Syaikh Muhammad Sa’id Ramadhan Al Buthi dilahirkan di kampong Gelika
pulau Buthan wilayah Kurdistan, Turki tahun 1929, 5 tahun setelah
khilafah Utsmani dibubarkan oleh Attaruk. Ayahnya bernama Syaikh Mala
Ramadhan Al Buthi, seorang alim, takwa, dan memiliki keluasan ilmu.
Hanya 4 tahun Al Buthi tinggal di kampong kelahirannya. Hingga tahun
1933 ia hijrah dibawa ayahnya ke Suriah, akibat maraknya tindakan
pembersihan ulama-ulama Islam oleh Attaturk. Keluarga Al Buthi menetap
di kampong ‘Ain Dewar, dekat perbatasan Turki-Suriah. Akhirnya, kampung
inilah yang ditulis di akte lahir Al Buthi dan adik-adiknya.
Al Buthi mengenyam pendidikan hingga Doktor di Al Azhar. Lulus dari
Sekolah Agama Islam kesohor Ma’had At Taujih Al Islami di Damaskus yang
dipimpin oleh Syaikh Hasan Habannakah Al Maidani. Kemudian melanjutkan
kuliah di Fakultas Syariah Universitas Al Azhar tahun 1953 dan berhasil
meraih gelar ‘Alamiyah (Syaikh) tahun 1955.
Setelah itu kembali ke kota Homs tahun 1958 dan menetap hingga 1961,
menjadi guru di beberapa Sekolah Islam, hingga ditunjuk menjadi dosen
pembantu di Fakultas Syariah Universitas Damaskus. Kemudian Al Buthi
dikirim untuk mengambil program Doktor dan meraihnya tahun 1965. Tak
lama kemudian ia ditunjuk menjadi dosen penuh di fakultas Syariah,
hingga menjadi Dekan.
Al Buthi memiliki banyak karya ilmiah. Buku-bukunya telah
diterjemahkan ke dalam banyak bahasa. Termasuk bahasa Indonesia. Salah
satunya yang masyhur: Sirah Nabawiyah.
Al Buthi dan Hafizh Al Assad
Sepulangnya dari menimba ilmu di Al Azhar, Syaikh Al Buthi bekerja
menjadi guru PNS di sekolah-sekolah milik pemerintah. Setelah itu
diangkat menjadi dosen resmi di Universitas Damaskus.
Ketika Hafizh Al Assad berkuasa tahun 1970, artinya jarak antara Al
Buthi lulus dari Al Azhar dan Hafizh Al Assad berkuasa sekitar 16 tahun.
Hubungan Al Assad dengan Al Buthi tentu belum terjalin. Al Buthi
seorang dosen, sedangkan Al Assad menjadi Presiden Suriah.
Hingga pada tanggal 16 Juni 1979, terjadi peristiwa “pembantaian
Sekolah Altileri Darat di Aleppo (300 km dari Damaskus)”. Sekolah
militer tersebut terletak di wilayah Romusa dekat kota Aleppo sebelah
utara Suriah. Pembantaian dilakukan oleh Kapten Ibrahim Yusuf, perwira
di bagian Bintal sekolah Altileri dibantu oleh Front Tempur jamaah
Ikhwanul Muslimin, sebagai aksi pembalasan atas tindakan represif rezim
yang salah satu komandannya adalah Hafizh Al Assad. Peristiwa tersebut
menewaskan 32 Taruna dan 54 luka-luka.
Usai peristiwa tersebut, kementrian Informasi meminta Syaikh Muhammad
Ramadhan Al Buthi untuk mengeluarkan fatwa syariah tentang pembantaian.
Al Buthi meresponsnya dengan mengungkapkan dalil-dalil syariat yang
mengharamkan aksi pembantaian.
Tak lama berselang, kesempatan Al Buthi menuju jalan istana terbuka.
Tak disangka, setelah tampil di media hubungan Al Buthi dengan Hafizh Al
Assad terbuka. Hingga pada tahuna 1982, Kementrian Wakaf Suriah
(Kemenag) yang diwakili menterinya bernama Muhammad Al Khathib
mengundang Al Buthi untuk menjadi pembicara tunggal dalam acara Festival
Menyambut Abad 15 H. Acara tersebut dihadiri oleh Presiden Hafizh Al
Assad. Al Buthi memanfaatkannya untuk menyampaikan nasihat dan doa bagi
Hafizh Al Assad.
Hubungan Al Buthi dengan Al Assad semakin intens. Bahkan Al Assad
suka mengajak Al Buthi ke istana, berdialog hingga berjam-jam (6-7 jam),
membicarakan banyak hal. Saya sempat menjadi saksi sejarah, saat 1998
berkunjung ke Suriah menyaksikan Islamic Book Fair di Damaskus
ke-14, Al Buthi benar-benar dicintai rakyat dan penguasa. Tentu ada juga
yang mengkritisi sikap Al Buthi, salah satunya Syaikh Usamah As Sayyid
yang menulis buku bantahan terhadap pemikiran Al Buthi berjudul, “Ar
Raddu Al ‘Ilmi ‘Alal Buthi”.
