Oleh: Ust. Ahmad Sarwat, Lc.
Sesungguhnya
Nabi Muhammad SAW dan para shahabatnya seumur-umur belum pernah ikut
pemilu, apalagi membangun dan mengurusi partai politik. Realita seperti
ini sudah disepakati oleh semua orang, termasuk para ahli sejarah, ulama
dan juga semua umat Islam.
Dengan
realita seperti ini, sebagian kalangan lalu mengharamkan pemilu dan
mendirikan partai. Alasannya, karena tidak ada contoh dari Nabi Muhammad
SAW, juga tidak pernah dilakukan oleh para shahabat belia yang mulia,
bahkan sampai sekian generasi berikutnya, tidak pernah ada pemilu dan
pendirian partai politik dalam sejarah Islam.
Bahkan
sebagian dari mereka sampai mengeluarkan statemen unik, yaitu bahwa
ikut pemilu dan menjalankan partai merupakan sebuah bid’ah dhalalah, di mana pelakunya pasti akan masuk neraka.
Ditambah
lagi pandangan sebagian mereka bahwa sistem pemilu, partai politik dan
ide demokrasi merupakan hasil pemikiran orang-orang kafir. Sehingga
semakin haram saja hukumnya.
Tentu
saja pendapat seperti ini bukan satu-satunya buah pikiran yang muncul
di kalangan umat. Sebagian lain dari elemen umat ini punya pandangan
berbeda.
Mereka
tidak mempermasalahkan bahwa dahulu Rasulullah SAW dan para shahabat
tidak pernah ikut pemilu dan berpartai. Sebab pemilu dan partai hanyalah
sebuah fenomena zaman tertentu dan bukan esensi. Lagi pula, tidak
ikutnya beliau SAW dan tidak mendirikan partai, bukanlah dalil yang
sharih dari haramnya kedua hal itu. Bahwa asal usul pemilu, partai dan
demokrasi yang konon dari orang kafir, tidak otomatis menjadikan
hukumnya haram.
Dan
kalau mau jujur, memang tidak ada satu pun ayat Quran atau hadits nabi
SAW yang secara zahir mengharamkan partai politik, pemilu atau
demokrasi. Sebagaimana juga tidak ada dalil yang secara zahir
membolehkannya. Kalau pun ada fatwa yang mengharamkan atau membolehkan,
semuanya berangkat dari istimbath hukum yang panjang. Tidak berdasarkan
dalil-dalil yang tegas dan langsung bisa dipahami.
Namun
tidak sedikit dari ulama yang punya pandangan jauh dan berupaya melihat
realitas. Mereka memandang meski pemilu, partai politik serta demokrasi
datang dari orang kafir, mereka tetap bisa melihat esensi dan
kenyataan. Berikut ini kami petikkan beberapa pendapat sebagian ulama
dunia tentang hal-hal yang anda tanyakan.
Seruan Para Ulama untuk Mendukung Dakwah Lewat Parlemen
Apa komentar para ulama tentang masuknya muslimin ke dalam parlemen? Dan apakah mereka membid’ahkannya?
Ternyata
anggapan yang menyalahkan dakwah lewat parlemen itu keliru, sebab ada
sekian banyak ulama Islam yang justru berkeyakinan bahwa dakwah lewat
parlemen itu boleh dilakukan. Bahkansebagiannya memandang bahwa bila hal
itu merupakan salah stu jalan sukses menuju kepada penegakan syariat
Islam, maka hukumnya menjadi wajib.
Di antara para ulama yang memberikan pendapatnya tentang kebolehan atau keharusan dakwah lewat parlemen antara lain:
1. Imam Al-’Izz Ibnu Abdis Salam
2. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
3. Ibnu Qayyim Al-Jauziyah
4. Muhammad Rasyid Ridha
5. Syeikh Abdurrahman Bin Nashir As-Sa’di: Ulama Qasim
6. Syeikh Ahmad Muhammad Syakir: Muhaddis Lembah Nil
7. Syeikh Muhammad Al-Amin Asy-Syinqithi
8. Syeikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz
9. Syeikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin
10. Syeikh Muhammad Nashiruddin Al-AlBani
11. Syeikh Dr. Shalih bin Fauzan
12. Syeikh Abdullah bin Qu’ud
13. Syeikh Dr. Umar Sulaiman Al-’Asyqar
14. Syeikh Abdurrahman bin Abdul Khaliq
Kalau
diperhatikan, yang mengatakan demikian justru para ulama yang sering
dianggap kurang peka pada masalah politik praktis. Ternyata gambaran itu
tidak seperti yang kita kira sebelumnya. Siapakah yang tidak kenal Bin
Baz, Utsaimin, Albani, Asy-Syinqithi, Shalih Fauzan dan lainnya?
