“Berangkatlah dalam keadaan ringan ataupun berat!”?
-Abu Ayyub Al Anshari, Radhiyallaahu ‘Anhu-
Beberapa
 paragraf ini adalah penugasan (lebih tepatnya hukuman/iqob) karena 
kelalaian menunaikan kewajiban konfirmasi pada pertemuan rutinan. 
Temanya “Ruhul Istijabah” dalam bahasa keseharian kita bisa dimaknai 
“Semangat Menyambut Seruan”. Sebenarnya merupakan kemirisan bagi kami 
untuk menjalankan tugas ini. Karena memang benar-benar menyindir diri 
kami sendiri. Pilihan kami sebenarnya mudah, mencomot sana-sini semua 
tulisan berkaitan tema ini yang banyak tersebar di internet, 
menggabungkan, lalu selesai. Tentunya dengan terlebih dahulu membacanya 
hingga paham.
Tapi kami lebih memilih 
untuk mengungkapkannya dalam bahasa kami. Dengan tulisan dan struktur 
kata yang kami buat sendiri. Bukan karena kami telah paham dan menguasai
 tema ini. Bukan. Justru semoga usaha ini menjadi cambuk ruhiyah bagi 
kami untuk benar-benar tajarrud(totalitas) dalam menyempurnakan kafa’ah 
kami sebagai du’at, kader, dan penggerak di jalan ini. Karena jalan 
dakwah membutuhkan pribadi-pribadi yang senantiasa berkualitas dan mampu
 untuk menerima rintangan, dan tantangan yang merupakan keniscayaan di 
jalan ini. semoga Allah menyempurnakan apa-apa yang kurang dari diri 
kami.
Ruhul Istijabah. Kami 
seharusnya telah lama tahu mengenai makna kata ini. Tapi kenyataannya 
kami hanya tahu. Kami pelum memahaminya. Bagaimana mungkin kami mengaku 
memahaminya jika kami sering terlambat datang ke pertemuan rutin kami. 
Bagaimana kami mengaku paham jika setiap kali syuro kami lebih sering 
terlambat, sehingga efektifitas fungsi syuro itu berkurang karena 
keterlambatan kami. Bagaimana disebut paham jika target-target amal 
harian kami sering tidak tercapai. Sedangkan hingga saat ini kami 
menyebut diri kami aktivis dakwah, atau setidaknya mengamini orang-orang
 yang menganggap kami aktivis dakwah. Astaghfirullah.
Ruhul istijabah itu tidak
 akan tercapai tanpa adanya kekuatan iman(qowiyul iman) dalam diri 
seseorang. Karena apa lagi jika bukan iman yang mengakar kuat yang 
menggerakkan keberanian kaum muslimin untuk bergerak di medan Badr. Apa 
lagi jika bukan iman yang menghujam ke dasar hati yang menggerakkan si 
tua-pincang Amr bin Jamuh untuk memenuhi panggilan Jihad di medan Uhud 
sementara dia mendapat keringanan dari Rasulullah, “Sehingga dengan kaki
 pincangku ini aku akan dapat berjalan-jalan di Surga!”. Apa lagi ya? 
Jika bukan iman yang melahirkan bashirah dan tekad yang tajam yang 
menggerakkan tubuh Anas bin Nadhir untuk bergerak maju kedepan disaat 
pasukan muslim mundur terdesak. “Ya Saad!” teriaknya, “Surga! Surga! Aku
 mencium baunya di bukit Uhud!”. Lagi-lagi di Medan Uhud. Bahkan, apa 
lagi jika bukan iman yang menumbuhkan kecintaan kepada Rabb melebihi 
kecintaan pada istri, yang membuat Hanzhalah bangkit dari kenikmatan 
malam pertamanya dengan sang istri untuk bersegera memenuhi panggilan 
Jihad, padahal dia sedang junub. Hingga para malaikatlah yang 
memandikannya.
Lalu dimana posisi kami 
dari berderet-deret barisan mereka –Ridhwanallah alaihim- yang telah 
menunjukkan komitmennya di jalan mulia ini? Sedangkan kami? Liqo’ saja 
masih sering telat, bahkan banyak alasan untuk tidak hadir, terget amal 
harian yang sering kosong, dan sederet amal-amal yang sungguh memalukan 
dibanding pendahulu kami. Astaghfirullah.
Ruhul Istijabah itu 
seharusnya 4 aspek sekaligus. Aspek fikriyah(pikiran, kesadaran), 
nafsiyah(perasaan, emosi), maaliyah(harta), harakiyah(pergerakan, amal).
 Di etalase sejarah generasi kebanggaan ummat ini kita akan menemui 
semua aspek itu benar-benar mereka usahakan untuk semaksimal yang mereka
 mampu. Pada aspek fikriyah, kita mengetahui kecermelangan pemikiran dan
 inisiatif Habab bin Al Mundzir untuk berani mengusulkan pendapat 
strategi perang yang berbeda dari keinginan Rasulullah di medan Badr. 
Lalu Allah memenangkan mereka. Kita pula tentu masih mengingat 
kegemilangan perang Khandaq, di saat keterbekuan Madinah karena 
pengepungan, Salman al Farisi masih dengan jernihnya memberikan usulan 
dari pemikirannya untuk membuat parit-parit penghalau musuh. Lalu Allah 
memenangkan mereka.
