Secara garis besar tarbiyah terbagi menjadi dua: tarbiyah ijtima’iyah dan tarbiyah dzatiyah. Tarbiyah ijtima’iyah bertujuan untuk membina silaturahim dan soliditas berjama’ah, sedangkan tarbiyah dzatiyah bermaksud untuk semakin mendekatkan masing-masing kader dakwah kepada Allah Swt melalui ibadah-ibadah ritual yang disyariatkan.
Rasulullah Saw telah memberi contoh amat baik dalam hal tarbiyah dzatiyah
ini. Beliau adalah sosok yang amat istiqamah dalam mendawamkan ibadah
ritual kepada Allah Swt. Meski terjamin baginya surga, sosoknya
senantiasa melakukan shalat Tahajjud hingga kakinya bengkak.
Selepas Fathu Makkah, ketika
dakwah telah melembaga dalam bentuk negara, kualitas dan kuantitas
ibadah beliau bukan menurun, justru semakin menanjak dengan kualitas
terbaik. Lepas itu, beliau semakin intens dalam mendekatkan diri kepada
Rabbnya.
Sosok-sosok sahabat beliau juga
melakukan hal serupa. Abu Bakar ash-Shidiq, ‘Umar bin Khaththab, ‘Utsman
bin ‘Affan dan ‘Ali bin Thalib adalah contoh lainnya. Mereka semakin
intens dalam mendekatkan diri kepada Allah Swt setelah dilantik menjadi
pemimpin kaum muslimin sepeninggal Rasulullah yang mulia.
Tentang hal ini, Imam Hasan al-Banna
menyampaikan kepada kita, “Maka seseorang tidak diperkenankan
meninggalkan kewajiban-kewajiban individu (ibadah) dengan alasan sibuk
melaksanakan kewajiban sosial.” Bukankah ini sindiran bagi sebagian
diantara kita? Ada banyak al-akh yang melupakan atau mengendorkan
intensitas ibadah kepada Allah Swt melalui ibadah ritual dengan alsan
sibuk syuro, baksos, gerakan silaturahim dan sebagainya.
Sebaliknya, “Seseorang tidak dibenarkan
meninggalkan kewajiban-kewajiban sosial dengan alasan sibuk melaksanakan
kewajiban individu, sibuk beribadah dan berhubungan kepada Allah Swt.”
Nampaknya, beliau amat piawai dalam membaca realitas bersebab ketajaman
pikirnya dalam memahami sirah nabawiyah. Pasalnya, di zaman kita ini,
gejala seperti ini mulai marak dan bertambah banyak jumlahnya.
Ada al-akh yang mengaku tak sempat
bersilaturahim karena sibuk dengan ibadah ritualnya. Parahnya, ada pula
kasus al-akh yang sampai-sampai, melupakan mencari nafkah untuk keluarga
dengan alasan sibuk munajat kepada Yang Mahakuasa.
Maka dalam tahap inilah, masing-masing
kader dan pimpinan dakwah harus semakin berbenah terkait aktivitas
ibadah ritual ini. Caranya dengan kembali menekuni al-Qur’an dan sunnah
Rasulullah Saw, lalu melihat bagaimana manhaj dakwah memberi petunjuk
tentang keduanya.
Misalnya tentang dzikir tiawah
al-Qur’an. Dalam manhaj dakwah, minimal seorang kader harus rutin
melakukan tilawah sebanyak satu juz saban hari. Hal lain yang tak boleh
luput adalah keistiqamahan dalam melakukan shalat berjama’ah di masjid,
shalat Tahajjud, shalat Dhuha, menadabburi kalam-kalam Allah Swt dan
sebagainya.
Hendaknya dipahami betul, bahwa
ibadah-ibadah ritual ini ibarat tangga yang bisa semakin mendekatkan
seorang hamba kepada penciptanya. Dan, inilah salah satu tiket yang kudu
dimiliki guna menyongsong kemenangan dakwah d jalan-Nya.
Maka, saat dakwah belum berjaya, bisa
jadi karena kualitas ibadah kader dan pimpinan dakwah yang masih
compang-camping dan robek di sana-sini.
0 Komentar:
Posting Komentar
Kehormatan buat kami jika selesai baca Anda beri komentar atas Artikel ini....tapi, Mohon Maaf kawan Komentarnya yang sopan ya....he..he..he..