Dalam ilmu bahasa, kita mengenal istilah
pergeseran makna kata. Pergeseran bisa ke arah konotatif positif maupun
negatif. Pergeseran makna berkaitan erat dengan perluasan dan
penyempitan makna kata. Dengan kata lain suatu kata bisa berubah artinya
seiring perputaran masa.
Tentu tiada asap tanpa ada api.
Pergeseran makna kata, tentu ada pelaku yang menggesernya. Jadi siapa
pelakunya?. Pelakunya adalah yang sering berbicara di depan publik. Lalu
siapa saja mereka? Siapa lagi kalau bukan pemerintah, guru, penulis
buku, penceramah, dan media.
Pertanyaan berikutnya, dari kelima itu
siapa yang paling banyak didengar? Ya, pemerintah dan media. Jadi
Pemerintah dan Media memiki andil besar dalam menggeser makna suatu
kata, baik ke arah makna positif, negatif, diperluas, ataupun
dipersempit.
Bila disebutkan kata cinta, mungkin
langsung muncul di benak khalayak akan pacaran, bermesraan, jalan-jalan
berdua, gandengan tangan, dst. Bahkan kata “love” di Amerika identik
dengan seks. Padahal cinta lebih dari pada itu. Dalam bukunya Serial Cinta, Anis Matta berkata, “Begitulah cinta. Ia ditakdirkan jadi kata tanpa benda. Tak terlihat, hanya terasa. Tapi Dahsyat”.
Kata cinta hampir mirip dengan taqwa
yang berarti menjalankan perintahNya dan menjauhi laranganNya. Taqwa
adalah kaedahnya sedangkan cinta yakni lebih kepada semangat, rasa yang
kuat, hati yang betul-betul terpaut untuk menjalankan perintah maupun
larangan.
Kata cinta disebutkan oleh Allah ta’ala
di 16 ayat di al-Qur’an. Kata cinta di al-Qur’an ini berkaitan dengan
cinta seorang hamba kepada Allah ta’ala dan sebaliknya, cintanya orang
kafir kepada berhala-berhala mereka, cintanya manusia kepada wanita,
anak, harta, keluaga, kawan, tanah-ladang, dan pekerjaannya
(perniagaan). Cinta juga berarti saling memberi dan mengikuti (following)
“Katakanlah (Muhammad): “Jika kamu
(benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan
mengampuni dosa-dosamu”. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Ali Imran: 31)
Jadi bila cinta sudah begitu kuat,
seseorang bisa didorong untuk beramal dan bisa pula dibujuk untuk
melakukan maksiat. Seperti hadits Nabi shalallahu ‘alaihi wa salam,
الْÙ…َرْØ¡ُ Ù…َعَ Ù…َÙ†ْ Ø£َØَبَّ ÙŠَÙˆْÙ…َ الْÙ‚ِÙŠَامَØ©ِ (Seseorang itu bersama
orang yang dicintainya pada hari kiamat). Maka pilih, pilah dan
berhati-hatilah dalam mencinta.
Menurut Dr. Thariq Kamal an-Nu’aimi, dalam bukunya Psikologi Suami Istri,
mengatakan bahwa cinta itu berkembang dan terus memancar cahayanya bila
“kadar memberi” diantara keduanya sama atau salah satunya sedikit
melebihi yang lainnya. Apabila pemberian satu pihak jauh tak berbalas
maka kadar cinta diantara dapat lebar bak jurang, jadilah cinta itu
perlahan memudar.
Di lain sisi, Allah murka kepada orang yang lebih mencintai sesuatu lebih dari pada diri-Nya,
“Katakanlah: “jika bapak-bapak,
anak-anak, saudara-saudara, isteri-isteri, kaum keluargamu, harta
kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya,
dan tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai dari Allah
dan Rasul-Nya dan dari berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai
Allah mendatangkan keputusan-Nya”. Dan Allah tidak memberi petunjuk
kepada orang-orang yang fasik” (QS. at-Taubah: 24)
Wallahu a’lam bishawab
sumber BeDa
0 Komentar:
Posting Komentar
Kehormatan buat kami jika selesai baca Anda beri komentar atas Artikel ini....tapi, Mohon Maaf kawan Komentarnya yang sopan ya....he..he..he..