“Sudahkah kamu menerima pembayaran harga lembumu?” tanya Abu Nawas kepada anak muda pada malam harinya.
“Hamba diperdaya menteri itu,” jawab si pemuda dengan wajah nelangsa. “Lembu hilang, uang melayang.”
“Coba ceritakan kata Abu Nawas. “Aku kira jual beli berjalan lancar sehingga aku cepat-cepat pergi karena ada urusan lain.”
Maka diceritakanlah kejadian itu dengan nada mendongkol. “Sialan menteri itu,” ujar si pemuda.
“Oh begitu, kata Abu Nawas.
 “Jangan sedih, Insya Allah aku akan membantu.” Kemudian Abu Nawas minta
 si pemuda bersedia melaksanakan rencana yang telah disusunnya untuk 
membunuh si menteri zalim itu.
Keesokan harinya jam tujuh malam seorang wanita cantik berhenti di 
depan rumah si menteri zalim, ia tampak membuang sesuatu yang dicabut 
dari kakinya.
“Hai Adinda, dari mana gerangan asalmu?” tiba-tiba muncul suara dari sudut yang gelap. Suara itu ternyata milik menteri yang saat itu juga sedang berjalan-jalan di depan rumahnya. Hatinya amat girang begitu melihat wajah cantik yang tiba-tiba muncul di depan matanya.
“Hamba orang desa, tadi ketika berjalan bersama suami, kaki hamba 
tertusuk duri. Hamba terpaksa berhenti untuk menarik duri dari kaki, 
suami hamba tidak mau menunggu dan hamba ditinggal di sini. Hamba tidak 
tahu jalan pulang ke rumah,” kata si perempuan itu dengan penuh iba, 
lalu ia pun menangis.
“Jika Adinda mau, silahkan mampir ke rumah hamba sambil menunggu 
suami Adinda. Barangkali dia sekarang sedang mencari Adinda,” kata si 
menteri. “Jangan takut.”
“Hamba takut kepada istri dan pelayan-pelayan tuan,” kata perempuan muda itu.
“Kalau begitu, silahkan Adinda duduk di sini, Kanda akan menyuruh 
istri pergi ke rumah ibunya bersama pelayan-pelayan itu,” kata si 
menteri. Maka sang menteri pun tergopoh-gopoh masuk ke rumahnya.
“Hai Adinda, katanya, “Sekarang ini sebaiknya Adinda pergi ke rumah 
ibu karena sudah lama rasanya Adinda tidak kesana.” “Jika demikian 
kehendak Kakanda, baiklah hamba kesana,” jawab istri si menteri.
“Hai Adinda, kata si menteri kepada perempuan muda itu setelah rumah 
kosong. “Silahkan masuk ke rumah hamba, karena istri dan semua pelayan 
telah pergi.”
“Baiklah, katanya sambil mengikuti langkah si menteri. Di dalam rumah dilihatnya tali gantungan seperti yang diceritakan Abu Nawas. Menteri itu mendorong si perempuan muda ke kamar dan mengajak tidur, namun ia mencoba menolak sambil merajuk.
“Sebelum kita tidur, cobalah Kakanda bergantung sebentar pada tali 
itu,” rayunya. “Seumur hidup hamba belum pernah melihat orang bergantung
 ditali.”
Karena terdorong oleh nafsu syahwat yang menggelora, permintaan itu 
dituruti si menteri. “Tolong Adinda pegang tali gantungan ini kuat-kuat,
 jangan dilepaskan,” katanya.
Menteri itu kemudian memasukkan badannya kedalam tali gantungan, 
setelah itu si perempuan gadungan melepaskan tali yang dipegangnya 
sehingga badan si menteri menggantung dengan posisi kaki di atas dan 
kepala di bawah. Si perempuan pun mengeluarkan sebuah pentungan lalu 
memukul badan dan kepala si menteri zalim itu sambil berujar. “Hai 
menteri zalim, aku bukan perempuan, akulah pemilik lembu yang kau tipu, 
sekarang terimalah pembalasanku. Aku minta harga lembuku, ayo bayar… 
bayar” Bak – Bik – Buk… darah segar mengalir dari mulut, hidung dan 
telinga menteri itu, sehingga ia tidak sadarkan diri. “Mampuslah kau,” 
teriak si pemuda.
Mengira bahwa si menteri sudah mati, masuklah perempuan palsu itu ke 
dalam rumah, dan menjarah barang-barang yang ada, sesudah itu barulah ia
 pulang dengan menggondol harta kekayaan si menteri zalim
Di tempat lain si istri menteri mendapat firasat buruk, hatinya 
berebar-debar keras. “Ada apa gerangan di rumahku?” pikirnya dalam hati,
 maka dengan bergegas pulanglah ia ke rumah.
Setiba di rumah ia menjerit-jerit histeris lantaran dilihatnya 
suaminya tergantung pingsan dengan kepala berdarah dan harta bendanya 
ludes. Ketika tali gantungan dilepas, ternyata suaminya masih bernafas, 
meski terengah-engah. Kemudian dipercikkan air mawar ke sekujur tubuhnya
 dan kepala menteri hingga siuman dan membuka matanya.
