamr,
tidak ada lagi mengundi nasib, tidak ada lagi pelacuran, tidak ada lagi
perang antar kabilah. Sementara itu, kekuasaan Islam terus berkembang
ke segala penjuru, mencapai Persia dan wilayah kekaisaran Romawi
sekaligus.
Bertemu dengan peradaban-peradaban lain, masyarakat Muslim yang serba
efektif dan efisien ini tidak canggung. Segala warisan intelektual
mereka lahap, lebih lahap daripada para pewarisnya sendiri. Karya-karya
kaum cendekiawan Yunani kuno, yang telah ratusan tahun terbengkalai
tanpa dikembangkan oleh masyarakat Eropa penerusnya, malah menjadi bahan
diskusi yang menarik bagi kaum cendekiawan Muslim. Tentu saja, pada
saat itu, masyarakat Muslim tidak lagi memiliki sikap inferior. Dari
peradaban-peradaban yang ditemuinya, mereka mengambil segala hal yang
baik dan meninggalkan yang tidak bermanfaat. Sudah lama mereka
meninggalkan hal-hal yang tidak bermanfaat.
Pada abad ke-9 Masehi, para pedagang Muslim telah mencapai Cina dan
menemukan industri kertas. Dengan segera, berdiri pabrik kertas di
Baghdad, kemudian menyebar ke Suriah, sampai akhirnya mencapai Spanyol
kurang lebih seabad sesudahnya. Para ilmuwan Muslim lainnya sudah
membahas masalah-masalah astronomi dan menggunakan perangkat seperti
astrolab (astrolabe) untuk mencatat kedudukan bintang-bintang.
Pada abad yang sama, Khalifah Harun al-Rasyid menghadiahi Charlemagne
sebuah jam. Di Baghdad, berdiri perpustakaan dan akademi Bait al-Hikmah.
Muhammad ibn Musa al-Khwarizmi menulis buku tentang aljabar,
sedangkan Khalifah al-Ma’mun mendirikan sebuah observatorium untuk
mengamati pergerakan bintang dan planet-planet; observatorium itu
digawangi oleh banyak astronom handal pada masanya. al-Kindi
menghasilkan karya-karya seputar astronomi, geometri dan optik,
sedangkan al-Razi mengembangkan ilmu kimia, fisika dan mineralogi.
Pada abad ke-10, kertas telah mencapai Spanyol, dan seluruh dunia
Islam telah menggantikan media penulisan lain dengannya. Perkembangan
ini memicu terjadinya ‘ledakan’ dalam jumlah penerbitan buku, karena
kertas jauh lebih mudah ditulis dan diproduksi ketimbang media lainnya.
Pada abad inilah lahir seorang ilmuwan yang mungkin merupakan ilmuwan
Muslim terbesar yang pernah ada, yaitu al-Biruni. Al-Biruni menguasai
dengan baik ilmu geometri, astronomi, geodesi (perpetaan), mineralogi,
dan juga dikenal sebagai ahli agama yang terlibat dalam perdebatan
panjang bersama Ibnu Sina. Salah satu karya monumental al-Biruni adalah
karya ensiklopedik yang merekam segala sisi kehidupan masyarakat India.
Karya ini masih dijadikan acuan hingga ratusan tahun sesudahnya, dan
menjadi referensi utama ketika Inggris menginjakkan kakinya untuk
pertama kali di India. Di Mesir, berdirilah Universitas Al-Azhar, yang
masih terus melahirkan sarjana-sarjana Muslim besar hingga kini.
Abad ke-11 menandai dominasi ilmuwan Muslim seperti Ibnu Sina, Ibn
al-Haytham dan al-Biruni dalam dunia sains. Sistem angka desimal
diperkenalkan di Spanyol, dan al-Zarqali mengemukakan teorinya bahwa
orbit planet-planet di tata surya berbentuk elips; teori al-Zarqali,
pada kenyataannya, mendahului klaim Kepler berabad-abad lamanya.
Pada abad ke-13, barulah peradaban Islam mengalami guncangan besar
dengan keruntuhan Baghdad di tangan para prajurit Mongol pada tahun
1285. Tiga pusat sains Islam pun jatuh, yaitu Kordoba (1236), Valencia
(1238) dan Seville (1248). Peristiwa-peristiwa ini menandai awal dari
antiklimaks peradaban Islam.
Belajar dari Sejarah
Jika sejarah gemilang peradaban Islam selama beberapa abad lamanya
tidak bisa kita temukan dalam sebagian besar buku sejarah, itu karena
sejarah memang ditulis oleh para ‘pemenang sementara’. Pada saat ini,
kekuatan adidaya dipegang oleh Barat, dan karenanya, yang menulis
sejarah pun adalah Barat. Maka, jangan harap buku-buku sejarah akan
menulis nama al-Zarqali sebagai pengganti Kepler, atau al-Biruni sebagai
pengganti Copernicus.
