Ternyata di luar pondok itu ladang dakwah sangatlah luas. Bagaikan 
bumi dan langit di satukan, sangatlah luas. Sangat banyak di antara para
 masyrakat yang menyediakan telinganya bahkan hatinya untuk mendengarkan
 seruan dakwah kita.
Di setiap persimpangan jalan menuju tempat saya menuntut ilmu, selalu
 ada anak-anak muda yang menanti seruan dakwah kita. Bahkan ketika waktu
 senggang seorang tukang parkirpun sebenarnya itu adalah ladang dakwah 
kita yang belum tersentuh. Mereka hanya menanti dengan duduk termenung 
di kala waktu senggang itu. Entahlah apa yang mereka nantikan.. 
mungkinkah seruan dakwah kita? Saya selalu berharap begitu.
Hari ini saya mulai ngajar TPA (Taman Pendidikan Al Qur’an) di sebuah
 masjid. Dan ternyata sungguh mencengangkan, mereka yang sangat 
bersemangat belajar Al Qur’an walaupun dengan terbata-bata, adalah 
generasi harapan kita yang akan menyerukan dakwah ini sampai ke pelosok 
negeri. Kita perlu menempanya lagi agar generasi harapan ini lebih baik 
dari pada generasi kita. Mereka adalah bibit unggul dakwa kita. Yang 
pasti, kita harus menggarapnya dengan serius, jangan sampai kita kalah 
dengan pembibitan yang di lakukan oleh PSSI dalam membina genersi 
penerus BP( Bambang Pamungkas) dkk. Mereka sangat sigap dalam 
membinanya, mereka mempunyai tingkatan yang di nilai dari sisi umur ada 
U-12, U-13 sampai U-23 dan para senior dan materi-materi yang  di 
sampaikanpun sangatlah berkelas. Bahkan mereka keluar negeri untuk 
memperbanyak jam terbang, dan kadang mereka mengundang para pemain 
profesional baik dalam maupun luar negeri untuk hanya sekedar “coaching 
clinic”. Bagaimana dengan pembibitan dakwah kita? Masihkah ada proposal 
sanlat yang dananya masih mengambang entah kapan dan berapa jumlah yang 
turun?
Sedangkan ketika saya hendak pulang. Saya melihat banyak ibu-ibu yang
 menanti anak-anaknya pulang dari TPA. Mereka para ibu menanti dari jam 
masuk TPA sekitar jam 16 : 00 – 17:30. Kadang–kadang sambil menanti itu,
 mereka asyik dalam obrolannya. Bahkan ada yang sampai ketiduran di 
tangga masjid untuk menunggu sang buah hatinya. Ya.. Mereka sampai 
tertidur pulas di atas anak tangga. Seandainya antara waktu menunggu 
tersebut ada seorang muharrik atau yang lebih tepatnya seorang 
murabbiyah yang berinisiatif melingkarkan mereka, menampung aspirasi 
tentang masa depan rumah tangga mereka sehingga kita bisa mensinergikan 
ide-ide Islam dalam kehidupan sehari-hari mereka, maka tak terhitung 
berapakah kelompok-kelompok Islami yang dapat mencegah perceraian, KDRT 
dan tindakan tercela lainnya.
Saya baru tersadarkan dari sikap apatis saya, lantas saya bertanya 
pada ibu-ibu yang tertidur di tangga masjid tadi, apa yang membuat ibu 
begitu sabar menunggu kepulangan anak ibu padahal ibu bisa menyuruhya 
pulang sendiri? Ibu itu menjawab dengan antusiasnya : “yang ibu tunggu 
bukanlah seorang bocah biasa, bukan anak cengeng sehingga ibu 
memanjakannya dengan menunggunya pulang, tapi bagi ibu dia adalah ruh 
baru bagi peradaban ini, ruh yang akan memimpin bocah-bocah Indonesia 
untuk melemparkan batu pada tank-tank Yahudi di Palestina sana dan ibu 
ingin selamanya berada di samping ruh peradaban itu.” Ungkapnya dengan 
bola mata berbinar-binar.
Setelah saya evaluasi, ketika saya berada di pondok pesantren sampai 
menjadi alumni seperti sekarang, ternyata ada yang kurang dari mesin 
“pencetak kader dai” itu. Dan benar apa kata ustadz sebelum saya 
beranjak melangkahkan kaki saya keluar pondok, bahwa di luar sana 
sangatlah di butuhkan murabbi/ahi, dan waktu itu kita tak bisa 
membayangkan betapa para muarbbi itu sangat di butuhkan.
Dan saya yakin banyak orang  yang sedang menanti kedatangan para 
murabbi/ah di pelosok–pelosok negeri bahkan di seluruh dunia. Ini bukan 
hanya sebuah angan-angan saya terhadap dakwah yang kita kerjakan. Tapi 
ini memang sebuah fakta yang terjadi di lapangan. Cobalah kita tengok di
 sekolah-sekolah umum yang para pemudanya sedang di mabuk asmara, yang 
masjid sekolahnya berdebu karena jarang yang sujud di atas lantainya. 
Dan terkadang untuk mendekati ke sekolahnya saja kita harus di jegal 
dulu oleh sang satpam, memang kadang untuk yang namanya dakwah apalagi 
bagian administrsinya kita harus berpeluh dulu untuk sampai 
ditengah-tengah lingkaran.
Namun saya selalu yakin bahwa harapan itu selalu ada di antara celah kegelapan yang sangat pekatpun.
Oleh : Ma’rifatullah, Jakarta Timur
Sumber : http://www.fimadani.com/mereka-yang-menanti-kita-murabbi/
 
 
 
 
0 Komentar:
Posting Komentar
Kehormatan buat kami jika selesai baca Anda beri komentar atas Artikel ini....tapi, Mohon Maaf kawan Komentarnya yang sopan ya....he..he..he..