Mengapa Al Buthi Bersikap Manis dengan Rezim Al Assad?
Banyak tuduhan yang terlontar terhadap ‘Allamah Al Buthi. Salah satunya yang menuduh beliau sebagai mucikari, muftin
(penebar fitnah), hingga pengawal setia rezim Al Assad. Bagi kita yang
hidup jauh dan tidak mengalami –atau malah mencermati prahara dan
tekanan politik di era 60an hingga 80-an, maka pasti akan berkesimpulan
seperti di atas. Namun jika kita mau sedikit bijak, maka sikap Al Buthi
itu sangat sah dan dibenarkan syariat.
Di antara landasan Al Buthi membuka dialog dengan Rezim Al Assad adalah:
1. Hubungan gerakan Islam yang dimotori oleh Ikhwanul Muslimin di
pelbagai Negara Arab, tengah berada di titik nadir. Tindakan represif
rezim-rezim dunia Arab, dari mulai Maroko hingga Teluk, Mesir hingga
Syam tengah marak. Bahkan terbukti, tindakan Hafizh Al Assad yang
membumihanguskan provinsi Homs dan membunuh seluruh penduduknya yang
mendukung gerakan IM, tercatat sejarah sebagai hubungan kelam antara
penguasa dan jamaah IM.
2. Al Buthi memandang, rezim Al Assad dari ayah hingga anaknya Basyar
Al Assad, sangat kuat dipengaruhi sekte Syi’ah Rafidhah yang cenderung
membumihanguskan Muslim Sunni, seperti yang terjadi di Iran-Iraq. Perlu
diperhatikan, Hafizh Al Assad naik tahta seiring dengan maraknya
revolusi Khumaini yang puncaknya terjadi tahun 1979. Al Buthi memiliki
komitmen, untuk menyelamatkan entitas Muslim Sunni di Suriah.
3. Tindakan represif Al Assad bukan hanya pada gerakan perlawanan
secara fisik, namun juga mengarah pada non fisik. Di era Hafizh Al
Assad, pengajian-majlis taklim-dan perkumpulan di atas 3 orang bukan
hanya tidak diizinkan, tapi akan dijebloskan ke penjara tanpa
pengadilan. Jika pun ada, yang berlaku adalah pengadilan militer. Hingga
banyak gerakan-gerakan Islam yang memilih jalan dakwah dengan gerakan
Sufi, yang berkumpul di masjid dan berdzikir ratusan ribu kali sembari
berjingkrak-jingkrak. Saya pernah mengalami itu di salah satu masjid di
Manbej, salah satu kabupaten di wilayah Aleppo. Jelas, selain majlis
taklim dilarang, maka penerbitan buku-buku Islam dibatasi.
Hasil Nasihat Al Buthi
Usaha Al Buthi untuk menasihati penguasa berbuah di tataran nyata.
Tentu dengan pengorbanan tak sedikit, salah satunya, Al Buthi dituduh
tutup mata dengan tindakan Al Assad. Di antara hasilnya adalah:
1. Al Buthi pernah diundang selama 7 jam, berdialog dengan Hafizh Al
Assad. Al Buthi lebih banyak menyimak curhatan Al Assad, hingga akhirnya
Al Buthi menyarankan Hafizh Al Assad untuk membebaskan tokoh-tokoh dan
tawanan politik dari Jamaah Ikhwanul Muslimin. Rentang beberapa minggu
kemudian, para tapol IM dibebaskan.
2. Saya memprediksi, kesediaan Al Assad untuk membuka Suriah bagi
para pengungsi Palestina setelah peristiwa Pembantaian Shabra dan
Syatila terjadi pada September 1982, di Beirut, Lebanon, yang saat itu
diduduki oleh Israel adalah hasil dari nasihat yang diberikan oleh Al
Buthi. Bahkan Suriah membuka diri kepada HAMAS untuk membuka
satus-satunya kantor Perwakilan HAMAS. (Saat itu, tidak ada satu pun
negara Arab yang mau menerima HAMAS untuk membuka markas di luar
Palestina – redaksi)
3. Penerbitan buku-buku Islam Sunni termasuk Al Qur’an, sangat
digalakkan. Bahkan saat saya mengunjungi toko-toko buku di Suriah,
penerbit-penerbit Suriah sukses menjadi penerbit-penerbit buku Islam
terkemuka hingga di Mesir. Beberapa penerbit di Mesir, malah justru
dimiliki orang-orang Suriah. Termasuk maraknya majlis-majlis taklim di
Damaskus yang didukung penguasa Al Assad, semisal: Kajian Hadits Bukhari
oleh Syaikh Musthafa Dib Al Bugha, Kajian Fiqh dan Syariah oleh Syaikh
Wahbah Az Zuhaili, Kajian Sirah Nabawiyah oleh Al Buthi, hingga kajian
dan Kuliah Singkat di Mujamma’ Abun Nur Al Islamy yang dipimpin oleh
Syaikh Kaftaro. Dimana kurang lebih ada 25 orang mahasiswa/i Indonesia
yang turut menikmati pendidikan di sekolah-sekolah tersebut.