“Apakah orang yang mengetahui 
bahwasanya apa yang diturunkan kepadamu dari Rabb¬mu itu benar, sama 
dengan orang yang buta (tidak menggunakan akal pikirannya). Hanya 
orang-orang yang berakal saja yang dapat mengambil pelajaran “ Ar- Ra’d 
ayat 19.
Pada aspek nafsiyah apa 
lagi. Telah maklum di pemikiran kita tentang umat-umat binaan Rasulullah
 yang begitu bersemangat menyambut seruan jihad. Mereka segera bergegas 
tanpa ada rasa takut, keluh kesah, dan gundah gulana. Semua menyambut 
dengan wajah yang cerah, karena mereka telah mencium dua bau, bau 
kemenangan umat islam, atau bau wangi nan indahnya Surga.
”Berangkatlah kamu dalam keadaan 
merasa ringgan ataupun ataupun merasa berat, dan berjihadlah dengan 
harta dan dirimu di jalan Allah, yang demikian itu adalah lebih baik 
bagimu jika kamu mengetahui.” (At-Taubah :41). 
Pada aspek maaliyah kita 
mengenal pribadi-pribadi seperti Utsman bin Affan dan Abdurrahman bin 
Auf yang terkenal dengan kontribusi hartanya terhadap Islam yang sungguh
 hebat. Bahkan tak kalah Abu bakar Ash Shiddiq yang dengan hartanya yang
 tidak sebanyak dua sahabat kaya diatas, malah lebih hebat lagi, seluruh
 hartanya ia berikan untuk islam. “Bagi anak dan istriku,” ujarnya, “aku
 tinggalkan Allah dan RasulNya.”
“Hai orang-orang yang beriman, 
sukakah kamu Aku tunjukan suatu perniagaan yang dapat menyelamatkan imu 
dari azab yang pedih ?Yaitu, kamu beriman pada Allah dan RasuINya dan 
berjihad di jalan Alllah dengan harta dan jiwamu. Itulah yang lebih baik
 bagi kamu jika kamu mengetahuinya. ” (As-Shaff : 10- 11) 
 Pada aspek harakiyah, 
kita berkaca pada produktivitas dakwah para sahabat Rasulullah bahkan 
setelah meninggalnya beliau, wilayah yang dibebaskan Islam semakin luas 
setiap waktunya. Karena mereka memahami bahwa ilmu dan keimanan mereka 
tidak akan sempurna tanpa adanya amal yang menghidupkannya. Tanpa adanya
 khidmah pada produktivitas amal.
 Lagi-lagi kami harus 
menggigit jari. Ah, sungguh kami bahkan lebih kerdil dari sebutir buih 
bila dibandingkan dengan pribadi-pribadi mereka. Seharusnya kami malu 
dengan gelar ‘Aktivis Dakwah’ yang tertera di kepala kami. Kami sungguh 
tak menyadari atau seringkali melupakan beban besar yang tertempa di 
pundak kami. Beban yang bahkan Rasulullah beruban karenanya. Tapi kami, 
sekedar tergerak pun jarang. Astaghfirullah.
Maka tetaplah 
bertarbiyah, tetaplah berkumpul dengan sejawat shalih lainnya. Sungguh 
di zaman fitnah ini apa lagi yang akan menguatkan dan mendekatkan kita 
pada Allah, selain binar cerah wajah penuh ketawadhu’an saudara-saudara 
kita. Bukankah mukmin dengan mukmin lainnya adalah bagaikan cermin. Maka
 ambillah apa yang kurang di dirimu dari saudaramu.
Ah Allah, surga itu 
terasa jauh. Amat jauh. Kiranya Engkau himpun yang berserakan dari diri 
kami. Mengembalikan apa-apa yang hilang dari diri kami. Dan melengkapi 
apa-apa yang kurang dari diri kami. Sehingga kami pantas untuk memikul 
risalah mulia yang orang-orang mulia dahulu telah memikulnya.
Jika engkau cinta 
maka dakwah adalah Tadhhiyah. Bukti kesetiaan dan kesiapan memberi, 
pantang meminta. Bersedialah banyak kehilangan dengan sedikit menerima. 
Karena yang disisi Allah lebih mulia, sedang di sisimu fana belaka. 
Sedangkan tiap tetes keringat berpahala lipat ganda
- Ustadz Aus Hidayat Nur –
- Ustadz Aus Hidayat Nur –
Kami haturkan khidmah 
penghormatan dan terima kasih kepada murabbi kami yang telah dengan 
sabar membimbing kami untuk tetap istiqomah di jalan ini. sungguh telah 
mengalir dari beliau ilmu dan hikmah yang tak ternilai berharganya. Juga
 saudara-saudara sejawat kami yang telah banyak mencermini keshalihan 
pada kami. Semoga dengannya Allah memberkahi usrah kita, dan mengekalkan
 tali ukhuwahnya.
sumber : http://moslemmuda.wordpress.com/2012/05/18/semangat-menyambut-seruan/ 
 
 
 
 
0 Komentar:
Posting Komentar
Kehormatan buat kami jika selesai baca Anda beri komentar atas Artikel ini....tapi, Mohon Maaf kawan Komentarnya yang sopan ya....he..he..he..