Oleh: Hepi Andi Bastoni, MA
Madinah gempar. Fitnah keji terhadap keluarga Nabi saw
merebak. Aisyah, istri Nabi saw dituduh berselingkuh dengan Shafwan bin
Muaththal. Tuduhan itu seolah menemukan fakta: keduanya ditemukan
berjalan berduaan sepulang dari perang Bani Musthaliq!
Lalu, apa yang dilakukan Nabi saw mengatasi fitnah ini? Lembaran
sejarah mengajarkan kepada kita, bagaimana beliau memberantas fenomena
ini sampai akarnya. Sebuah sikap yang sangat perlu diteladani oleh
qiyadah dalam memberikan terapi atas peristiwa semacam ini.
Pertama, melakukan konfirmasi dan klarifikasi. Ini yang kita
saksikan melalui beberapa pertanyaan yang diajukan Rasulullah saw,
kepada Zaid sebelum memutuskan kebenaran laporannya. Nabi saw sendiri
melakukan hal itu. Qiyadah mana pun seharusnya melakukan klarifikasi
sebelum mengeluarkan keputusan.
Jamaah yang tidak menghargai anggotanya takkan mendapatkan manfaat
darinya di kala mengalami cobaan. Saat ini setelah era Rasulullah saw,
kepada kita tidak diturunkan wahyu yang dapat mengabsahkan kejadian atau
mementahkannya. Untuk itu, ada data-data dimana Islam telah menetapkan
syarat-syaratnya, di antaranya adanya kesaksian dan keadilan atau
data-data yang dihasilkan oleh ilmu pengetahuan modern, berupa alat
perekam atau foto yang merekam data-data pendukung, yang dapat membantu
keluasan dan kebenaran penyidik.
Kedua, dalam menanggulangi merebaknya fitnah ini, Rasulullah
saw pergi di waktu yang tidak biasanya sebagaimana yang dituturkan Ibnu
Hisyam dalam Sirah, “Rasulullah saw pergi bersama beberapa orang
shahabat pada siang itu hingga sore, dilanjutkan malam itu hingga pagi
harinya, kemudian di hari berikutnya hingga mereka disengat matahari.
Kemudian beliau berhenti di suatu tempat bersama para shahabat hingga
mereka mengantuk dan tertidur. Rasulullah saw melakukan semua itu agar
mereka dapat melupakan pembicaraan seputar kejadian sebelumnya.
Tahapan berikutnya adalah menyibukkan orang-orang dari membicarakan
fitnah itu. Sebab, masyarakat yang tidak sibuk, biasanya tak ada yang
mereka bicarakan selain fitnah dan gosip. Qiyadah yang bijak dapat
mengisi waktu kosong para pemudanya dengan sesuatu yang produktif atau
dengan latihan kecakapan yang sesuai bagi mereka atau jihad langsung
melawan musuh dimana tenaga dan kekuatan mereka bisa manfaatkan, dan
mengalihkan mereka dari kasak-kusuk dan berbagai pertanyaan. Atau
menghindarkan mereka dari reaksi positif maupun negatif terhadap
kebohongan semacam ini. Kalau hari ini, pergaulan umat Islam dipenuhi
fitnah dan gosip, itu lantaran banyaknya pengangguran di kalangan kaum
Muslimin. Kalau mereka sibuk, takkan terjadi fitnah, atau fitnah takkan
menyebar pesat.
Ketiga, mengemukakan pendapat kepada orang-orang dekat. Beliau
melakukan pembicaraan itu kepada anggota inti pasukan. Tidak kepada
semua orang. Beliau melakukan terapi dengan penuh kebijakan. Jika hal
ini dicerna secara baik oleh jamaah Islam, pasti ia dapat menghindari
banyak fitnah. Hendaknya masalah ketakutan hanya tersebar di kalangan
tertentu dan tidak kepada semua orang.
Berbeda dengan orang-orang munafik. Mereka biasa menyebarkan
desas-desus dan menikmati rasa takut itu. Hal ini sebagaimana
digambarkan Allah dengan firman-Nya, “Dan apabila datang kepada mereka suatu berita tentang keamanan atau ketakutan lalu menyiarkannya.
Dan kalau mereka menyerahkannya kepada Rasul dan Ulil Amri di antara
mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan
dapat) mengetahuinya dari mereka (Rasul dan Ulil Amri)…” (QS an-Nisa’ (4) : 83).
Pelajaran bagi Kaum Muslimin
Bagi kaum Muslimin, peristiwa ini mengangkat derajat mereka. Kisah
ini menjadi ujian berat dan menyakitkan bagi Rasulullah saw, Aisyah, Abu
Bakar ash-Shiddiq, Ummu Ruman sang ibu, dan Shafwan bin Muaththal yang
disaksikan Rasulullah saw sebagai seorang yang baik dan Allah telah
memberi rezeki kepadanya kesyahidan di jalan-Nya sesudah itu.