4. Hafizh Al Assad sebelum wafatnya, mengundang Al Buthi ke
kediamannya. Ia berpesan agar saat wafat, Al Buthi sukahati menjadi
imam. Al Buthi pun menunaikan pesan Al Assad. Hingga peran ini, banyak
yang berpendapat, Hafizh Al Assad telah melunak dari paham Syi’ah
Rafidhah-nya. Dan terbukti, dukungan Suriah terhadap Libanon melawan
Israel semakin menguat.
Al Buthi dan Basyar Al Assad
Hubungan manis Al Buthi dengan rezim Al Assad, berlanjut hingga
kekuasaan Suriah berpindah kepada Basyar Al Assad. Singkat kata, hingga
menjelang demonstrasi yang mengakibatkan revolusi dan perlawanan
senjata, Al Buthi telah menjalankan fungsinya sebagai penasihat utama
rezim Al Assad.
Al Buthi bersama rombongan ulama Sunni, mendatangi Al Assad dan menuntut beberapa hal:
1. Al Assad membuka diri bagi tuntutan reformasi. Hal ini disanggupi
Al Assad dengan melakukan perubahan birokrasi, mengubah menteri di 6
kementrian, dan memecat Perdana Menteri.
2. Al Assad diminta untuk tidak menggunakan tindakan represif. Al
Assad menyanggupi, asalkan demonstrasi anti dirinya dihentikan.
Namun mengapa Al Assad mengajukan sebuah dokumen kepada Al Buthi,
bahwa pihak demonstran telah disusupi anasir-anasir Wahabi yang didukung
oleh Saudi Arabia, yang justru didukung oleh AS-Barat. Di sini kembali
harus bijak dalam bersikap. Dalam benak Al Buthi, kesatuan rakyat Suriah
lebih diutamakan. Maka dalam pelbagai khutbah Jumat, Al Buthi
menyerukan persatuan dan kesatuan itu. Al Buthi ingin memahamkan kepada
semua elemen termasuk jamaah Ikhwanul Muslimin, di awal-awal demonstrasi
untuk menahan diri. Karena demonstrasi dan revolusi sudah ditunggangi.
Tak ada yang mengambil manfaat dari kisruh Suriah, kecuali Israel.
Bahkan di salah satu khutbahnya, Al Buthi mengungkapkan hadits shahih
tentang keharusan taat kepada pemimpin (amir), terlepas pemimpin itu
baik atau jahat, saking pentingnya persatuan dan kesatuan serta
stabilitas.
Hadits-hadits yang disampaikan Al Buthi, adalah hadits-hadits yang
digunakan oleh rezim Al Sa’ud di Saudi Arabia, rezim Al Nihyan di UAE,
atau Al Khalifah di Qatar, dan lain-lain. Sebaiknya kita tengok tanggal
dan waktu kapan Al Buthi menyampaikan khutbah, selain kita pun harus
mendengar khutbah tersebut harus utuh, tidak sepotong-sepotong.
Mengapa Al Buthi Dibunuh?
Peristiwa di Masjid Al Iman, tempat pengajian Al Buthi kemarin
(22/3/13) sangat tidak masuk akal. Hal ini berdasarkan alasan-alasan
berikut:
1. Sejak lama, Al Buthi dikelilingi pengawal dari militer Al Assad.
Kemanapun Al Buthi pergi, maka puluhan pengawal dan intel, memenuhi
setiap langkah Al Buthi. Al Assad frustasi dengan semakin banyaknya
pejabat-pejabat (termasuk Menhan) yang membelot ke pejuang Suriah. Al
Buthi dikhawatirkan membelot. Bahkan saksi mata mengatakan, bahwa masjid
sudah dikepung dari empat penjuru.
2. Melihat TKP, ledakan bom dilakukan jauh dari area masjid.
Sedangkan di masjid, yang terjadi bukan ledakan tapi penembakan dan
pembantaian. Pihak intelejen Al Assad, langsung datang melakukan
pembersihan dan mengangkut seluruh mayat -termasuk korban jamaah yang
terluka- ke tempat yang Al Assad dan intelejen yang mengetahuinya.
