قُلْ هَلْ نُنَبِّئُكُمْ بِالْأَخْسَرِينَ أَعْمَالًا, الَّذِينَ ضَلَّ 
سَعْيُهُمْ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَهُمْ يَحْسَبُونَ أَنَّهُمْ 
يُحْسِنُونَ صُنْعًا
“Katakanlah: `Apakah akan Kami beritahukan kepadamu tentang orang – 
orang yang paling merugi perbuatannya? Yaitu orang-orang yang telah 
sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka 
menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya.” (QS. al-Kahfi: 
103-104).”
Saudaraku,
Suatu ketika Sa’ad bin Abi Waqqash radhiyallahu ‘anhu pernah ditanya 
oleh Mush’ab, puteranya tentang makna ayat ini, “Siapakah yang dimaksud 
dengan orang-orang yang paling merugi amalannya itu? Apakah mereka itu 
kaum Haruri (orang-orang fasiq)?”
Sa’ad menjawab, “Tidak, mereka tak lain adalah orang-orang Yahudi dan Nasrani.” (HR. Bukhari).
Ibnu Katsir menambahkan, meski ayat ini turun kepada orang-orang 
Yahudi dan Nasrani, tapi ia mencakup siapa saja yang beribadah kepada 
Allah namun tidak sesuai dengan tuntunan Nabi s.a.w.
Ayat ini tergolong Makkiyah sehingga secara akar sejarah kaum 
Muslimin ketika itu belum berinteraksi secara langsung dengan kaum 
Yahudi dan Nasrani ataupun Khawarij. Oleh karenanya, pengkhususan suatu 
kaum bukanlah penghalang bagi kaum yang lain untuk masuk ke dalam 
kelompok tersebut.
Setiap kita tentu berharap hasil dari apa yang telah kita usahakan. 
Sekecil dan sesederhana apapun pekerjaan itu. Bahkan ketika kita 
melabeli perbuatan tersebut dengan “iseng” tapi sejujurnya tetap saja 
kita menyelipkan harapan di sana. Minimal kita merasa senang dan 
terhibur karenanya.
Inilah petaka besar yang akan menimpa kita, jika kita menjadi korban 
tipuan diri kita sendiri. Menganggap telah menunaikan pekerjaan dengan 
sebaik-baiknya, namun rupanya hal itu sama sekali tak bernilai di sisi 
Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Imam al-Qurthubi berkata, “Meski ayat di atas ternarasikan dalam 
bentuk pertanyaan, namun sejatinya Allah tak membutuhkan jawaban dari 
pertanyaan itu, sebab uslub tersebut berfungsi untuk “mengejek” 
orang-orang kafir.
Saudaraku,
Yahya bin Mu’adz rahimahullah pernah bertutur, “Aku heran dengan tipe tiga orang:
- Seseorang beramal, tujuannya ingin disaksikan oleh manusia dan ia mengabaikan amalan untuk disaksikan oleh-Nya semata.
- Seseorang bakhil terhadap hartanya. Rabb-nya meminta pinjaman yang baik kepadanya (berinfaq di jalan-Nya) tetapi ia enggan melakukannya.
- Seseorang yang mengejar tempat dan merapat kepada sesama manusia dan mencintai mereka, padahal Allah Subhanahu wa Ta’ala mengajaknya untuk selalu bersama-Nya dan mencintai-Nya.
Saudaraku,
Sekiranya Yahya bin Muadz rahimahullah hidup di masa sekarang dan 
hidup di tengah-tengah kita, beliau akan lebih heran lagi melihat 
perilaku kita.
Karena sering kita beramal, tapi bertumpu pada penglihatan dan 
pendengaran manusia. Mengharap pujian dan sanjungan dari mereka. 
Mendamba wajah selain wajah-Nya. Tampilan luar begitu indah mempesona, 
tapi bathinnya rapuh dan keropos.
Itulah yang disebut oleh salafus shalih sebagai khusyu’nya orang 
munafiq, di mana zahirnya tampak khusyu’ dalam ibadah, tapi bathinnya 
mengembara ke dunia lain.