Sejarah terus berputar. Peradaban Muslim yang pernah mencapai klimaks
ternyata meluncur – atau jatuh bebas – menuju antiklimaksnya. Dulu,
peradaban Islam membawakan cahaya penerang pada peradaban Eropa yang
berada dalam kegelapan, sehingga mereka mengenal kertas dan sistem
desimal. Akan tetapi, pada akhirnya, pusat-pusat pencerahan itu direbut
musuh berikut segala kejayaan di dalamnya.
Jika ilmu adalah alasan dari kegemilangan peradaban Islam di masa
lampau, maka ilmu pula alasan dari keterpurukan peradaban Islam kini.
Sementara generasi terdahulu diangkat dari kubangan kejahilan dengan
ajaran tauhid yang menuntun mereka untuk meninggalkan segala
hal yang berlebihan dan tak bermanfaat, maka generasi sesudahnya
terpuruk lantaran kembali pada hal-hal yang tak bermanfaat itu.
Tiba-tiba saja, masyarakat Muslim rajin mendatangi kuburan
orang-orang saleh dan berlama-lama berdoa di sana dengan harapan sang
penghuni kubur bisa membantu agar doanya dikabulkan. Sudah caranya
salah, tujuannya pun ternyata kerdil; bukannya mencari ilmu yang
bermanfaat, malah minta kekayaan dunia. Tidakkah mereka tahu bahwa ilmu
akan menjaga pemiliknya, sedangkan harta harus dijaga oleh pemiliknya?
Orang berilmu takkan khawatirkan harta, karena harta akan mendatanginya.
Sebaliknya, tanpa ilmu, orang akan selalu dihantui kemiskinan.
Macam-macam saja perilaku tidak efektif umat Muslim ‘generasi
antiklimaks’. Ada yang mengolah makanan yang lezat-lezat, hanya untuk
dibuang ke laut. Membaca wirid sampai ribuan kali agar rejeki
dilancarkan, sayangnya kinerjanya di tempat kerja tidak bertambah baik.
Padahal, yang membuat rejeki lancar adalah cara kerjanya, bukan jumlah
wiridnya. Apalagi kalau niat wiridnya keliru.
Berbondong-bondong pabrik rokok didirikan dengan modal dari luar
negeri. Orang asing sudah bosan dan jijik dengan rokok, tapi modalnya
digunakan untuk memproduksi rokok dari tembakau Indonesia dan dijual di
Indonesia pula. Di Indonesia, jangankan bapak-bapak, anak kecil pengamen
jalanan pun banyak yang sudah merokok. Uang yang dikeluarkan untuk
rokok malah lebih besar daripada biaya makannya tiga kali sehari. Orang
pun bersilat lidah dengan mengatakan bahwa devisa yang dihasilkan oleh
rokok sangat besar, tanpa menjelaskan secara terperinci berapa jumlah
kerugian yang diakibatkan oleh rokok, mulai dari batuk-batuk sampai
kanker paru-paru dan biaya pemakamannya sekaligus.
Sekarang, semua orang sudah tahu keburukan rokok. Tapi bagaimana
harus meninggalkannya? Ada saja yang memprovokasi masyarakat ekonomi
lemah dengan mengatakan bahwa industri rokok adalah penyebab mereka
mampu makan selama ini. Inilah generasi lemah akal dan lemah iman, yang
mudah saja didikte oleh uang yang tak seberapa. Andai mereka banyak
ilmu, tentu tak perlu tergantung pada industri rokok yang merusak
negeri. Jangan bandingkan dengan generasi sahabat Rasulullah saw yang
langsung membanting botol-botol minuman yang tidak lain adalah barang
dagangannya ketika mendengar bahwa khamr telah diharamkan
secara mutlak. Generasi banyak akal tidak pernah takut miskin. Tanyakan
saja pada ‘Abdurrahman bin ‘Auf ra yang seorang saudagar di Mekkah,
kemudian hijrah ke Madinah dengan meninggalkan harta bendanya.
Sesampainya di Madinah, ia tidak minta sedekah, melainkan hanya minta
diberi petunjuk arah menuju pasar.
