“Nanti Ibu pukul ya kalau nggak mau mandi!” 
Sepintas itu adalah kalimat biasa yang wajar meluncur dari seorang ibu 
untuk menyuruh anaknya mandi. Padahal, hukuman adalah jurus pamungkas 
yang boleh dilakukan setelah tahapan panjang sebelumnya terjadi.
Menghukum anak, secara fisik ataupun 
psikis, menjewer, memukul, mencubit, menyabet dengan gesper atau 
menghinanya sepintas sangat efektif dalam menegakkan disiplin anak. 
Perilaku positif yang diharapkan muncul dari anak, seperti mandi, bisa 
cepat terlaksana. Namun, mengobral hukuman fisik ataupun psikis, 
terbukti tidak efektif dalam mendisiplinkan anak.
Becky A Bailey, PhD, pakar pendidikan dalam bukunya Easy to Love Difficult to Discipline,
 mengibaratkan orangtua yang sering menghukum anak ibarat orang yang 
kehabisan akal. Dalam bukunya tersebut, ia ingin meyakinkan bahwa 
menghukum untuk mendisiplinkan anak atau mengharapkan perilaku positif 
yang muncul dari diri anak terbukti tidak efektif. Kalaupun berhasil, 
anak menuruti perintah orangtua, itu hanyalah sesaat karena anak takut 
dengan hukuman.
Ketakutan anak terhadap hukuman dari 
orangtua bahkan bisa membuat anak menjadi frustasi karena anak 
melihatnya sebagai upaya orangtua memaksakan kehendak. Hal itu tentu 
saja sangat berlawanan dengan tujuan utama orangtua, yaitu ingin 
menegakkan disiplin secara mendalam. Fakta ini disampaikan oleh Neil A.S. Summerheil, dalam bukunya A Radical Approach to Children Rearing.
Lebih buruk lagi, banyak anak yang malah
 kebal terhadap hukuman. Hukuman badan tidak membuat mereka melaksanakan
 suatu aktivitas dengan baik. Sebaliknya, anak akan cenderung membiarkan
 dirinya dihukum daripada melakukan perilaku yang diharapkan 
orangtuanya.
Teladan dulu sebelum hukuman
Seorang pakar pendidikan anak, DR Abdullah Nashih Ulwan,
 dalam bukunya Pendidikan Anak yang Islami, menjelaskan tentang lima 
tahap dalam metode influentif mendidik anak. Yaitu, pendidikan dengan 
keteladanan, adat, nasihat, perhatian dan hukuman. Jadi, memberikan 
hukuman kepada anak memang ada, namun pada tahapan terakhir setelah 
proses panjang sebelumnya.
Contohnya, untuk mengajarkan anak shalat. Ada hadits Rasulullah saw yang diriwayatkan oleh Abu Daud, “Apabila seorang anak sudah bisa membedakan tangan kanan dan tangan kiri, maka ajarkanlah dia shalat.”
 Kapan seorang anak sudah mulai bisa membedakan tangan kanan dan kiri? 
Umumnya sekitar usia 3-4 tahun. Maka, pada usia itu, anak sudah mulai 
kita ajarkan shalat. Orangtua memberikan contoh dan pelajaran secara 
bertahap.
Selanjutnya, ada lagi hadits lain yang diriwayatkan oleh Ahmad dan Abu Daud yang berbunyi, “Perintahkanlah
 anak-anakmu mendirikan shalat pada saat dia berusia tujuh tahun, dan 
pukullah dia bila tidak mau (meninggalkan ) shalat ketika sudah berumur 
10 tahun, dan pisahkanlah tidurnya.” Jadi, ada tahapan yang jelas 
dalam mendidik anak untuk shalat. Sudah dibiasakan sejak usia balita, 
mulai ditegaskan usia 7 tahun. Bila di usia 10 tahun, anak tidak 
melaksanakannya orangtua boleh memukulnya dengan pukulan yang mendidik. 
Pukulan tidak boleh dilakukan kepada anak di bawah usia kurang dari 10 
tahun. Tujuan pemberian hukuman kepada anak jelas untuk menekankan 
tentang pentingnya penegakan shalat. Beberapa ulama mengingatkan bahwa 
pukulan kepada anak adalah pukulan sayang, bukan pukulan yang 
meninggalkan bekas atau pun yang menyakitkan.
