Oleh : Cahyadi Takariawan
Satu Murid, Dua Guru
Syahdan. Di zaman dahulu kala, ada seorang Raja yang mempunyai
seorang ahli sihir. Ketika ahli sihir merasa dirinya telah tua,
menghadaplah ia kepada Raja, menerangkan bahwa sudah dekat ajal bagi
dirinya. Dia meminta kepada Raja agar mencarikan seorang anak muda
tempat dia akan menurunkan ilmu sihirnya. Rajapun mengabulkan
permintaannya dengan memberikan seorang anak muda pilihan.
Untuk menimba ilmu sihir, tiap hari si anak muda harus mendatangi
rumah ahli sihir. Di antara rumah ahli sihir dan tempat tinggalnya,
tinggallah seorang Alim yang ahli ibadah. Setiap kali lewat rumah
Alim, dia senantiasa singgah berteduh. Di saat itulah ia banyak
mendengarkan ajaran sang Alim yang menarik hatinya. Sampai-sampai ia
selalu datang terlambat di rumah ahli sihir sehingga membuat ahli
sihir marah dan memukulnya. Begitu pula ketika pulang, si anak
muda senantiasa singgah di tempat si Alim untuk mendengarkan
ajarannya, sehingga ia terlambat sampai ke rumah, dan orang
tuanyapun menjadi marah.
Mendengar hal itu si Alim mengajarkan kepada anak muda suatu
jawaban; kalau ditanya ahli sihir mengapa terlambat, maka jawabnya,
“Saya terlambat karena terhambat turun dari rumah.” Kalau ditanya
di rumah kenapa terlambat, maka jawabnya, “Guruku si tukang sihir
menahan aku.” Maka sekarang ia dapat senantiasa mendengarkan ajaran
sang Alim tanpa pernah lagi mendapat pukulan dan kemarahan.
Menguji Ajaran Sang Guru
Suatu hari terhambatlah orang-orang di jalan karena ada binatang
buas. Orang-orang merasa sangat ketakutan. Tatkala si anak muda
melintas di jalan itu, ia berkata, “Akan kuuji, manakah yang lebih
bermanfaat. Ajaran tukang sihir atau ajaran si Alim” Lalu diambilnya
sebuah batu dan diucapkannya, “Ya Allah, kalau ajaran si Alim itu yang
benar di sisi Engkau daripada ajaran tukang sihir, maka binasakanlah
binatang buas ini, agar orang-orang yang menggunakan jalan ini tidak
lagi terhalang.”
Dilemparkannya batu itu sekuat mungkin, hingga mengenai binatang
buas … dan tewaslah binatang itu ! Sesampai di hadapan si Alim,
diceriterakanlah peristiwa yang baru saja dialaminya. “Wahai anak
muda,” kata si Alim, “Engkau telah mencapai derajat yang lebih tinggi
daripada yang aku capai! Tetapi aku peringatkan kepadamu, bahwa
sebentar lagi kamu akan mendapat banyak cobaan. Maka apabila cobaan
itu datang, janganlah kamu beritahukan hubungan antara kamu dengan
aku!”
Anda masih ingat kisah anak muda di atas berikut kelanjutan kisahnya? Ya, itu adalah kisah Ghulam,
seorang anak muda pembawa risalah iman yang dikader oleh dua orang guru
sekaligus. Pada awalnya ia adalah anak muda polos yang tidak banyak
mengerti rona kehidupan. Namun dari penampilan dirinya, tampak ia anak
muda berbakat. Maka raja memilih dia untuk dikader oleh ahli sihir
kerajaan.
Namun lihatlah, iapun menemukan sebuah tempat belajar lain. Seorang
guru nan bijaksana, sang Alim yang mengajarkan risalah tauhid, melihat
potensi pada diri Ghulam si anak muda. Pada titik interaksi yang terjadi
dalam waktu yang tidak terlalu lama durasinya, sang Alim mampu memikat
hati anak muda, sampai menimbulkan komitmen untuk senantiasa datang,
kendatipun mendapatkan pukulan dari ahli sihir dan orang tuanya.
Daya Tarik Sang Guru
Dalam kaitan dengan mengawali proses tarbiyah, sang Alim dalam kisah
di atas memiliki kemampuan yang luar biasa untuk merekrut dan
mempengaruhi si anak muda. Dalam waktu pertemuan yang singkat, ia mampu
memberikan daya tarik lebih kepada si anak muda. Terbukti, si anak muda
selalu saja datang ke rumah si Alim. Pertentangan ilmu yang didapatkan
dari ahli sihir dan sang Alim, mampu dia selesaikan dengan jalan yang
sangat meyakinkan.
Ini adalah pelajaran yang sangart berharga bagi seluruh murabi, bahwa
mutarbi anda bisa jadi juga memiliki “guru-guru” lain. Anda harus bisa
menjadi rujukan yang lebih dipercaya, dan menimbulkan komitmen tanpa
adanya rasa keterpaksaan. Disinilah dituntut kemampuan para murabi untuk
senantiasa memiliki daya tarik tersendiri, untuk mengajak, dan akhirnya
membimbing dalam program tarbiyah.