“Ya Kakanda……” ucap si istri sambil menangis meratapi nasib suaminya. “Kenapa Kanda bisa begini?”
Si menteri tidak bisa segera menjawab pertanyaan itu, tapi lambat 
laun setelah kesadarannya mulai pulih ia pun bisa menceritakan semua 
yang dialaminya. Setelah itu ia jatuh sakit.
Abu Nawas khawatir demi mendengar kabar itu, buru-buru ditemui si 
anak muda itu di rumahnya. “Mengapa tidak kamu matikan dia?” tanya Abu 
Nawas. “Bukankah aku sudah pesan, jangan kamu tinggal sebelum dia mati. 
Sekarang sebaiknya kamu tambah penyakit menteri itu supaya mati.
“Bagaimana caranya?” tanya si pemuda, ia tidak kalah khawatir dengan Abu Nawas.
“Berpura-puralah menjadi dukun, karena saat ini menteri itu sedang 
mencari dukun, kata Abu Nawas. “Selanjutnya usahakan dengan caramu 
sendiri agar rumah itu kosong, dan setelah kosong pukulilah menteri itu 
sampai mati, sebelum mati, jangan kamu tinggalkan dia.”
Esok harinya datanglah seorang kakek tua bertongkat ke rumah menteri 
itu, ia memakai jubah panjang dan serban putih dengan langkah 
terbungkuk-bungkuk.
“Tuan, tanya seorang pelayan menteri itu, siapakah tuan ini?
“Aku ini dukun,” jawabnya, “Kenapa kamu menyapa aku di tengah jalan 
seperti ini, tidak sopan berbuat seperti itu kepada orang tua.”
“Maaf,” kata si pelayan, “Hamba pelayan menteri, beliau saat ini 
sedang sakit dan perlu dukun, jika tuan suka, silahkan masuk ke 
rumahnya.” “Ya tuan dukun, obatilah hamba ini,” kata si menteri itu 
setelah dukun palsu itu duduk di samping pembaringannya. “Hamba sakit…” 
lama-kelamaan suaranya hilang.
“Moga-moga hamba bisa mengobati tuan,” jawab si dukun. “Tapi bisakah 
pelayan-pelayan itu disuruh mencari daun kayu lengkap dengan akarnya. 
Daun itu memang sulit dicari tetapi banyak gunanya untuk penyembuhan 
tuan.”
Menteri itu kemudian menyuruh tiga orang pelayan untuk memenuhi 
permintaan dukun. Tak lama kemudian dukun itu berkata lagi, “Maaf, hamba
 lupa, adalagi daun kayu yang lain yang hamba butuhkan. Tolong pelayan 
yang lain disuruh mencari.” Maka menteri itu pun menyuruh pelayan 
lainnya sehingga rumah itu kosong karena anak dan istri menteri itu 
sabelumnya sudah pergi ke luar rumah.
Setelah yakin bahwa rumah itu kosong, diambil sebuah pentungan dan 
dipukulnya sekujur badan menteri itu sampai babak belur dan mengeluarkan
 darah dari hidung, telinga dan mulunya. “Hai menteri, aku bukan dukun, 
tapi pemilik lembu yang kamu tipu. Mana bayaranmu!” katanya.
Menteri itu pingsan dan tidak bernafas lagi. Dikiranya si menteri 
sudah mati, cepat-cepat dukun itu pergi, karena khawatir para pelayan 
itu segera kembali. “Puas hatiku karena menteri itu sudah mati,” pikir 
si dukun palsu.
Kira-kira satu jam kemudian para pelayan itu kembali dengan tangan 
hampa diikuti oleh istri menteri. Mereka cemas melihat tuannya 
tergeletak dan dukun itu tidak ada lagi. Lalu istri menteri itu menyiram
 badan suaminya dengan air mawar yang diminumkan seteguk ke mulutnya. 
Tak lama kemudian menteri itu sadar namun belum bisa bicara.
“Ya istriku, orang itu bukan dukun, tetapi yang punya lembu itu juga,” kata si menteri setelah sadar. “Panggil orang-orang alim dan kabarkan kepada mereka bahwa aku sudah mati. Masukkan badanku ke dalam keranda bersama sekerat batang pisang yang dibungkus kain putih sebagaimana mayat laiknya. Tetapi yang dimasukkan ke liang lahat nanti adalah batang pisang tadi, sedang badanku tetap dalam keranda dan dibawa pulang kembali. Dengan demikian orang yang punya lembu itu tidak akan datang lagi kemari. Kapan-kapan bila aku sembuh akan kucari orang itu untuk membuat perhitungan terakhir.”
Semua pesan itu dikerjakan oleh istri menteri itu dengan baik. Tetap 
dasar Abu Nawas, ia berhasil mencium akal busuk itu. Maka ditemuinya si 
pemilik lembu. “Kenapa tidak kamu pukul sampai mati menteri itu?” 
bertanya Abu Nawas.