Pendapat Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz
Fatwa Pertama
Sebuah
pertanyaan diajukan kepada Syaikh Abdul Aziz bin Baz tentang dasar
syariah mengajukan calon legislatif untuk Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)
dan hukum Islam atas kartu peserta pemilu dengan niat memilih untuk
memilih para da’i dan aktifis sebagai anggota legislatif. Maka beliau
menjawab:
Rasulullah
SAW bersabda bahwa setiap amal itu tergantung pada niatnya. Setiap
orang mendapatkan apa yang diniatkannya. Oleh karena itu tidak ada
masalah untuk masuk ke parlemen bila tujuannya memang membela kebenaran
serta tidak menerima kebatilan. Karena hal itu memang membela kebenaran
dan dakwah kepada Allah SWT.
Begitu
juga tidak ada masalah dengan kartu pemilu yang membantu terpilihnya
para da’i yang shalih dan mendukung kebenaran dan para pembelanya,
wallahul muwafiq.
Fatwa Kedua
Di
lain waktu, sebuah pertanyaan diajukan kepada Syeikh Bin Baz: Apakah
para ulama dan duat wajib melakukan amar makruf nahi munkar dalam bidang
politik? Dan bagaimana aturannya?
Beliau
menjawab bahwa dakwah kepada Allah SWT itu mutlak wajibnya di setiap
tempat. Amar makruf nahi munkar pun begitu juga. Namun harus dilakukan
dengan himah, uslub yang baik, perkataan yang lembut, bukan dengan cara
kasar dan arogan. Mengajak kepada Allah SWT di DPR, di masjid atau di
masyarakat.
Lebih
jauh beliau menegaskan bahwa bila dia memiliki bashirah dan dengan cara
yang baik tanpa berlaku kasar, arogan, mencela atau ta’yir melainkan
dengan kata-kata yang baik.
Dengan
mengatakan wahai hamba Allah, ini tidak boleh semoga Allah SWT
memberimu petunjuk. Wahai saudaraku, ini tidak boleh, karena Allah
berfirman tentang masalah ini begini dan Rasulullah SAW bersabda dalam
masalah itu begitu. Sebagaimana firman Allah SWT:
Serulah
kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan
bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang
lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah
yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk. (QS An-Nahl: 125).
Ini adalah jalan Allah dan ini adalah taujih Rabb kita. Firman Allah SWT:
Maka
disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap
mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah
mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu? (QS Ali Imran: 159)
Dan
tidak merubah dengan tangannya kecuali bila memang mampu. Seperti
merubha isteri dan anak-anaknya, atau seperti pejabat yang berpengaruh
pada sebuah lembaga. Tetapi bila tidak punya pengaruh, maka dia
mengangkat masalah itu kepada yang punya kekuasaan dan memintanya untuk
menolak kemungkaran dengan cara yang baik.
Fatwa Ketiga
Majalah
Al-Ishlah pernah juga bertanya kepada Syeikh yang pernah menjadi Mufti
Kerajaan Saudi Arabia. Mereka bertanya tentang hukum masuknya para ulama
dan duat ke DPR, parlemen serta ikut dalam pemilu pada sebuah negara
yang tidak menjalankan syariat Islam. Bagaimana aturannya?
Syaikh
Bin Baz menjawab bahwa masuknya mereka berbahaya, yaitu masuk ke
parlemen, DPR atau sejenisnya. Masuk ke dalam lembaga seperti itu
berbahaya namun bila seseorang punya ilmu dan bashirah serta
menginginkan kebenaran atau mengarahkan manusia kepada kebaikan,
mengurangi kebatilan, tanpa rasa tamak pada dunia dan harta, maka dia
telah masuk untuk membela agam Allah SWT, berjihad di jalan kebenaran
dan meninggalkan kebatilan. Dengan niat yang baik seperti ini, saya
memandang bahwa tidak ada masalah untuk masuk parlemen. Bahkan tidak
selayaknya lembaga itu kosong dari kebaikan dan pendukungnya.