Penting diingat oleh kita semua, bahwa 
memberikan contoh secara konsisten, memunculkan kebiasaan yang baik pada
 lingkungan rumah sehingga menjadi kebiasaan seluruh anggota keluarga, 
memberikan nasihat melalui cerita dan kisah serta perhatian penuh 
terhadap proses terbentuknya perilaku positif yang diharapkan, jauh 
lebih penting daripada pemberian hukuman kepada anak. Ingat, bahwa fokus
 orangtua adalah terletak pada terbentuknya perilaku positif pada anak, 
bukannya pemberian hukuman yang salah-salah hanya merupakan bentuk dari 
pelampiasan emosi orangtua. Mau mandi dipukul, mau makan dijewer, mau 
belajar disabet sapu. Wah, jangan-jangan orangtua yang bermasalah pada 
pengendalian emosinya.
Kapan hukuman boleh diberikan?
Sebagai tahapan terakhir dalam proses 
pembentukan perilaku positif anak, orangtua perlu mengingat beberapa hal
 berikut terkait dengan pemberian hukuman kepada anak.
Pertama, lemah-lembut dan 
kasih-sayang adalah dasar dalam pendidikan anak. Hal ini sejalan dengan 
hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari yang berbunyi, “Hendaklah kamu bersikap lemah-lembut dan kasih-sayang, hindarilah sifat keras dan keji.”
 Hadits ini jelas menegaskan dalam proses pendidikan anak harus didasari
 pada sifat lemah lembut dan kasih sayang, dan menghindari sifat keras 
dan keji.
Kedua, dalam 
upaya pendidikan dan perbaikan, hukuman yang diberikan dilakukan secara 
bertahap. Dari yang paling ringan hingga yang paling keras. Misalnya, 
berawal dengan menunjukkan kesalahan dengan pengarahan yang membekas, 
ringkas dan jelas dengan tutur kata yang tidak keras dan tidak 
mencelanya. Atau, dengan menunjukkan kesalahan melalui isyarat. Bila 
cara tersebut belum ampuh, maka kesalahan ditunjukkan dengan nada 
‘kecaman’, sedangkan bentuk pemukulan diberikan sebagai tahapan 
terakhir. Bila pada tahapan sebelumnya, permasalahan sudah teratasi, 
maka pemukulan tidak perlu dilakukan.
Ketiga, hukuman
 yang berbentuk pemukulan tidak boleh dilakukan orangtua dalam keadaan 
marah karena akan membahayakan anak. Tidak dibenarkan juga memukul 
anggota badan yang peka seperti kepala, muka, dada dan perut. Hal ini 
sesuai dengan hadits Rasulullah saw dalam riwayat Abu Daud, “…janganlah kamu memukul muka.”
Keempat, pemukulan sebagai bentuk hukuman tidak boleh keras dan menyakitkan. Pukulan tersebut berkisar antara satu hingga tiga kali.
Kelima, tidak memukul anak sebelum ia berusia sepuluh tahun.
Keenam, jika 
kesalahan anak adalah kesalahan yang dibuatnya pertama kali, hendaknya 
ia diberikan kesempatan untuk bertaubat dan meminta maaf tanpa 
memberikan hukuman. Serta memberikannya kesempatan berjanji untuk tidak 
mengulangi kesalahan.
Ketujuh, tidak menghukum anak di depan orang lain.
Kedelapan, 
tidak membahas secara berulang-ulang kesalahannya di depan orang lain, 
apalagi bila ia sudah berjanji untuk tidak mengulangi kesalahannya.
Bila sedemikian panjang 
daftar yang perlu kita ingat dalam memberikan hukuman, sebenarnya dengan
 kata lain hukuman tak perlu kita lakukan bila tahapan sebelumnya 
berjalan dengan baik. Jangan lupa, hukuman harus terfokus pada 
pembentukan perilaku positif anak sehingga anak sadar akan kesalahannya.
 Bukan pelampiasan kemarahan orangtua, lho.
(Sarah Handayani)
 
 
 
 
0 Komentar:
Posting Komentar
Kehormatan buat kami jika selesai baca Anda beri komentar atas Artikel ini....tapi, Mohon Maaf kawan Komentarnya yang sopan ya....he..he..he..