Assalamu Alaikum, Selamat datang Saudaraku. Semoga BLOG ini bermanfaat dan harapan kami agar Anda sering datang berkunjung. Wassalam. ==> YAHYA AYYASY <==

Hukuman Buat Anak, Perlukah?

Nanti Ibu pukul ya kalau nggak mau mandi!” Sepintas itu adalah kalimat biasa yang wajar meluncur dari seorang ibu untuk menyuruh anaknya mandi. Padahal, hukuman adalah jurus pamungkas yang boleh dilakukan setelah tahapan panjang sebelumnya terjadi.

Menghukum anak, secara fisik ataupun psikis, menjewer, memukul, mencubit, menyabet dengan gesper atau menghinanya sepintas sangat efektif dalam menegakkan disiplin anak. Perilaku positif yang diharapkan muncul dari anak, seperti mandi, bisa cepat terlaksana. Namun, mengobral hukuman fisik ataupun psikis, terbukti tidak efektif dalam mendisiplinkan anak.

Becky A Bailey, PhD, pakar pendidikan dalam bukunya Easy to Love Difficult to Discipline, mengibaratkan orangtua yang sering menghukum anak ibarat orang yang kehabisan akal. Dalam bukunya tersebut, ia ingin meyakinkan bahwa menghukum untuk mendisiplinkan anak atau mengharapkan perilaku positif yang muncul dari diri anak terbukti tidak efektif. Kalaupun berhasil, anak menuruti perintah orangtua, itu hanyalah sesaat karena anak takut dengan hukuman.

Ketakutan anak terhadap hukuman dari orangtua bahkan bisa membuat anak menjadi frustasi karena anak melihatnya sebagai upaya orangtua memaksakan kehendak. Hal itu tentu saja sangat berlawanan dengan tujuan utama orangtua, yaitu ingin menegakkan disiplin secara mendalam. Fakta ini disampaikan oleh Neil A.S. Summerheil, dalam bukunya A Radical Approach to Children Rearing.

Lebih buruk lagi, banyak anak yang malah kebal terhadap hukuman. Hukuman badan tidak membuat mereka melaksanakan suatu aktivitas dengan baik. Sebaliknya, anak akan cenderung membiarkan dirinya dihukum daripada melakukan perilaku yang diharapkan orangtuanya.

Teladan dulu sebelum hukuman

Seorang pakar pendidikan anak, DR Abdullah Nashih Ulwan, dalam bukunya Pendidikan Anak yang Islami, menjelaskan tentang lima tahap dalam metode influentif mendidik anak. Yaitu, pendidikan dengan keteladanan, adat, nasihat, perhatian dan hukuman. Jadi, memberikan hukuman kepada anak memang ada, namun pada tahapan terakhir setelah proses panjang sebelumnya.

Contohnya, untuk mengajarkan anak shalat. Ada hadits Rasulullah saw yang diriwayatkan oleh Abu Daud, “Apabila seorang anak sudah bisa membedakan tangan kanan dan tangan kiri, maka ajarkanlah dia shalat.” Kapan seorang anak sudah mulai bisa membedakan tangan kanan dan kiri? Umumnya sekitar usia 3-4 tahun. Maka, pada usia itu, anak sudah mulai kita ajarkan shalat. Orangtua memberikan contoh dan pelajaran secara bertahap.

Selanjutnya, ada lagi hadits lain yang diriwayatkan oleh Ahmad dan Abu Daud yang berbunyi, “Perintahkanlah anak-anakmu mendirikan shalat pada saat dia berusia tujuh tahun, dan pukullah dia bila tidak mau (meninggalkan ) shalat ketika sudah berumur 10 tahun, dan pisahkanlah tidurnya.” Jadi, ada tahapan yang jelas dalam mendidik anak untuk shalat. Sudah dibiasakan sejak usia balita, mulai ditegaskan usia 7 tahun. Bila di usia 10 tahun, anak tidak melaksanakannya orangtua boleh memukulnya dengan pukulan yang mendidik. Pukulan tidak boleh dilakukan kepada anak di bawah usia kurang dari 10 tahun. Tujuan pemberian hukuman kepada anak jelas untuk menekankan tentang pentingnya penegakan shalat. Beberapa ulama mengingatkan bahwa pukulan kepada anak adalah pukulan sayang, bukan pukulan yang meninggalkan bekas atau pun yang menyakitkan.