Bila
dia masuk dengan niat seperti ini dengan berbekal bashirah hingga
memberikan posisi pada kebenaran, membelanya dan menyeru untuk
meninggalkan kebatilan, semoga Allah SWT memberikan manfaat dengan
keberadaannya hingga tegaknya syariat dengan niat itu. Dan Allah SWT
memberinya pahala atas kerjanya itu.
Namun
bila motivasinya untuk mendapatkan dunia atau haus kekuasaan, maka hal
itu tidak diperbolehkan. Seharusnya masuknya untuk mencari ridha Allah,
akhirat, membela kebenaran dan menegakkannya dengan argumen-argumennya,
niscaya majelis ini memberinya ganjaran yang besar.
Fatwa Keempat
Pimpinan
Jamaah Ansharus sunnah Al-Muhammadiyah di Sudan, Syaikh Muhammad Hasyim
Al-Hadyah bertanya kepada Syaikh bin Baz pada tanggal 4 Rabi’ul Akhir
1415 H. Teks pertanyaan beliau adalah:
Dari
Muhammad Hasyim Al-Hadyah, Pemimpin Umum Jamaah Ansharus-Sunnah
Al-Muhammadiyah di Sudan kepada Samahah Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz,
mufti umum Kerajaan Saudi Arabia dan Ketua Hai’ah Kibar Ulama wa Idarat
Al-buhuts Al-Ilmiyah wal Ifta’.
Assalamu ‘alaikum Wr. Wb. Saya mohon fatwa atas masalah berikut:
Bolehkah seseorang menjabat jabatan politik atau adminstratif pada pemerintahan Islam atau kafir bila dia seorang yang shalih dan niatnya mengurangi kejahatan dan menambah kebaikan? Apakah dia diharuskan untuk menghilangkan semua bentuk kemungkaran meski tidak memungkinkan baginya? Namun dia tetap mantap dalam aiqdahnya, kuat dalam hujjahnya, menjaga agar jabatan itu menjadi sarana dakwah. Demikian, terima kasih wassalam.
Jawaban Seikh Bin Baz:
Wa
‘alaikumussalam wr wb. Bila kondisinya seperti yang Anda katakan, maka
tidak ada masalah dalam hal itu. Allah SWT berfirman,”Tolong menolonglah
kamu dalam kebaikan.” Namun janganlah dia membantu kebatilan atau ikut
di dalamnya, karena Allah SWT berfirman,”Dan janganlah saling tolong
dalam dosa dan permusuhan.” Waffaqallahul jami’ lima yurdhihi, wassalam
wr. Wb.
Bin Baz
Wawancara dengan Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin
Pada
bulan Oktober 1993 edisi 42, Majalah Al-Furqan Kuwait mewawancarai
Syaikh Muhammad bin shalih Al-’Utsaimin, seorang ulama besar di Saudi
Arabia yang menjadi banyak rujukan umat Islam di berbagai negara.
Berikut ini adalah petikan wawancaranya seputar masalah hukum masuk ke
dalam parlemen.
Majalah Al-Furqan :.
Fadhilatus Syaikh Hafizakumullah, tentang hukm masuk ke dalam majelis
niyabah (DPR) padahal negara tersebut tidak menerapkan syariat Islam
secara menyeluruh, apa komentar Anda dalam masalah ini?
Syaikh Al-’Utsaimin :
Kami punya jawaban sebelumnya yaitu harus masuk dan bermusyarakah di
dalam pemerintahan. Dan seseorang harus meniatkan masuknya itu untuk
melakukan ishlah (perbaikan), bukan untuk menyetujui atas semua yang
ditetapkan.
Dalam
hal ini bila dia mendapatkan hal yang bertentangan dengan syariah,
harus ditolak. Meskipun penolakannya itu mungkin belum diikuti dan
didukung oleh orang banyak pada pertama kali, kedua kali, bulan pertama,
kedua, ketiga, tahun pertama atau tahun kedua, namun ke depan pasti
akan memiliki pengaruh yang baik.
