“Tidak sepatutnya bagi mukminin itu pergi semuanya (ke medan
perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka
beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan
untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali
kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya.” (Q.S. At-Taubah: 122)
Asbabun Nuzul
Ibnu Abu Hatim mengetengahkan sebuah hadis melalui Ikrimah yang menceritakan, bahwa ketika diturunkan firman-Nya, “Jika kalian tidak berangkat untuk berperang, niscaya Allah menyiksa kalian dengan siksa yang pedih.”
(Q.S. At-Taubah 39). Tersebutlah pada saat itu ada orang-orang yang
tidak berangkat ke medan perang, mereka berada di daerah badui
(pedalaman) karena sibuk mengajarkan agama kepada kaumnya. Maka
orang-orang munafik memberikan komentarnya, “Sungguh masih ada orang-orang yang tertinggal di daerah-daerah pedalaman, maka celakalah orang-orang pedalaman itu.” Kemudian turunlah firman-Nya yang menyatakan, “Tidak sepatutnya bagi orang-orang yang mukmin itu pergi semuanya (ke medan perang).” (Q.S. At-Taubah 122).
Ibnu Abu Hatim mengetengahkan pula hadis lainnya melalui Abdullah bin
Ubaid bin Umair yang menceritakan, bahwa mengingat keinginan kaum
Mukminin yang sangat besar terhadap masalah jihad, disebutkan bahwa bila
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam mengirimkan pasukan perang, maka mereka semuanya berangkat. Dan mereka meninggalkan Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam di Madinah bersama dengan orang-orang yang lemah. Maka turunlah firman Allah surah At-Taubah ayat 122 ini (lihat: Terjemah Asbabun Nuzul, hal. 268)
Penjelasan Ayat
Mengenai ayat ini Asy-Syaikh Thanthawi Jauhari mengatakan: “Sebaiknya
orang-orang mukmin tidak harus selalu pergi semua untuk berperang atau
mencari ilmu, demikian pula tidak harus di rumah (berdiam diri) semua,
karena itu membuat cacat urusan kehidupan. Sebaiknya supaya ada
pembagian tugas di antara mereka, sebagian dari tiap-tiap kelompok
supaya ada yang mendalami agama karena mereka dituntut untuk mengambil
bagian dalam menghasilkan fiqih (pemahaman tentang agama) dengan tujuan
setelah menghasilkan fiqih (pemahaman tentang agama) lalu mengajarkan
kepada kaumnya dan menyebar luaskan agar mereka takut terhadap apa yang
mereka telah ditakut-takuti…” (lihat: Al-Jawahir Fi Tafsiril Qur’anil ‘Adzim, hal. 171)
Hal senada disebutkan pula dalam Al-Qur’anul Karim wa Tafsiruhu
bahwa dalam ayat ini Allah SWT menerangkan, tidak perlu semua orang
Mukmin itu berangkat semua ke medan perang, bila peperangan itu dapat
dilakukan oleh sebagian kaum muslimin saja. Tetapi harus ada pembagian
tugas dalam masyarakat, sebagian berangkat ke medan perang, dan sebagian
lagi bertekun menuntut ilmu dan mendalami ilmu-ilmu agama Islam, supaya
ajaran-ajaran agama itu dapat diajarkan secara merata, dan da’wah dapat
dilakukan dengan cara yang lebih efektif dan bermanfaat serta
kecerdasan umat Islam dapat ditingkatkan.
Sa’id Hawwa dalam Kitab Al-Asasu Fit Tafsir, memberikan
penjelasan serupa tentang ayat ini sebagai berikut : “Sebaiknya sebagian
orang keluar (ke medan perang) dan sebagian tinggal (tidak berangkat
perang) untuk mencari kebaikan dengan mendalami agama, mendengarkan
wahyu yang diturunkan, dan menyeru kepada orang-orang (yang berperang)
ketika mereka kembali (Al-Asasu Fit-Tafsir, Kairo, Dar Al-Salam, 1405 H/1985 M, hlm. 2375).
Pelajaran Bagi Gerakan Islam
Surat At-Taubah ayat 122 ini memberi pelajaran dan arahan yang
berharga bagi gerakan Islam dimana pun mereka berada. Ia menegaskan
tentang pentingnya memperhatikan pembagian tugas di dalam perjuangan dan
berdisiplin dalam melaksanakannya.
Menurut Buya Hamka melalui ayat ini Allah telah menganjurkan
pembagian tugas dan menuntun hendaklah jihad itu dibagi kepada jihad
bersenjata dan jihad memperdalam ilmu pengetahuan dan pengertian tentang
agama.
“Ada pahlawan di medan perang, dengan pedang di tangan dan ada pula
pahlawan di garis belakang merenung kitab. Keduanya penting dan keduanya
isi-mengisi.” Demikian tegas Buya (lihat: Tafsir Al Azhar Juz XI,
Pustaka Panjimas, Jakarta, 1984, hlm. 87.)
Jadi seperti disimpulkan M. Quraish Shihab, tujuan utama ayat ini
adalah menggambarkan bagaimana seharusnya tugas-tugas dibagi sehingga
tidak semua mengerjakan satu jenis pekerjaan saja (lihat: Tafsir Al-Mishbah, V.II, Lentera Hati, Jakarta, 2002, hlm. 750-751).
Maka, tidak sepatutnya gerakan Islam menumpahkan sebagaian besar
potensinya hanya pada satu bidang garapan saja. Meskipun bidang garapan
itu dianggap paling strategis dan menjadi tuntutan utama dalam
mewujudkan kemaslahatan bagi tegaknya agama. Tidak sepatutnya gerakan
Islam menghamburkan tenaganya dalam jihad qitali, jihad iqtishadi, atau jihad siyasi, namun mengabaikan jihad tablighi, jihad ta’limi, atau jihad tarbawi.
Tidak sepatutnya gerakan Islam menggerakkan potensi kader-kadernya
hanya pada satu jenis pekerjaan, kemudian menelantarkan
pekerjaan-pekerjaan lainnya, padahal pekerjaan-pekerjaan yang
ditelantarkan itu sangat menentukan keberhasilan pekerjaan yang sedang
digarap.
Jika gerakan Islam tidak pandai menata pembagian tugas secara
proporsional, dikhawatirkan —meminjam istilah Asy-Syaikh Thanthawi
Jauhari—akan ‘membuat cacat urusan kehidupan’. Gerakan Islam lambat
laun akan melemah, keropos, tumbang, dan bahkan mati. Na’udzubillahi min dzalik…
Sepatutnya gerakan Islam bertindak tawazun (seimbang). Melangkah dengan sabar dan teratur. Sehingga jihad qitali, jihad iqtishadi, atau jihad siyasi dapat berjalan beriringan dengan jihad tablighi, jihad ta’limi, atau jihad tarbawi. Tentu
saja dengan disertai pembagian tugas yang disiplin di antara para kader
gerakan Islam. Dengan begitu, satu bidang garapan tidak akan menjadi
parasit bagi bidang garapan lainnya. Wallahu A’lam…
0 Komentar:
Posting Komentar
Kehormatan buat kami jika selesai baca Anda beri komentar atas Artikel ini....tapi, Mohon Maaf kawan Komentarnya yang sopan ya....he..he..he..