Setelah Abu Thalib meninggal dunia, penderitaan Rasulullah Shalallahu
 ‘Alaihi wa Sallam semakin berat,sehingga beliau pergi ke Thaif untuk 
mencari perlmdungan dari suku Tsaqif, dengan harapan agar mereka mau 
menerima ajaran Islam.
Ketika sampai di Thaif, beliau menjumpai tokoh-tokoh dari suku 
Tsaqif, yang mereka itu tiga bersaudara: Abdu Yalail bin Amr bin Umair, 
Mas’ud, dan Hubaib. Beliau mengajak mereka untuk mengikuti ajaran Islam 
dan menjelaskan maksud kedatangannya. Akan tetapi, mereka tidak mau 
menerima kedatangan beliau, bahkan memanggil kaumnya dan menyuruh mereka
 agar mengusir dan mengolok-olok Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa 
Sallam.
Akhirnya Rasulullah berlindung di kebun milik Utbah bin Rabi’ah dan 
Syaibah bin Rabi’ah, yang waktu itu keduanya ber-ada di kebun tersebut 
dan mengetahui apa yang sedang dialami oleh Rasulullah Shalallahu 
‘Alaihi wa Sallam Rasulullah duduk di bawah pohon kurma. Sementara itu 
hati kedua pemilik kebun itu tergerak untuk menolong, lalu menyuruh 
pembantunya yang biasa dipanggil Adas, “Ambillah setangkai anggur dan 
letakkan di nampan ini, lalu berikan kepada orang itu.”
Adas pun melaksanakan perintah tersebut dan datang ke hadapan Rasulullah seraya berkata, “Silakan dimakan.”
Rasul menerima anggur tersebut, lalu memetiknya, setelah itu membaca 
“Bismillahir rahmanir rahim” dan memakan-nya. Mendengar bacaan itu, Adas
 terperanjat dan memandang Rasulullah dengan heran.
“Demi Allah, ucapan ini bukanlah ucapan penduduk negeri ini.”
Rasulullah berkata, “Wahai Adas, kamu berasal dari mana dan apa agamamu?”
Adas menjawab, “Saya beragama Nasrani, saya dari negeri Ninawai.”
Rasulullah bertanya, “Apakah dari negerinya Yunus bin Matta, hamba Allah yang shalih itu?”
Adas berkata, “Apa yang  Anda ketahui tentang Yunus bin Matta?”
Rasulullah menjawab, “Dia adalah nabi dan saya juga seorang nabi.”
Mendengar jawaban itu, Adas langsung menubruk Nabi, menciumi kepala, kedua tangan, dan kedua kaki beliau.
Kedua pemilik kebun itu melihat kejadian tersebut, lalu seorang di 
antara mereka berkata kepada yang satunya, “Pembantu kita sudah diracuni
 oleh laki-laki itu.”
Tatkala Adas datang menghadap, keduanya berkata, “Celakalah kamu 
wahai Adas, apa yang menyebabkan kamu menciumi kepala, kedua tangan, dan
 kedua kaki orang itu?”
Adas berkata, “Tuanku, tidak ada yang lebih baik dari ini. Dia telah 
memberi tahu kepadaku perkara yang hanya diketahui oleh seorang nabi.”
Mereka berkata, “Celakalah kamu wahai Adas, jangan sampai omongannya 
menjadikan kamu berpaling dari agamamu, karena agamamu lebih baik 
daripada agamanya.”
Saudaraku,
Kita sudah membaca kisah di atas. Sekarang mari kita petik pelajaran 
yang ada di dalamnya. Mari kita lihat bagaimana cara Rasulullah memikat 
hati Adas, lalu membimbingnya perlahan-lahan, hingga mau mengikrarkan 
keislamannya.
Tatkala Adas datang kepada Rasulullah dengan senampan anggur lalu 
berkata, “Makanlah,” Rasulullah memulai langkah pertamanya: beliau 
mengambil anggur itu dan membaca “Bismillahir rahmanir rahim”, lalu 
memakannya. Seandainya Rasulullah tidak mengucapkan “Bismillahir 
rahmanir rahim”, tentu Adas tidak akan berkomentar apa pun.
Di sinilah terlihat pentingnya menonjolkan karakteristik Islam dengan
 melaksanakan sunnah Rasulullah, yang juga merupakan proklamasi aqidah 
Islamiyah di negara-negara nonMuslim, karena dengan begitu kaum Muslimin
 dapat mengenal satu sama lain.
Langkah kedua adalah tatkala Adas memandang beliau dan berkata, “Ucapan ini bukanlah ucapan penduduk negeri ini.”
Rasulullah lalu berkata, “Wahai Adas kamu berasal dari negeri mana dan apa agamamu?” 