Seorang Mukmin tentu akan merasa sakit dengan sakitnya Rasulullah
saw. Seorang mukmin tidak dapat menahan dirinya dari tangisan, mungkin
tidak tahu apakah ia menangisi Rasulullah saw yang dirusak kehormatannya
padahal beliau sebaik-baik makhluk, atau Aisyah, wanita yang paling
dicintai Rasulullah saw, dan tidaklah Allah memberikan rasa cinta
kepadanya terhadap Rasul-Nya kecuali karena kemuliaan dan kehormatannya.
Bagaimana tidak, ia sebaik-baik keluarga Quraisy, keluarga yang
seluruhnya beriman; ayahnya, kakeknya, dan saudara-saudaranya. Allah SWT
Maha Mengetahui mengatakan setelah orang-orang beiman terombang-ambing
dalam musibah dari peristiwa ini selama hampir lima puluh hari, “…..janganlah kamu kira bahwa berita bohong itu buruk bagi kamu bahkan ia adalah baik bagi kamu,…” (QS an-Nur: 11).
Sekalipun di dalamnya ada kesulitan besar dan rasa menyakitkan namun
ada sisi pelajaran dan pendidikan bagi umat yang jauh lebih baik dari
itu semua. Sedangkan orang-orang yang dicoba dengan peristiwa ini,
pahalanya di sisi Allah SWT tidak akan dizalimi sekecil apapun,
“Tidaklah seorang hamba dizalimi lalu ia bersabar atas kezaliman itu
maka Allah pasti menambah kemuliaan baginya.”[1]
Betapa Aisyah terangkat kemuliaannya saat pembuktian dirinya bersih
dari segala tuduhan berasal dari al-Qur’an yang selalu dibaca hingga
hari kiamat. Padahal klimaks dari harapan Aisyah adalah bilamana
Rasulullah saw mendapatkan mimpi tentang kebersihan dirinya. Maka,
siapakah yang masih bisa menuduhnya setelah Allah membersihkannya?
Kalaupun ada yang masih menuduh Aisyah, berarti ia telah mengingkari
firman Allah.
Alangkah celakanya kaum Syiah dengan keyakinannya yang batil terkait
tuduhan mereka kepada Aisyah dan kepada Abu Bakar. Peristiwa ini adalah
fitnah yang justru makin menampakkan kemunafikan orang-orang munafiq dan
keyakinan orang-orang beriman.
Orang yang mendesain fitnah ini, Allah janjikan dengan siksaan pedih
di akhirat. Sementara orang-orang beriman yang menganggap remeh dengan
menyebarkan berita bohong ini dan menyangkanya sebagai hal yang biasa,
Allah didik mereka dengan penegakan hukum hadd atas mereka. Sehingga
mereka menjadi ibrah bagi orang-orang beriman lainnya.
Betapa sering kejadian buruk dan cobaan karena anggapan remeh
terhadap dosa kecil. Di antara hasil dari peristiwa ini adalah munculnya
fitnah antara kaum Aus dan Khazraj hingga mereka nyaris saling bunuh.
Barangkali aturan tentang diharamkannya menuduh dan hukum hadd-nya
serta diharamkannya menyebarkan berita yang belum pasti selain
peristiwa ini, tidak akan mendapatkan sambutan besar seperti sambutan
datangnya ayat-ayat setelah bencana besar ini. Maka, peristiwa ini bisa
berarti pendidikan rabbani bagi umat. Dengan demikian, akan menambah
keimanan orang-orang beriman dan menampakkan kemunafikan orang-orang
munafiq.
Dari peritiwa ini juga dipetik penjelasan bagaimana Allah memberi
jalan keluar dan kebahagiaan setelah masa sulit dan ujian. Hingga ketika
permasalahan sudah sampai di puncaknya, Allah memberikan sesuatu yang
dapat menenangkan jiwa mereka dari wahyu kepada Rasulullah saw sehingga
turun laksana gerimis di saat kekeringan dan kepayahan.