“Orang itu sudah mati,” kata si pemuda. “Ia tidak bergerak dan tidak 
bernafas lagi, karena darah keluar dari hidung dan telinganya.”
“Saat ini menteri itu masih hidup tapi pura-pura mati,” kata Abu 
Nawas. Lalu diceritakannya rencana menteri tadi dan rencananya sendiri 
agar menteri itu benar-benart mati, sebab jika ia masih hidup juga aku 
tidak dapat menjamin nasibmu kelak,”
“Hai saudara, maukan Anda aku bayar untuk menaiki kuda yang cepat 
larinya?” kata Abu Nawas kepada seorang joki yang berbadan tinggi tegap,
 dekatilah kuburan menteri itu, jika jenazah sudah sampai ke liang 
kubur, berteriaklah keras-keras, “Akulah pemilik lembu”, kemudian 
paculah kudamu sekencang-kencangnya. “Setuju?” “Nah, ini uangnya, 
pergilah.”
Esok harinya iring-iringan jenazah menteri itu berangkat dari rumah 
lengkat dengan orang besar, orang alim, sanak keluarga, dan sahabat 
almarhum. Begitu sampai dekat liang lahat, terdengar teriakan “Akulah 
pemilik lembu”.
Suasana di kuburan menjadi kacau, karena para pelayat kemudian 
berlarian ingin mengejar orang yang berteriak tadi. Namun apa lacur, 
orang yang dikejar sudah kabur dengan kudanya, sementara keranda 
ditinggal tidak terurus. Pada saat itulah si pemuda pemilik lembu yang 
sebenarnya muncul.
Rupanya ia ikut dalam barisan pelayat. “Hai menteri, akulah pemilik 
lembu yang kamu tipu, sekarang saatnya kamu harus membayar lunas 
utangmu. Tidak akan kubiarkan nyawamu tetap bersarang di badanmu.” Lalu 
di pukulnya menteri itu sekuat tenaga hingga benar-benar mati. Setelah 
itu ia pulang ke rumah.
Akan halnya joki tadi, akhirnya ia terkejar dan tertangkap dan 
kemudian dibawa ke kuburan menteri. Upacara pemakaman yang tadinya hanya
 pura-pura menjadi upacara sungguhan karena menteri yang diusung di 
dalam keranda itu benar-benar mati, badannya hancur dan tidak bernafas 
lagi tanpa diketahui siapa pelakunya. Hal itu mengagetkan seluruh 
pelayat.
Setelah itu orang-orang pulang ke rumah masing-masing dengan hati 
masygul dan heran. Sedangkan si joki dibawa oleh anak-anak menteri 
kerumahnya. “Apa sebab kamu berteriak dan mengaku sebagai orang yang 
punya lembu?” tanya mereka.
“Aku tidak tahu sebabnya, aku hanya diupah untuk berteriak seperti itu,” jawab si joki.
“Siapa yang mengupah kamu?” Tanya anak-anak meteri. “Abu Nawas,” jawab si joki.
“Hai Abu Nawas,” kata anak menteri setelah menemukan Abu Nawas, 
kenapa kamu mengupah untuk berteriak seperti itu dan menganiaya 
bapakku?”
“Menganiaya bapakmu?” Abu Nawas balik bertanya. “Bertanyalah yang benar.”
“Engkau suruh orang itu berteriak mengaku sebagai orang yang punya 
lembu, maka kami kejar dia, karena yang menyebabkan bapakku sakit tiada 
lain adalah orang yang punya lembu, bukan dari Allah.
“Oh begitu,” kata Abu Nawas sambil senyum kecil. “Jadi kamu tidak 
tahu bahwa orang yang punya lembu itu sudah ditakdirkan Allah untuk 
berbuat demikian karena bapakmu terlalu zalim, penipu, penganiaya, 
pengisap darah orang kecil, dan sebagainya. Rasanya tidak usah 
diperpanjang masalah ini, yang akan membuatmu malu besar, lebih baik 
kamu doakan saja agar bapakmu diampuni Allah.”
Anak menteri itu terdiam, sebab ia tahu semua perbuatan bapaknya. 
“Barangkali memang demikian takdir bapakku,” pikirnya dalam hati sambil 
berjalan pulang ke rumah.
Warga kota itu – termasuk orang yang punya lembu – merasa senang dan 
tenang hatinya karena tidak ada lagi orang yang akan berbuat zalim.
Sedangkan Abu Nawas segera kembali ke rumahnya. “Niatku sudah 
terlaksana,” pikirnya. “Siapa tahu barangkali Khalifah Harun Al-Rasyid 
sedang menanti kedatanganku ke istana beliau, lagi pula aku juga sudah 
sangat rindu kepada Baginda Sultan.”
Referensi: Alkisah Nomor 17 / 16 – 29 Agt 2004
Habis
Habis
 
 
 
 
0 Komentar:
Posting Komentar
Kehormatan buat kami jika selesai baca Anda beri komentar atas Artikel ini....tapi, Mohon Maaf kawan Komentarnya yang sopan ya....he..he..he..