Pekerjaan Rumah Para Da’i
Bangsa Arab pernah terpuruk, kemudian Islam datang dan membawanya
pada kejayaan. Peradaban Islam pun sempat bersinar cemerlang, sebelum
akhirnya terpuruk ke dasar lembah kenistaan. Satu hal yang dapat kita
pelajari dari pengalaman masa lampau, yaitu bahwa Islam dapat berjaya,
asalkan syarat-syarat kejayaan itu dipenuhi. Dengan berbekal informasi
dari al-Qur’an dan as-Sunnah, kita pun meyakini bahwa akhir jaman akan
diwarnai dengan kemenangan Islam. Maka, tugas para da’i sejatinya adalah mengawal umat dalam perjalanannya menuju kejayaan yang kedua itu.
Jika dahulu umat manusia menjadi jahil karena gaya hidup dan
prioritasnya yang keliru, sedangkan generasi sesudahnya mencatat
prestasi gemilang lantaran kecintaannya pada ilmu (dan kebenciannya pada
hal-hal yang tak bermanfaat), maka sebenarnya syarat-syarat kemenangan
itu sendiri sudah tampak dan dapat dengan mudah kita identifikasi.
Langkah selanjutnya adalah menyusun program konkret untuk mewujudkannya.
Menjadi kekuatan dominan di dunia tanpa kekuatan ilmu adalah utopia
belaka. Di Indonesia, anak sekolah pun banyak yang memiliki Blackberry
(BB). Anehnya, banyak sekali pemilik BB yang percaya ketika beredar broadcast message
tentang tikungan delapan puluh derajat di Tol Cipularang yang kerap
memakan korban jiwa. Apa mereka tidak bisa membayangkan tikungan delapan
puluh derajat itu setajam apa? Di awal 2000-an, beredar informasi di
milis-milis bahwa pada tanggal tertentu Planet Mars akan terlihat
sebesar Bulan. Begitu banyak informasi yang bisa didapatkan di internet,
namun pada kenyataannya para pengguna internet di negeri ini masih
mudah saja dipengaruhi oleh berita-berita bohong yang disebarluaskan
oleh pihak-pihak yang kurang kerjaan. Itulah cerminan tingkat intelektualitas umat ini.
Selalu ada saja ulama pembimbing umat yang menunjukkan jejak-jejak
menuju kejayaan itu. Sayyid Quthb dan Buya Hamka, misalnya, adalah
contoh seorang intelek sejati. Dijebloskan ke penjara tidak membuat
aktivitas intelektualnya melemah, apalagi melempem. Dari balik jeruji
penjara, lahirlah kitab Fii Zhilaalil Qur’aan yang monumental. Di penjara pulalah Buya Hamka menyelesaikan Tafsir Al-Azhar, di samping terus menyibukkan dirinya dengan bermunajat setiap hari, membaca kitab-kitab penting, bahkan beliau khatam al-Qur’an lebih dari 100 kali selama kurun waktu dua tahun di tahanan. Tidak ada alasan untuk tidak produktif.
Jika dahulu umat Muslim mengajari bangsa Eropa caranya menumbuhkan
tradisi baca-tulis, maka kini banyak Muslim di seluruh penjuru dunia
yang masih saja buta huruf. Padahal, buku adalah teman duduk yang
terbaik dan jendela dunia. Bagaimana kita akan memenangkan pertarungan –
apalagi ghazwul fikri – jika tidak bermodalkan ilmu yang cukup?
Simaklah kewajiban keempat belas yang ditetapkan oleh Hasan al-Banna kepada para pemuda Al-Ikhwan Al-Muslimun yang telah ber-bai’at kepadanya, sekiranya seruan ini pantas untuk kita gunakan sebagai cermin:
“Hendaklah engkau pandai membaca dan menulis, memperbanyak
menelaah risalah Ikhwan, surat kabar, majalah dan tulisan lainnya.
Hendaklah engkau membangun perpustakaan khusus, seberapa pun ukurannya;
konsentrasi terhadap spesifikasi keilmuan dan keahlianmu jika engkau
seorang spesialis; menguasai persoalan Islam secara umum, penguasaan
yang membuatnya dapat membangun persepsi yang baik untuk menjadi
referensi bagi pemahaman terhadap tuntutan fikrah.”
Sudahkah para aktivis dakwah menyiapkan bekal intelektualnya?
Sudahkah ia terbiasa mengkaji media-media massa dan membedah buku-buku?
Berapa banyak buku yang tersimpan di perpustakaan pribadinya? Berapa
besar budget yang disediakannya untuk buku, kursus, seminar dan
semacamnya? Sudahkah ia melengkapi dirinya dengan ilmu yang mendalam
demi menjawab tuntutan-tuntutan dakwah yang begitu kompleks?
0 Komentar:
Posting Komentar
Kehormatan buat kami jika selesai baca Anda beri komentar atas Artikel ini....tapi, Mohon Maaf kawan Komentarnya yang sopan ya....he..he..he..