Si Alim hanya memiliki waktu beberapa menit saja di awalnya, saat si
anak muda singgah berteduh. Namun waktu yang singkat ini mampu
dimanfaatkan oleh si Alim untuk menimbulkan ketertarikan yang kuat pada
si anak muda. Setelah ada ketertarikan awal, muncullah komitmen untuk
senantiasa datang setiap kali ia berangkat dan pulang dari ahli sihir.
Dengan demikian ada kesempatan yang lebih leluasa pada si Alim untuk
melakukan tarbiyah kepada si anak muda, yang terjadi dalam waktu rutin
dan terus menerus.
Jika pada titik awal pertemuan yang hanya singkat sang Alim tidak
berhasil membuat ketertarikan pada anak muda, niscaya tarbiyah
berikutnya tidak akan bisa terjadi. Anak muda tersebut dengan antusias
mengikuti pelajaran-pelajaran si Alim, tanpa ada rasa keterpaksaan sama
sekali. Jika ia datang kepada ahli sihir, semata-mata karena kewajiban
yang diberikan Raja kepada dirinya. Namun ketika ia datang rutin ke
rumah sang Alim, adalah sebuah pilihan sadar, yang ternyata membawa
resiko.
Ia berani mengambil resiko keterlambatan di rumah ahli sihir maupun
di rumah keluarganya, dan bahkan mendapatkan hukuman pukulan, namun
tidak menyebabkan ia berhenti mengikuti pengajaran di rumah si Alim.
Inilah komitmen yang sangat bagus, telah ditampakkan oleh si anak muda.
Jika ia belajar kepada ahli sihir, ada tendensi bahwa nantinya akan
menjadi tukang sihir kerajaan, yang dekat dengan raja. Namun saat
belajar kepada si Alim, hanya komitmen yang membuat ia tetap bertahan,
tanpa tendensi yang bersifat duniawi.
Kematian yang Diperhitungkan Dampaknya
Anda ingat akhir kisah tersebut ? Ya, Ghulam, si anak muda ini
memilih mati dengan cara yang indah. Kematiannya membawa dampak seluruh
penduduk menjadi beriman kepada Allah, sehingga Raja marah dan membakar
penduduk yang beriman ke dalam parit api. Inilah hasil tarbiyah, telah
melahirkan kekuatan komitmen untuk memperjuangkan kebenaran walaupun
sang Alim harus terbantai oleh Raja, dan si anak muda terbunuh oleh
tangan Raja.
“Wahai Raja! Anda tidak akan dapat membunuh saya kecuali bila
mengerjakan apa yang saya perintahkan …! Kumpulkan semua penduduk di
suatu tempat, kemudian naikkan aku di atas papan kayu dan ambillah satu
anak panah kepunyaan saya dari dalam busurnya. Bidiklah saya dengan
tepat dengan mengucapkan: Dengan nama Allah, Tuhan anak muda ini.
Dengan cara ini, anda dapat membunuh saya.”
Karena ingin segera membinasakan anak muda, Raja melakukan apa
yang dikehendakinya. Setelah rakyat berkumpul dan anak muda ditempatkan
di atas papan kayu, Raja mengucapkan, “Dengan nama Allah, Tuhan anak
muda ini”, dipanahlah anak muda tepat di jantungnya hingga meninggal,
syahid.
Tiba-tiba seluruh penduduk yang hadir terpekik mengucapkan, “Dengan nama Allah, Tuhan anak muda ini.”
Itulah kualitas anak muda pembawa kebenaran dalam kisah ashabul ukhdud.
Ia syahid membela keyakinan iman, dan dengan kecerdasan yang dimiliki,
ia mampu mengubah kematiannya menjadi momentum untuk memberikan
peringatan kepada masyarakat, hingga akhirnya mereka beriman kepada
Allah. Tentu saja, ini adalah hasil tarbiyah sang Alim kepada si anak
muda.
Tetapi ingat, awalnya adalah sebuah ketertarikan……
Jika seseorang datang kepada anda, namun ia hanya memiliki waktu 10
menit untuk bertanya dan mendengar keterangan anda tentang tarbiyah,
maka apakah yang akan anda sampaikan kepadanya sehingga ia akan tertarik
dan pada akhirnya bersedia mengikuti kegiatan tarbiyah ? Inilah salah
satu kunci sukses si Alim mentarbiyah si anak muda. Waktu berteduh yang
hanya singkat, telah menghasilkan ketertarikan yang akhirnya berlanjut
menjadi keterikatan dan komitmen.
0 Komentar:
Posting Komentar
Kehormatan buat kami jika selesai baca Anda beri komentar atas Artikel ini....tapi, Mohon Maaf kawan Komentarnya yang sopan ya....he..he..he..