Rasulullah memanggilnya dengan menyebut nama Adas. Panggilan dengan 
menyebut nama secara langsung itu mempunyai erti yang amat besar untuk 
mengakrabkan sebuah persahabatan. Kemudian beliau menanyakan tentang 
negeri dan agamanya. Ini merupakan sebuah rangkaian pembicaraan yang 
berurutan secara rapi.
Adas menjawab, “Saya beragama Nasrani, dari negeri Ninawai.”
Lalu Rasul bertanya, “Apakah kamu dari negerinya Yunus bin Matta, hamba Allah yang shalih itu?”
Kita melihat bahwa Rasulullah memberikan gelar kepada Yunus ‘Alaihis 
Salam dengan menyebut “hamba yang shalih.” Inilah yang menjadikan hati 
Adas semakintersentuh dan tertarik. ia juga mengetahui bahwa Rasulullah 
mengetahui letak negeri Ninawai, sebuah negeri yang terletak di sebelah 
sungai Furat, Iraq. Ini semua menjadikan Adas semakin tertarik.
Adas bertanya, “Apa yang Anda ketahui tentang Yunus bin Matta?”
Rasulullah menjawab, “Dia adalah saudaraku. Dia seorang nabi dan aku juga seorang nabi.”
Di sini terdapat sentuhan yang amat lembut. Ungkapan Rasulullah, 
“saudaraku,” semakin membuat Adas tertarik dan percaya. Banyak kita 
jumpai orang yang bertanya tentang seseorang kemudian ia jawab, “la 
adalah saudaraku.”
Jawaban itu akan menambah keakraban dan rasa percaya. Dari nada 
bicara Rasulullah itu terlihat sifat tawadhu’ beliau, yaitu beliau 
menyebut nama Yunus ‘Alaihis Salam lebih dahulu
sebelum menyebut nama beliau sendiri. Di sini terdapat pelajaran yang amat penting dan berharga bagi seorang da’i.
Banyak di antara kita yang tatkala membicarakan seseorang yang 
mempunyai “kelebihan” mengatakan, “Dia sekolahnya bersamaan dengan 
saya,” atau “Dia dulu satu fakultas dengan saya.” Padahal yang lebih 
baik adalah, “Saya dulu bersamanya waktu di sekolah menengah,” atau 
“Saya dulu satu fakultas dengannya.”
Saudaraku, 
Inilah yang terjadi antara Rasulullah dengan Adas. Sebuah kisah yang 
sederhana dan mudah dicerna. Jadi, bagi da’i yang ingin memetik 
pelajaran dari kisah ini tidak akan merasa kesulitan.
Saudaraku, 
Sekarang marilah kita perhatikan kisah-kisah yang lain. Ada beberapa 
orang yang ingin menjumpai Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam. 
Salah seorang di antara mereka menceritakan, “Kami berusaha mencari tahu
 tentang Rasulullah, karena kami belum pernah mengenal dan melihatnya. 
Kami bertemu dengan seorang laki-laki, lalu kami bertanya kepadanya 
tentang Rasulullah. ia menjawab, ‘Apakah kalian mengenalnya?’ Kami 
menjawab, ‘Tidak.’ Ia berkata, ‘Jika kalian masuk ke dalam masjid, maka 
Muhammad adalah seseorang yang duduk bersama Abbas bin Abdul Muthalib 
yang tak lain adalah pamannya.’ Kami menjawab, ‘Ya, kami mengenal Abbas,
 dia sering datang kepada kami untuk berdagang.’ ia berkata, ‘Jika 
kalian masuk masjid, maka Muhammad adalah orang yang duduk bersama 
Abbas.’ Kemudian kami masuk ke dalam masjid dan kami menjumpai 
Rasulullah yang sedang duduk bersama Abbas.
Kami memberi salam, lalu duduk di dekat mereka. Kemudian Rasulullah 
bertanya kepada Abbas, ‘Wahai Abu Fadl apakah engkau mengenal dua orang 
ini?’ Abbas menjawab, ‘Ya. Ia adalah Bara’ bin Ma’rur, seorang pemuka 
kaum dan ini Ka’ab bin Malik.’ Rasul bertanya, ‘Apakah dia penyair yang 
terkenal itu?’ Abbas menjawab, ‘Ya.’”
Sungguh, saya tidak pernah melupakan ucapan beliau, “Apakah dia 
penyair yang terkenal itu?” Demikianlah metode Rasulullah dalam memikat 
hati mad’unya.
Waktu itu saya sedang berada di pejabat pusat Ikhwanul Muslimin di 
Kairo. Saya melihat Ustadz Hasan Al Banna sedang berbicara dengan salah 
seorang pemuda (saat itu ada banyak pemuda yang hadir di sana). Dalam 
pembicaraan itu, Ustadz Hasan Al Banna banyak menyanjung tokoh-tokoh 
Muslim Syria.
Lalu pemuda itu bertanya dengan nada keheranan, “Apakah Ustadz sudah pernah berkunjung ke Syria?”
