Satu ketika, seseorang pernah di tanya tentang dua pilihan, ringan, tidak berat, namun sangat bermakna. “Seandainya hanya ada dua pilihan dalam hidup ini.,” begitu pertanyaan ini berawal, “…antara menjadi cemara dan rumput, mana yang akan kamu pilih..?” Saudaraku,
sebelum melanjutkan membaca, coba renungkan dalam hati, lalu mantapkan,
akan menjadi apa ketika Antum di berikan pertanyaan ini, beserta
alasannya.
Nah, apa yang Antum pilih..? Silakan jawab sebelum
melanjutkan, sebutkan beserta alasan yang Antum pikirkan. Terserah mau
di keraskan, atau sekadar menjawab dalam hati. Silakan…
Apa yang Antum pilih..? Apapun yang Antum pilih, coba simak berikut ini.
Seandainya
Antum memilih cemara, alasan apakah yang Antum kemukakan..? Karena
cemara itu indah..? Agar setiap orang dapat merasakan keindahan alam
saat melihat Antum..? Agar dapat terlihat dari jauh, dan menenteramkan
hati setiap orang yang melihatnya..?
Saudaraku, apalah artinya
kita sedap di pandang orang, menyejukkan di hati orang, namun hancur dan
tumbang ketika badai menghadang..? Saudaraku, begitulah cemara.
Ketinggiannya terkadang malah membunuh dirinya sendiri. Posisinya malah
membahayakan dirinya sendiri. Memang ia menyejukkan, tetapi, bukankah
kalau kita menyejukkan orang lain, tapi tidak menyejukkan dirinya
sendiri, apalah maknanya..?
Meskipun begitu, apakah salah bagi
seorang manusia berada di posisi tinggi? Sebenarnya, tidak. Tidak ada
yang melarang seseorang berada di posisi atas. Tidak. Bahkan hakikat
menyebutkan, kehidupan seseorang itu seperti roda. Terkadang posisi kita
berada di atas, dan terkadang berada di bawah. Namun saudaraku, berada
di posisi tinggi menjadi salah ketika kita melupakan bahwa ada yang di
bawah. Berada di posisi tinggi menjadi salah ketika kita melupakan dulu
kita pernah hanya sebuah batang lemah tak berdaya. Ianya menjadi salah
ketika, kita melupakan siapa kita sebenarnya.
Menjadi tinggi,
besar, dan indah tak akan berarti ketika di terpa badai, kita hancur
berantakan. Patah. Lalu membutuhkan waktu yang lama untuk tumbuh kembali
menjadi seindah sebelumnya. Ya, layaknya cemara. Memang indah, namun
mudah patah. Mengapa tak mencoba menjadi rumput. Atau sekadar melihatnya
saja. Merenunginya, juga mengambil banyak hikmah darinya.
Rumput
berada di bawah, jauh dari pucuk tinggi si cemara. Rumput selalu
terinjak. Seakan keberadaannya antara ada dan tiada. Coba, adakah yang
menyesal telah menginjak rumput..? Tidak ada saya kira. Tapi kalau
mematahkan cemara tetangga, minta maafnya bukan main.
Namun
saudaraku, bukankah rumput yang kita injak pagi hari, sudah berdiri
tegak malam nanti..? Begitu cepat ia bangkit. Dan, bukankah ketika
badai, topan, puting beliung, rerumputan hanya ikut bergoyang
menimbulkan harmoni keindahan dengan sang badai..? Rusak posisi mereka,
namun dengan cepat kembali seperti sedia kala.
Bukankah orang yang
ikhlas selalu malu untuk di kenal..? Merendah seperti si rumput, yang
enggan mempertontonkan dirinya.
Dia hanya tahu, hanya yakin, biarlah
Allah yang membalas segala amalan, tak perlu ada orang lain yang melihat
indahnya amalan. Bukankah seorang muslim adalah seorang yang harus bisa
bangkit setelah jatuhnya..? Karena mereka memiliki Allah Yang Maha
Besar untuk mengatasi setiap masalah. Seperti rumput seharusnya kita,
tidak menganggap masalah itu sebagai sesuatu yang menghalangi jalan.
Tetapi, cobalah menari bersamanya, dan tersenyumlah, lalu bisikkan
dengan mesra padanya, “masalah, aku tak peduli seberapa pun besarnya dirimu, aku hanya tahu, ada Allah bersamaku…”.
Namun ternyata, terlalu banyak orang malu jadi rumput, sehingga memaksa diri menjadi cemara yang rapuh…
Lalu… mengapa malu menjadi rumput…?
0 Komentar:
Posting Komentar
Kehormatan buat kami jika selesai baca Anda beri komentar atas Artikel ini....tapi, Mohon Maaf kawan Komentarnya yang sopan ya....he..he..he..