Bahkan Ahmad Farid melabeli orang yang menampakkan kebaikan melebihi 
apa yang ada dalam bathinnya, ia telah terjatuh pada perilaku hipokrit.
Senada dengan itu Umar bin Abdul Aziz pernah diingatkan oleh salah 
seorang penasihat ruhaninya, “Jangan engkau menjadi wali Allah keramaian
 manusia, tapi menjadi wali setan dalam kesunyian. Siapa yang berbeda 
antara keshalihan zhahir dengan kebaikan bathin, maka sungguh itu 
merupakan sikap hipokrit.”
Saudaraku,
Di lain waktu, kita berat memberikan pinjaman kepada orang lain yang 
membutuhkan uluran tangan kita. Padahal kita yakin, harta kita akan 
kembali kepada kita dengan cepat atau lambat. Apatah lagi memberikan 
pinjaman kepada Allah s.w.t, yang Dia akan mengembalikannya nun jauh di 
sana dengan bunga tujuh ratus kali lipat dan bahkan lebih dari itu.
Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhu apabila ada sahabat lain yang 
ingin menyertai beliau dalam perjalanan, maka beliau mensyaratkan semua 
keperluan dan bekalnya beliau yang menanggungnya.
Salafus shalih, ketika ada salah seorang pelayannya yang meninggal 
dunia, maka orang lain mengirimkan pelayan lain untuk orang shalih 
tersebut, sebagai bukti kuatnya persaudaraan iman di antara mereka.
Ketika seorang peminta-minta (baca; pengemis) datang ke rumahnya, 
maka Hasan al-Basri berseri-seri wajahnya seraya berkata, “Marhaban 
(selamat datang) kepada orang yang akan mengantarkan bekal kami ke 
akherat tanpa dipungut biaya pengiriman sedikit pun. Dan mengurangi 
beban kami yang sering memberatkan kami untuk beribadah kepada Rabb 
kami.”
Sufyan al-Tsauri berkata kepada orang yang datang meminta-minta 
kepadanya, “Selamat datang kepada orang yang datang untuk membersihkan 
dosa-dosaku.”
Saudaraku,
Kita pun tidak menyangkal, bahwa berdekatan dengan manusia yang kita 
cintai jauh lebih kita sukai daripada berdekatan dengan-Nya. Padahal 
kedekatan kita dengan manusia, jika bukan orang-orang yang mencintai 
kehidupan akherat, akan membawa kita jauh dari-Nya.
Imam Syafi’i rahimahullah pernah bertutur, “Jika tidak berdekatan 
dengan saudara-saudara yang shalih di dunia ini, dan tahajud di waktu 
sahur, tentulah aku enggan melanjutkan perjalanan hidup di dunia fana 
ini.”
Salah seorang salafus shalih pernah mewanti-wanti kita agar tidak 
berdekatan dengan orang yang berkarakter al-ahmaq (kerdil), al-kadzab 
(pendusta) dan al-fajir (gemar melakukan dosa dan pelanggaran agama). 
Al-ahmaq tak akan menularkan kebaikan kepadamu, tidak juga menghindarkan
 keburukan darimu. Diamnya lebih baik dari perkataannya dan berjauhan 
darinya lebih baik daripada berdekatan dengannya.
Sedangkan al-kadzab, tak akan menghadirkan kedamaian dalam hidupmu. 
Menyebarkan keburukanmu kepada orang lain. Menyulut permusuhan dan 
pertikaian antara dirimu dengan yang lain.
Sedangkan al-fajir, selalu berupaya memperindah tampilan luarnya di 
hadapanmu, tapi tak pernah membantumu mengamalkan ajaran agamamu.”
Saudaraku,
Mudah-mudahan kita tidak termasuk dalam golongan tiga tipe manusia yang dipaparkan oleh syekh Yahya bin Muadz ini. Amien wallahu a’lam bishawab.
sumber klik 
 
 
 