Penting diingat oleh kita semua, bahwa memberikan contoh secara konsisten, memunculkan kebiasaan yang baik pada lingkungan rumah sehingga menjadi kebiasaan seluruh anggota keluarga, memberikan nasihat melalui cerita dan kisah serta perhatian penuh terhadap proses terbentuknya perilaku positif yang diharapkan, jauh lebih penting daripada pemberian hukuman kepada anak. Ingat, bahwa fokus orangtua adalah terletak pada terbentuknya perilaku positif pada anak, bukannya pemberian hukuman yang salah-salah hanya merupakan bentuk dari pelampiasan emosi orangtua. Mau mandi dipukul, mau makan dijewer, mau belajar disabet sapu. Wah, jangan-jangan orangtua yang bermasalah pada pengendalian emosinya.

Kapan hukuman boleh diberikan?

Sebagai tahapan terakhir dalam proses pembentukan perilaku positif anak, orangtua perlu mengingat beberapa hal berikut terkait dengan pemberian hukuman kepada anak.

Pertama, lemah-lembut dan kasih-sayang adalah dasar dalam pendidikan anak. Hal ini sejalan dengan hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari yang berbunyi, “Hendaklah kamu bersikap lemah-lembut dan kasih-sayang, hindarilah sifat keras dan keji.” Hadits ini jelas menegaskan dalam proses pendidikan anak harus didasari pada sifat lemah lembut dan kasih sayang, dan menghindari sifat keras dan keji.

Kedua, dalam upaya pendidikan dan perbaikan, hukuman yang diberikan dilakukan secara bertahap. Dari yang paling ringan hingga yang paling keras. Misalnya, berawal dengan menunjukkan kesalahan dengan pengarahan yang membekas, ringkas dan jelas dengan tutur kata yang tidak keras dan tidak mencelanya. Atau, dengan menunjukkan kesalahan melalui isyarat. Bila cara tersebut belum ampuh, maka kesalahan ditunjukkan dengan nada ‘kecaman’, sedangkan bentuk pemukulan diberikan sebagai tahapan terakhir. Bila pada tahapan sebelumnya, permasalahan sudah teratasi, maka pemukulan tidak perlu dilakukan.

Ketiga, hukuman yang berbentuk pemukulan tidak boleh dilakukan orangtua dalam keadaan marah karena akan membahayakan anak. Tidak dibenarkan juga memukul anggota badan yang peka seperti kepala, muka, dada dan perut. Hal ini sesuai dengan hadits Rasulullah saw dalam riwayat Abu Daud, “…janganlah kamu memukul muka.”

Keempat, pemukulan sebagai bentuk hukuman tidak boleh keras dan menyakitkan. Pukulan tersebut berkisar antara satu hingga tiga kali.

Kelima, tidak memukul anak sebelum ia berusia sepuluh tahun.

Keenam, jika kesalahan anak adalah kesalahan yang dibuatnya pertama kali, hendaknya ia diberikan kesempatan untuk bertaubat dan meminta maaf tanpa memberikan hukuman. Serta memberikannya kesempatan berjanji untuk tidak mengulangi kesalahan.

Ketujuh, tidak menghukum anak di depan orang lain.

Kedelapan, tidak membahas secara berulang-ulang kesalahannya di depan orang lain, apalagi bila ia sudah berjanji untuk tidak mengulangi kesalahannya.

Bila sedemikian panjang daftar yang perlu kita ingat dalam memberikan hukuman, sebenarnya dengan kata lain hukuman tak perlu kita lakukan bila tahapan sebelumnya berjalan dengan baik. Jangan lupa, hukuman harus terfokus pada pembentukan perilaku positif anak sehingga anak sadar akan kesalahannya. Bukan pelampiasan kemarahan orangtua, lho.

(Sarah Handayani)

0 Komentar:

Posting Komentar

Kehormatan buat kami jika selesai baca Anda beri komentar atas Artikel ini....tapi, Mohon Maaf kawan Komentarnya yang sopan ya....he..he..he..

Recent Post widget Inspirasi Rabbani

Menuju

Blog Tetangga

Blog Tetangga
Klik Gambar untuk Berkunjung

Luwuk Banggai SULTENG

Luwuk Banggai SULTENG
ebeeee......