Imam az-Zamakhzyari mengatakan, makna “itu baik bagi mereka” adalah
karena mereka memperoleh pahala yang besar sebab sebelumnya mereka
mendapat cobaan dan bencana yang besar. Bahwa ayat yang turun sebanyak
18 (delapan belas) yang masing-masing mempunyai makna tersendiri, ini
semua adalah penghormatan kepada Rasulullah saw dan sebagai hiburan bagi
beliau, serta penyucian bagi Ummul Mukminin dan pembersihan bagi
keluarganya, sekaligus sebagai peringatan bagi siapa saja yang
membicarakannya atau mendengarnya. Serta peringatan kembali bagi semua
yang mendengar dan membaca (ayat) hingga hari kiamat, di samping
berbagai pelajaran agama, hukum-hukum dan etika yang harus diketahui
oleh semuanya.[2]
Imam al-Qurthubi menambahkan, Imam Malik berkata, “Siapa saja yang
menghujat Abu Bakar, ia layak mendapatkan hukuman. Siapa yang menghujat
Umar, layak mendapat hukuman. Siapa saja yang menghujat Aisyah, maka ia
dibunuh. Sebab Allah SWT berfirman, “Allah memperingatkan kamu agar (jangan) kembali memperbuat yang seperti itu selama-lamanya. Jika kamu orang-orang yang beriman”. (QS. an-Nur: 17).
Ibnul-Arabi menambahkan juga, para pengikut Madzhab Syafii
mengatakan, “Siapa yang menghujat Aisyah, maka ia mendapatkan hukuman
sebagaimana terhadap orang-orang beriman lainnya, dan bukan berarti “…jika kamu orang-orang yang beriman”
tentang Aisyah karena perbuatan tersebut kufur. Namun, seperti yang
disabdakan Nabi saw, “Tidaklah seorang beriman ketika ia tidak menjamin
keselamatan tetangganya dari keburukannya.”[3]
Terkait peristiwa ini, Allah menurunkan firmannya dalam surah an-Nuur ayat 11 sampai dengan 21.
Sebulan kemudian keraguan dan keguncangan itu hilang dari Madinah.
Kedok kaum munafik pun tersingkap. Menurut Ibnu Ishaq, setelah peristiwa
itu, apabila melakukan tindakan-tindakan baru, ia (Abdullah bin Ubay,
gembong munafik) dicela oleh kaumnya sendiri.[4]
Selain hampir menyebabkan perang antar saudara, peristiwa ini telah
membuat Shafwan bin Muaththal dan Hassan bin Tsabit terlibat
perkelahian. Ibnu Ishaq menuturkan, begitu mendengar kabar tersebut,
Shafwan mendatangi Hasan bin Tsabit dengan membawa pedang. Shafwan
menghadang Hasan lalu memukulnya.
Ketika melihat hal itu, Tsabit bin Qais bin Syammas meloncat ke arah
Shafwan. Ia segera mengikat kedua tangannya ke leher dan membawanya ke
Bani Harits bin Khazraj. Dalam perjalanan ia bertemu dengan Abdullah bin
Rawahah. Abdullah heran melihat kondisi mereka. Lalu, kasus tersebut
dibawa ke Rasulullah saw.
Beliau segera memanggil Hasan bin Tsabit dan menasihatinya. Sebagai
ganti rugi atas pemukulan Shafwan, Nabi saw memberi Tsabit sebuah istana
Biyaraha yang semula milik Thalhah bin Sahl yang telah diberikan kepada
Rasulullah saw. Selain itu, Nabi saw juga memberikan seorang budaknya
Sirrin hadiah dari raja Mesir kepada Hasan yang kemudian melahirkan anak
bernama Abdurahman bin Hassan.
Belakangan, menurut Aisyah, orang-orang pun bertanya tentang Shafwan.
Didapati ternyata dia seorang yang impoten dan tidak bisa menggauli
wanita. Tak lama setelah itu, Shafwan gugur sebagai syahid.[5]
Sebuah riwayat dari jalur Urwah bin Zubair disebutkan, Aisyah mengatakan, “Demi Allah, sesungguhnya laki-laki yang di-issu-kan
itu berkata, ‘Maha Suci Allah, demi Dzat diriku ada pada-Nya, saya
tidak pernah memasuki bilik wanita sama sekali.” Setelah itu ia gugur di
medan jihad di jalan Allah.[6]
Jadi, dilihat dari berbagai penjelasan, berita buruk tentang Aisyah
ini terbantahkan. Ia hanyalah peristiwa yang menjadi makanan empuk
orang-orang munafik untuk memecah belah umat Islam saat itu.[7]
Orang Munafik Tak Bekerja Sendiri
Ketika fitnah Haditsul Ifki merebak, yang langsung terlintas dalam
bayangan kita adanya berita itu akibat ulah orang-orang munafik.
Merekalah yang merancang semua itu. Namun, al-Qur’an menjelaskan bukti
bahwa yang membuat gosip itu justru sekelompok ‘oknum’ kaum Mukmimin.
Allah berfirman, “Sesungguhnya orang-orang yang membawa berita bohong
itu adalah dari goongan kalian juga. Janganlah kalian kira bahwa berita
bohong itu buruk bagi kalian, bahkan ia adalah baik bagi kalian…” (QS an-Nur (24) : 11).