Ustadz menjawab, “Saya sudah berniat untuk mengunjunginya, mudahmudahan Allah mengabulkannya.”
Akhirnya harapan itu pun terwujud. Pada tahun 1948 M. beliau pergi ke
 Syria dalam acara penyambutan kedatangan rombongan Ikhwanul Muslimin 
yang datang dari Mesir untuk bergabung dengan anggota Ikhwanul Muslimin 
Syria dalam latihan militer di Quthna, sebelum ikut terjun dalam perang 
melawan Yahudi di Palestina. Kedatangan Ustadz Hasan Al Banna sendiri 
disambut gembira oleh massa yang melimpah ruah.
Pada tahun 1948 M. saya masuk dalam anggota pasukan militer yang 
dikirim untuk berperang di Palestina. Waktu itu saya berkunjung ke 
pejabat Ikhwanul Muslimin di kota Gaza atas nama Jam’iyah At Tauhid. Di 
dalam buku tamu saya menjumpai tulisan Ustadz Hasan Al Banna yang telah 
datang ke Palestina bersama batalion pertama untuk mengusir Yahudi 
tatkala Inggris menarik pasukannya pada bulan Mei 1948 M. Di antara 
bunyi tulisan itu adalah: “Hari ini saya berkunjung ke pejabat cabang 
Ikhwanul Muslimin di kota Gaza Hasyim….”
Saya berhenti pada tulisan beliau, “Gaza Hasyim.” Untuk pertama 
kalinya saya mengetahui bahwa Hasyim, kakek Rasulullah Shalallahu 
‘Alaihi wa Sallam, dimakamkan di kota Gaza.
Saya pergi bersama beberapa teman untuk mengunjungi orang sakit di 
sebuah rumah sakit di Jerman. Ketika kami sedang berjalan, kami 
berpapasan dengan seorang dokter muda yang kelihatannya berasal dari 
Jerman. Namun tiba-tiba ia mengucapkan “Assalamu’alaikum” kepada kami. 
Salah seorang di antara kami mengejarnya dan berkenalan. Dokter itu 
mengatakan bahwa dirinya seorang Muslim. Begitulah, seandainya dokter 
itu tidak mengucapkan salam, maka kami tidak akan mengetahui bahwa ia 
beragama Islam dan kami pun akan kesulitan mendapatkan orang yang dapat 
membantu kami.
Tatkala saya berada di Jerman, saya dan seorang teman naik sebuah 
trem cepat. Kami duduk di sebelah seorang tentara Amerika berkulit 
coklat. Tatkala men-dengar kami berbicara dengan bahasa Arab, ia 
berkata, “Kalian beragama Islam?”
Kami menjawab, “Ya, Alhamdulillah, kami adalah orang Islam.”
Lalu ia berkata dengan suara agak keras, “Saya juga seorang Muslim, nama saya Muhammad.”
Kemudian dengan cepat ia merogoh tasnya dan mengeluarkan sebungkus 
rokok, lalu disodorkannya kepada kami. Kami menolak tawaran itu dengan 
ucapan terima kasih dan meminta maaf. Kemudian ia bangkit dan menjabat 
tangan kami dengan hangat sekali dan berbicara dengan bahasa Arab secara
 terbata-bata, “Sesungguhnya Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam 
bersabda, ‘Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari Akhir, 
hendaklah ia muliakan tamunya.”‘
Kejadian itu menarik perhatian orang-orang yang ada di sekitar kami. 
Tatkala sampai di stasiun tujuannya, ia berdiri dan menjabat tangan kami
 sekali lagi lalu turun dengan perasaan amat bahagia. Kami pun telah 
mencatat alamatnya, sehingga kami akan dapat berkirim surat kepadanya. 
Begitulah, seandainya kami tidak berbicara dengan bahasa Arab, niscaya 
ia tidak akan peduli dan kami akan kehilangan seorang teman.
Marilah kita melihat bagaimana orang-orang Perancis mengetahui masuk 
 Islamnya ilmuwan besar berkebangsaan Perancis, Jake Koesto, seorang 
ilmuwan yang ahli di bidang kedalaman laut. Tatkala ia bepergian bersama
 teman-temannya, ia disuguhi minuman keras tetapi ia menolak. 
Teman-temannya bertanya, “Apakah kamu sudah masuk Islam?”
Ia menjawab, “Ya.”
Ternyata ia sudah merahasiakan keislamannya selama bertahun-tahun. Begitulah, akhlak dan perilaku yang islami adalah da’wah.
Abbas As Sisi – Ath Thariq ila Qulub
 
 
 
 
0 Komentar:
Posting Komentar
Kehormatan buat kami jika selesai baca Anda beri komentar atas Artikel ini....tapi, Mohon Maaf kawan Komentarnya yang sopan ya....he..he..he..