3. Dari sejak perjuangan melawan Al Assad digelorakan, Front
Pembebasan Suriah sudah bersepakat tidak menyerang ulama-masjid-tempat
ibadat- bahkan para pejuang memiliki etika untuk tidak melakukan
serangan kecuali setelah pukul 10 malam hari.
Pertanyaannya, mengapa Al Buthi dibunuh? Menarik analisa Samir
Muhsin, seorang pemerhati pergerakan Islam yang mengemukakan
alasan-alasan dibunuh:
1. Al Buthi adalah khaatimus sirri (penutup rahasia), pemegang
kartu truf rezim Al Assad. Karena Al Buthi lama menjadi nasihat Hafizh
Al Assad. Ketika Al Buthi membelot, maka Al Assad khawatir segala aib
dirinya terbongkar. Termasuk membongkar pelbagai kebijakan Al Assad yang
berdamai dengan Israel, risywah, korupsi, dan pembantaian.
2. Al Buthi paham betul tokoh-tokoh yang berbaju ulama, tapi memiliki rencana busuk untuk menghancurkan kaum Sunni di Syam.
3. Al Buthi dijadikan alat oleh Al Assad untuk meraih simpati dari
kalangan Sunni, untuk digunakan sebagai propaganda memecah belah
kesatuan Front Pembebasan Suriah yang semakin hari semakin banyak menuai
sukses.
4. Al Buthi dijadikan “maf’ul bih” dan “maf’ul liajlih” maksudnya:
sinyal bahwa siapapun yang melawan Al Assad akan dibantai, termasuk
orang terdekat sekalipun.
5. Al Assad melempar 2 burung dengan 1 batu. Maksudnya, mengorbankan
Al Buthi agar rakyat Suriah -terutama Sunni- antipati terhadap para
pejuang Front Pembebasan Suriah.
Kesimpulan
Saya yang sempat beberapa kali menghadiri taklim beliau, sangat yakin
akan ketulusan, keikhlasan, dan muruah yang dimiliki Syaikh Al Buthi.
Bahkan saya mendengar, Al Buthi tidak mengambil royalty dari buku-buku
yang diterbitkan. Selain berwasiat untuk menginfakkannya di jalan Allah.
Termasuk buku-buku yang diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia.
Sebagai orang yang dekat dengan kekuasaan, Al Buthi jauh dari kata borju
atau memperkaya diri. Hal ini dilatarbelakangi oleh keadaan beliau
sejak kecil hidup susah.
Adapun sikap beliau yang mendukung penguasa, bagi saya sangat lumrah dan masuk akal:
1. Beliau adalah salah satu saksi sejarah atas tindakan represif
Attaturk di Turki yang membantai para ulama, menghancurkan masjid,
memupus B. Arab. Hingga ia dan seluruh keluarganya memilih berhijrah ke
Suriah. Pengalaman pahit tindakan bengis penguasa ini, tak akan bisa
dihapus. Maka sikap beliau yang memilih loyal kepada pemerintah,
dipahami sebagai “dakwah” untuk menjaga generasi muda Islam dan alim
ulama dari pembantaian rezim Al Assad.
2. Beliau memiliki alasan yang didukung Al Qur’an dan Sunnah tentang
kewajiban taat kepada pemimpin, karena beliau melihat dan merasakan,
hampir tak ada pemimpin Arab yang peduli terhadap Islam selain Raja
Faisal. Seluruh pemimpin Negara Arab adalah pemimpin dictator. Ingat, Al
Buthi hidup di 5 generasi. Mulai generasi Raja Faruq di Mesir hingga
Muursi. Dari generasi Syah Iran-Khumaeni-hingga Ahmadinejad. Beliau
paham betul, kepedihan dari praktik zhalim penguasa terhadap para ulama
dan aktivis gerakan Islam di seluruh negeri Arab. Oleh karena itu,
beliau masuk ke dalam lingkaran kekuasaan dalam rangka menasihati, tidak
lebih.
3. Sebagai alim dan mujtahid, saya meyakini, apa yang beliau lakukan
dengan mendukung rezim penguasa adalah bagian dari ijtihad. Jika salah
mendapatkan 1 pahala, dan jika benar mendapatkan dua pahala. Saya yakin
beliau adalah sosok terbaik. Bila ada kekurangan, saya meyakini
kekurangan atau khilaf adalah hal yang lumrah dari manusia. Namun
kekurangan yang sedikit, tidak boleh membuat kita mencaci maki. Terlebih
yang mencaci maki hanyalah bau kencur yang tak memiliki karya, amal
shalih, hingga pengalaman hidup setinggi beliau.
Wallahu A’lam
Nandang Burhanuddin, Lc
0 Komentar:
Posting Komentar
Kehormatan buat kami jika selesai baca Anda beri komentar atas Artikel ini....tapi, Mohon Maaf kawan Komentarnya yang sopan ya....he..he..he..