Sedangkan
membiarkan kesempatan itu dan meninggalkan kursi itu untuk orang-orang
yang jauh dari tahkim syariah merupakan tafrit yang dahsyat. Tidak
selayaknya bersikap seperti itu.
Majalah Al-Furqan :
Sekarang ini di Majelis Umah di Kuwait ada Lembaga Amar Ma’ruf Nahi
Munkar. Ada yang mendukungnya tapi ada juga yang menolaknya dan hingga
kini masih menjadi perdebatan. Apa
komentar Anda dalam hal ini, juga peran lembaga ini. Apa taujih Anda
bagi mereka yang menolak lembaga ini dan yang mendukungnya?
Syaikh Al-Utsaimin:
Pendapat kami adalah bermohon kepada Allah SWT agar membantu para
ikhwan kita di Kuwait kepada apa yang membuat baik dien dan dunia
mereka. Tidak diragukan lagi bahwa adanya Lembaga Amar Makmur Nahi
Munkar menjadikan simbol atas syariah dan memiliki hikmah dalam muamalah
hamba Allah SWT. Jelas bahwa lembaga ini merupakan kebaikan bagi negeri dan rakyat. Semoga Allah SWT menyukseskannya buat ikhwan di Kuwait.
Pada
bulan Zul-Hijjah 1411 H bertepatan dengan bulan Mei 1996 Majalah
Al-Furqan melakukan wawancara kembali dengan Syaikh Utsaimin:
Majalah Al-Furqan: Apa hukum masuk ke dalam parlemen?
Syaikh Al-’Utsaimin:
Saya memandang bahwa masuk ke dalam majelis perwakilan (DPR) itu boleh.
Bila seseorang bertujuan untuk mashlahat baik mencegah kejahatan atau
memasukkan kebaikan. Sebab semakin banyak orang-orang shalih di dalam
lembaga ini, maka akan menjadi lebih dekat kepada keselamatan dan
semakin jauh dari bala’.
Sedangkan
masalah sumpah untuk menghormati undang-undang, maka hendaknya dia
bersumpah unutk menghormati undang-undang selama tidak bertentangan
dengan syariat. Dan semua amal itu tergantung pada niatnya di mana
setiap orang akan mendapat sesuai yang diniatkannya.
Namun
tindakan meninggalkan majelis ini buat orang-orang bodoh, fasik dan
sekuler adalah perbuatan ghalat (rancu) yang tidak menyelesaikan
masalah. Demi Allah, seandainya ada kebaikan untuk meninggalkan majelis
ini, pastilah kami akan katakan wajib menjauhinya dan tidak memasukinya.
Namun keadaannya adalah sebaliknya. Mungkin saja Allah SWT menjadikan
kebaikan yang besar di hadapan seorang anggota parlemen. Dan dia
barangkali memang benar-benar mengausai masalah, memahami kondisi
masyarakat, hasil-hasil kerjanya, bahkan mungkin dia punya kemampuan
yang baik dalam berargumentasi, berdiplomasi dan persuasi, hingga
membuat anggota parlemen lainnya tidak berkutik. Dan menghasilkan
kebaikan yang banyak. (lihat majalah Al-Furqan – Kuwait hal. 18-19)
Jadi
kita memang perlu memperjuangkan Islam di segala lini termasuk di dalam
parlemen. Asal tujuannya murni untuk menegakkan Islam. Dan kami masih
punya 13 ulama lainnya yang juga meminta kita untuk berjuang menegakkan
Islam lewat parlemen. Insya Allah SWT pada kesempatan lain kami akan
menyampaikan pula. Sebab bila semua
dicantumkan di sini, maka pastilah akan memenuhi ruang ini. Mungkin kami
akan menerbitkannya saja sebagai sebuah buku tersendiri bila Allah SWT
menghendaki.
Pendapat Imam Al-’Izz Ibnu Abdis Salam
Dalam
kitab Qawa’idul Ahkam karya Al-’Izz bin Abdus Salam tercantum: Bila
orang kafir berkuasa pada sebuah wilayah yang luas, lalu mereka
menyerahkan masalah hukum kepada orang yang mendahulukan kemaslahatan
umat Islam secara umum, maka yang benar adalah merealisasikan hal
tersebut. Hal ini mendapatkan kemaslahatan umum dan menolak mafsadah.