Secara berturut-turut ayat al-Qur’an mendebat kaum Mukminin yang terlibat pada peristiwa tersebut. “Mengapa
di waktu kalian mendengar berita bohong itu orang-orang Mukminin dan
Mukminat tidak bersangka baik terhadap diri mereka sendiri, dan (mengapa
tidak) berkata, “Ini adalah suatu berita bohong yang nyata,” (QS an-Nur (24) : 12 )
Sementara itu peran yang dimainkan orang-orang munafik adalah
meniup-niupkan berita ini dan menyebarkannya. Aisyah mengisyaratkan
bahwa yang mengambil bagian terbesar dalam peristiwa ini adalah Abdullah
bin Ubay, sebagaimana yang dikatakannya, “Bagian terbesar pada
peristiwa itu adalah Abdullah bin Ubay bin Salul yang memberitakan
kepada beberapa orang Khazraj tentang apa yang dikatakan Misthah dan ia
menjaminnya.”
Aisyah menceritakan tersebarnya berita itu, “….ketika mereka telah
tenang orang itu muncul dan menuntun kendaraanku, lalu orang-orang
penyebar gosip itu mengatakan apa yang mereka katakan dan rombongan
menjadi gempar. Demi Allah, aku tidak tahu-menahu sedikit pun soal
itu….”
Orang-orang munafik tidak akan berani menyebarkan berita itu serta
mengguncingkannya setelah kebusukan mereka terbongkar habis melalui Ibnu
Ubay. Tersebarnya berita itu dan tergoncangnya barisan Islam membuat
peluang mereka sangat terbuka lebar untuk terlibat dan untuk menyalakan
api dan balik tabit. Barangkali Abdullah bin Ubay sendiri yang tampak
dalam nash ini sebagai orang yang mengambil bagian terbesar.
Di kalangan barisan Islam, terdapat tiga orang yang berperan dalam
peristiwa ini. Yakni, Hassan bin Tsabit, penyair Rasulullah saw, orang
yang Rasulullah saw pernah bersabda kepadanya, “Seranglah dan Ruhul
Qudus bersamamu!”. Lalu, Misthah bin Utsatsah, salah seorang Muhajirin
dan termasuk veteran Perang Badar, dan anak bibi Aisyah yang tinggal di
rumah Abu Bakar. Kemudian, Hamnah binti Jahsy, anak bibi Rasulullah saw
dan istri seorang syahid dalam Islam Mush’ab bin Umair.
Jadi, fenomena orang-orang munafik sebagai suatu kelompok muncul
pertama kali menjelang Perang Uhud dan mencapai puncak dan bahayanya
bagi barisan Islam pada Perang Uhud itu sendiri. Selanjutnya satu demi
satu habis hanya tinggal beberapa orang yang bisa dihitung dengan jari.
Barisan Islam menjadi bersih dan murni, berkat tarbiyah Nabi saw,
yang mendorong banyak di antara mereka masuk Islam dan bagus
keislamannya. Fenomena ini muncul kembali pasca-Fathu Makkah saat Islam
mulai menyabar ke seantero negeri Arab. Yang paling mencolok dalam
fenomena tersebut adalah pada Perang Tabuk, dimana surah Bara’ah
membongkar rencana dan strategi jahat mereka.
Munculnya kemunafikan pada Fathu Makkah ini disebabkan banyaknya
orang masuk Islam secara terpaksa. Rasa takut membuat mereka menampakkan
keislamannya dan menyembunyikan kekafiran. Ini yang menjadi benih
kemunafikan. Wallahu a’lam.
[1] Bagian
dari Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi 9/199, 200 dalam Bab
Zuhud. Ia mengatakan: ini hadits hasan shahih. Diriwayatkan oleh Imam
Ahmad 4/231 dari Hadits Abi Kabisyah al-Anmari. Hadits ini juga
mempunyai penguat dari riwayat Abu Hurairah dalam shahih Muslim dengan
redaksi; “dan tidaklah seorang hamba bertawadhu kecuali Allah
meninggikannya.
[2] Al-Kasysyaf 3/217,218
[3] HR Bukhari 10/457 bab Adab, Imam Muslim 2/17 tentang Iman
[4]Ibnu Hisyam II/297
[5] Ibnu Hisyam II/230
[6] HR Bukhari 7/486-499, dan Imam Muslim 18/102-113 daam Bab Taubat
0 Komentar:
Posting Komentar
Kehormatan buat kami jika selesai baca Anda beri komentar atas Artikel ini....tapi, Mohon Maaf kawan Komentarnya yang sopan ya....he..he..he..