Oleh
Abdullah Haidir, Lc
Berlayar mengarungi samudera, jangan
berharap kau kan tiba di pulau tujuan tanpa cobaan mendera. Sebelum layar
dibentangkan, inilah yang harus terpatri dalam diri menjadi kesadaran. Bahwa
berbagai keindahan dari sebuah pelayaran panjang dan kenikmatan di pulau
tujuan, berbanding lurus dengan besarnya tantangan yang menghadang. Tak kan
pernah kau dapatkan indahnya pemandangan angkasa menjulang di tengah samudera
luas membentang, selagi kau masih takut menembus hempasan gelombang. Ini bukan
sekedar resiko perjalanan, tapi tlah menjadi aksioma tak terbantahkan.
Di sini, di perahu ini, kita sedang merangkai keutuhan dan persaudaraan,
kesetiaan dan keteguhan, apapun posisi dan kedudukan. Karena kita telah
memiliki tujuan, harapan dan mimpi yang sama ingin diwujudkan. Namun, kita
tidak pernah menafikan adanya kesalahan, kelalaian dan kekhilafan, bahkan juga
kejenuhan, kekecewaan, kemarahan, hingga silang sengketa yang tak terhindarkan.
Itu wajar belaka, karena memang tidak satu pun di antara kita yang mengaku
tiada cela tiada dosa. Namun kesamaan tujuan, mimpi dan khayalan, kan segera
menyatukan, meluruskan langkah ke depan, menghapus resah dan kemarahan,
berganti semangat yang terbarukan. Karenanya, kita sambut gembira setiap
arahan, nasehat dan pesan-pesan yang dapat menguatkan serta menyatukan, sekeras
apapun. Tapi, fitnah yang memecah barisan, tuduhan yang memojokkan, umpatan dan
celaan yang menjatuhkan, serta aib yang dibeberkan, apalagi tindakan melobangi
perahu agar kandas atau tenggelam, tidak pernah dapat kami terima, baik secara
logika apalagi perasaan. Bagaimanapun, kami bukan batu yang diam diketuk palu.
Di sini, di perahu ini, kita sedang menjadikan badai dan gelombang sebagai
ujian kejujuran, sarana muhasabah untuk memperteguh perjuangan, juga sarana
belajar menjaga komitmen atas kesepakatan yang tlah dinyatakan. Karenanya,
alih-alih badai ini menceraiberaikan atau meluluhlantakkan, justeru dia menjadi
moment paling tepat untuk semakin rekat, melupakan kesalahpahaman yang sempat
menimbulkan sekat. Mereka di kejauhan, boleh jadi bersorak sorai kegirangan
ketika kita terombang ambing di tengah gelombang, berharap satu persatu dari
kita tenggelam menjemput ajal menjelang. Tapi tahukah mereka? Justeru saat ini
kami rasakan kehangatan tangan saudara kami yang erat saling berpegangan,
justeru saat ini kami rasakan kekhusyuan doa-doa untuk keselamatan dan persatuan,
justeru saat ini kami semakin yakin bahwa seleksi kejujuran memang harus lewat
ujian, justeru saat ini kami jadi dapat membedakan mana nasehat dan mana dendam
kesumat, mana masukan bermanfaat dan mana makar jahat, mana senyum tulus
persaudaraan dan mana senyum sinis permusuhan.
Di sini, di perahu ini, justeru di tengah badai gelombang, kita jadi semakin
mengerti pentingnya nakhoda yang memimpin dan mengendalikan, juga semakin
menyadari pentingnya syura untuk mengambil keputusan, lalu pentingnya belajar menerima
keputusan setelah disyurakan. Adanya kepemimpinan dan syura memang memberatkan,
karena proses jadi panjang, langkah-langkah jadi terhalang aturan, keinginan
sering tertunda menunggu keputusan. Tapi ini tidak dapat kita hindari, karena
kita tidak berlayar sendiri, bergerak sendiri, mengambil keputusan sendiri dan
menanggung resiko sendiri. Justeru karena kita berlayar bersama, maka
kepemimpinan dan syura mutlak harus ada. Kepemimpinan memang bukan nabi yang
maksum dan mendapatkan legalitas wahyu dalam setiap kebijakan, kesalahanpun
bukan sebuah kemustahilan meski tidak kita anggap kebenaran. Tapi kepemimpinan
yang dibangun oleh syura, telah memenuhi syarat untuk disikapi penuh
penghormatan dan ketaatan, sepanjang tidak ada ajakan kemaksiatan. Sebagian
orang boleh jadi mengatakan ini sikap taklid buta, kita katakan, 'Inilah
komitmen kita!' Sebagian lagi katanya merasa kasihan dengan anak buah yang
tidak mengerti banyak persoalan dan hanya ikut ketentuan, kita katakan,
'Kasihanilah dirimu yang sering menghasut tanpa perasaan!'
Di sini, di perahu ini, ketika badai menghantam dari kiri dan kanan, depan dan
belakang, teringat perkataan para shahabat dalam sebuah peperangan, tatkala
musuh dari luar datang menyerang dan orang dekat menelikung dari belakang,
'Inilah yang dijanjikan Allah dan Rasul-Nya' (QS. Al-Ahzab: 22)
Ibnu Katsir menjelaskan, "Maksudnya, inilah janji Allah dan Rasul-Nya
berupa ujian dan cobaan, pertanda kian dekatnya kemenangan."
Riyadh, Rabiul Tsani 1432 H.
*Abdullah Haidir, Ketua Majelis Pertimbangan Wilayah (MPW) DPW PKS Arab Saudi
sumber
0 Komentar:
Posting Komentar
Kehormatan buat kami jika selesai baca Anda beri komentar atas Artikel ini....tapi, Mohon Maaf kawan Komentarnya yang sopan ya....he..he..he..