Karena menunda masalahat umum dan menanggung mafsadat bukanlah hal yang
layak dalam paradigma syariah yang bersifat kasih. Hanya lantaran tidak
terdapatnya orang yang sempurna untuk memangku jabatan tersebut hingga
ada orang yang memang memenuhi syarat.
Dari
penjelasan di atas dapat dipahami menurut pandangan imam rahimahullah,
bahwa memangku jabatan di bawah pemerintahan kafir itu adalah hal yang
diperlukan. Untuk merealisasikan kemaslahatan yang sesuai dengan syariat
Islam dan menolakmafsadah jika diserahkan kepada orang kafir. Jika
dengan hal itu maslahat bisa dijalankan, maka tidak ada larangan secara
sya’ri untuk memangku jabatan meski di bawah pemerintahan kafir.
Kasus
ini mirip dengan yang terjadi di masa sekarang ini di mana seseorang
menjabat sebagai anggota parlemen pada sebuah pemeritahan non Islam.
Jika melihat pendpat beliau di atas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa
menjadi anggota parlemen diperbolehkan.
Pendapat Ibnu Qayyim Al-Jauziyah
Dalam kitab Thuruq Al-Hikmah, Ibnul Qayyim Al-Jauziyah (691- 751 H) dalam kitabnya At-Turuq al-Hukmiyah menulis:
Masalah
ini cukup pelik dan rawan, juga sempit dan sulit. terkadang sekelompok
orang melewati batas, meng hilangkan hak-hak,dfan mendorong berlaku
kejahatan kepada kerusakan serta menjadikasn syariat itu sempi sehingga
tidak mampu memberikan jawaban kepada pemeluknya. dan menghalangi diri
mereka dari jalan yang benar, yaitu jalan untuk mengetahui kebenaran dan
menerapkannya. Sehingga mereka menolak hal tersebut, pada hal mereka
dan yang lainnya tahu secara pasti bahwa hal itu adalah hal yang wajib
diterapkan namun mereka menyangkal bahwa hal itu bertentangan dengan
qowaid syariah.
Mereka
mengatakan bahwa hal itu tidak sesuai yang dibawa rosulullah, yang
menjadikan mereka berpikir seperti itu kurang nya mereka dalam memahami
syariah dan pengenalan kondisi lapangan atau keduanya, sehingga begitu
mereka melihat hal tersebut dan melihat orang-orang melakukan halyang
tidak sesuai yang dipahaminya, mereka melakukan kejahatan yang panjang,
kerusakan yang besar.mka permasalahannya jadi terbalik.
Di
sisi lain ada kelompok yang berlawanan pendapatnya dan menafikan hukum
allah dan rosulnya. Kedua kelompok di atas sama-sama kurang memahami
risalah yang dibawa rosulnya dan diturunkan dalam kitabnya, padahal
Allah swt. telah mengutus rasulnya dan menurunkan kitabnya agar manusia
menjalankan keadilan yang dengan keadilan itu bumi dan langit di
tegakkan. Bila ciri-ciri keadilan itu mulai nampak dan wajahnya tampil
dengan beragam cara mak itulah syariat allah dan agamanya. Allah swt
maha tahu dan maha hakim untuk memilih jalan menuju keadilan dan
memberinya ciri dan tanda. maka apapun jalan yang bisa membawa tegaknya
keadilan maka itu adalah bagian dari agama, dan tidak bertentangan
dengan agama.
Maka
tidak boleh dikatakan bahwa politik yang adil itu berbeda dengan
syariat, tetapi sebaliknya justru sesuai dengan syariat, bahkan bagian
dari syariat itru sendiri. kami menamakannya sebagai politik sekedar
mengikuti istilah yang Anda buat tetapi pada hakikatnya merupakan
keadilan allah dan rosulnya.
Imam
yang muhaqqiq ini mengatakan apapun cara untuk melahirkan keadilan maka
itu adakah bagian dari agama dan tidak bertentangan dengannya. Jelasnya
bab ini menegaskan bahwa apapun yang bisa melahirkan keadilan boleh
dilakukan dan dia bagian dari politik yang sesuai dengan syariah. Dan
tidak ada keraguan bahwa siapa yang menjabat sebuah kekuasaan maka ia
harus menegakkan keadilan yang sesuai dengan syariat. Dan berlaku ihsan
bekerja untuk kepentingan syariat meskipun di bawah pemerintahan kafir.
Syaikh Dr. Shalih bin Fauzan
Syekh
Shaleh Alfauzan ditanya tentang hukum memasuki parlemen. Syekh Fauzan
balik bertanya, “Apa itu parlemen?” Salah seorang peserta menjawab
“Dewan legislatif atau yang lainnya” Syekh, “Masuk untuk berdakwah di
dalamnya?” Salah seorang peserta menjawab, “Ikut berperan serta di
dalamnya” Syekh, “Maksudnya menjadi anggota di dalamnya?” Peserta,
“Iya.”
Syeikh:
“Apakah dengan keanggotaan di dalamnya akan menghasilkan kemaslahatan
bagi kaum muslimin? Jika memang ada kemaslahatan yang dihasilkan bagi
kaum muslimin dan memiliki tujuan untuk memperbaiki parlemen ini agar
berubah kepada Islam, maka ini adalah suatu yang baik, atau paling tidak
bertujuan untuk mengurangi kejahatan terhadap kaum muslimin dan
menghasilkan sebagian kemaslahatan, jika tidak memungkinkan kemaslahatan
seluruhnya meskipun hanya sedikit.”
Salah seorang peserta, “Terkadang didalamnya terjadi tanazul (pelepasan) dari sejumlah perkara dari manusia.”
Syeikh: “Tanazul yang dimaksud adalah kufur kepada Allah atau apa?”
Salah seorang peserta, “Mengakui.”
Syeikh: “Tidak boleh. adanya pengakuan tersebut. Jika
dengan pengakuan tersebut ia meninggalkan agamanya dengan alasan
berdakwah kepada Allah, ini tidak dibenarkan. Tetapi jika mereka tidak
mensyaratkan adanya pengakuan terhadap hal-hal ini dan ia tetap berada
dalam keIslaman akidah dan agamanya, dan ketika memasukinya ada
kemaslahatan bagi kaum muslimin dan apa bila mereka tidak menerimanya ia
meninggalkannya, apa mungkin ia bekerja untuk memaksa mereka?
Tidak
mungkin kan untuk melakukan hal tersebut. Yusuf as ketika memasuki
kementrian kerajaan, apa hasil yang ia peroleh? atau kalian tidak tahu
hasil apa yang di peroleh Nabi Yusuf as?
Atau
kalian tidak tahu tentang hal ini, apa yang diperoleh Nabi Yusuf ketika
ia masuk, ketika raja berkata kepadanya, “Sesungguhnya kamu hari ini
menjadi seorang yang berkedudukan tinggi lagi dipercaya dis isi kami”
Nabi Yusuf saat itu menjawab, “Jadikan aku bendaharawan negara karena
aku amanah dan pandai.” Maka beliau masuk dan hukum berada di tangannya.
Dan sekarang dia menjadi raja Mesir, sekaligus nabi.
Jadi
bila masuknya itu melahirkan sesuatu yang baik, silahkan masuk saja.
Tapi kalau hanya sekedar menyerahkan diri dan ridho terhadap hukum yang
ada maka tidak boleh. Demikian juga bila tidak mendatangkan maslahat
bagi umat Islam, maka masuknya tidak dibenarkan. Para ulama berkata,
“Mendatangkan manfaat dan menyempurnakannya, meski tidak seluruh
manfaat, tidak boleh diiringi dengan mafsadat yang lebih besar.”
Para
ulama mengatakan bahwa Islam itu datang dengan visi menarik maslahat
dan menyempurnakannya serta menolak mafsadah dan menguranginya.
maksudnya bila tidak bisa menghilangkan semua mafsadat maka dikurangi,
mendapatkan yang terkecil dari dua dhoror, itu yang diperintahkan. Jadi
tergantung dari niat dan maksud seseorang dan hasil yang diperolehnya.
Bila masuknya lantaran haus kekuasaan dan uang lalu diam atas segala
penyelewengan yang ada, maka tidak boleh. Tapi kalau masuknya demi
kemaslahatan kaum muslimin dan dakwah kepada jalan Allah, maka itulah
yang dituntut. Tapi kalau dia harus mengakui hukum kafir maka tidak
boleh, meski tujuannya mulia. seseorang tidak boleh menjadi kafir dan
berkata “Tujuan saya mulia, saya berdakwah kepada Allah,” tidak tidak
boleh itu.”
Salah seorang peserta, “Apa yang menjadi jalan keluarnya?”
“Jalan
keluarnya adalah jika memang di dalamnya ada maslahat bagi kaum
muslimin dan tidak menghasilkan madharat bagi dirinya, maka hal tersebut
tidak bertentangan. Adapun jika tidak ada kemaslahatan di dalamnya bagi
kaum muslimin atau hal tersebut mengakibatkan adanya kemadorotan yaitu
pengakuan yaitu pengakuan akan kekufuran, maka hal tersebut tidak
diperbolehkan” (Rekaman suara)
Syaikh Abdullah bin Qu’ud
Sebagian
orang-orang meremehkan partai-partai politik Islam yang terdapat di
sejumlah negara-negara Islam seperti Aljazair, Yaman, Sudan dan yang
lainnya. Mereka yang ikut didalamnya dituduh dengan tuduhan sekuler dan
lain-lainnya. Apa pendapat Anda tentang hal tersebut? Sikap atau peran
apa yang harusnya dilakukan oleh kaum muslimin untuk menyikapi kondisi
tersebut?
Jawaban :
Akar persoalan dari semua itu adalah adanya dominasi sebagian para dai
terhadap yang lainnya. Dan saya berpendapat bahwa seorang muslim yang
diselamatkan Allah dari malapetaka untuk memuji Allah dan bersyukur
kepada-Nya serta berdoa untuk saudara-saudaranya di Sudan, Aljazair,
Tunisia dan negara-negara lainnya, ataupun bagi kaum muslimin yang
berada di negeri-negeri yang jelas-jelas kafir.
Dan
jika hal tersebut tidak memberikan manfaat kepada mereka, aku
berpendapat minimal jangan memadhorotkan mereka. Karena sampai sekarang
tidak ada bentuk solidaritas yang nyata kepada para dai tersebut padahal
mereka telah mengalami berbagai ujian dan siksaan.
Dan
kita wajib mendoakan kaum msulimin dan manaruh simpati kepada mereka di
setiap tempat. Karena seorang mokmin adalah saudara bagi muklmin yang
lainnya, jika mendengar kabar yang baik mengenai saudaranya di Sudan,
Aljazair, Tunisia atau dinegeri mana saja maka hendaknya ia merespon
positif dan seakan-akan ia berkata:
“Wahai kiranya saya ada bersama-sama mereka, tentu saya mendapat kemenangan yang besar” (QS. An-Nisaa: 73).
Dan
apa bila mendengar malapetaka yang menimpa mereka, maka hendaklah ia
mendoakan untuk saudarnya-saudaranya yang sedang diuji di negeri mana
saja, supaya Allah melepaskan mereka dari orang-orang yang sesat dan
menjadikan kekuasaan bagi kaum muslimin dan hendaklah ia memuji Allah
karena telah menjaga dirinya.
Jangan
sampai ada seseorang yang bersandar dengan punggungnya di negeri yang
aman lalu mencela orang-orang atau para dai yang berjuang demi Islam di
bawah kedholiman dan keseweng-wenangan dan intimidasi. Tidak diragukan
lagi bahwa hal ini merupakan tindakan yang tidak fair. boleh jadi engkau
akan mendapat ujian jika Anda tidak merespon dengan perasaan Anda apa
yang dirasakan oleh kaum muslimin yang sedang mengalami ujian dari
Allah..
Demikian
petikan beberapa pendapat para ulama tentang dakwah lewat pemilu,
partai politik, parlemen dan sejenisnya. Semoga ada manfaatnya.
0 Komentar:
Posting Komentar
Kehormatan buat kami jika selesai baca Anda beri komentar atas Artikel ini....tapi, Mohon Maaf kawan Komentarnya yang sopan ya....he..he..he..