Beberapa waktu lalu saya sempat bertemu kangen dengan seorang sahabat, kebetulan profesi beliau saat ini adalah PELATIH ATLET.
Beliau baru saja memindahkan puteranya dari satu sekolah yang katanya favorite dan unggulan ke sekolah yang biasa-biasa saja.
"Mengapa?" tanya saya "kok anaknya malah di pindahkan dari sekolah unggulan ke sekolah yang biasa-biasa saja ?"
"Oh iya" katanya, "begini", ia coba menjelasakan pada saya, "saya ini kebetulan pelatih Atlet, dalam cabang Lari itu ada lari Sprint (kencang) jarak dekat dan lari Marathon (stamina) jarak jauh."
"Untuk yang pelari Sprint (cepat) itu jarak yang harus di tempuhnya dekat-dekat saja, pada umumnya 100meter dan paling jauh 200 meter. Dalam Lari Sprint ini pelari akan di paksa untuk mengeluarkan segenap kemampuan dan tenaga secara habis-habisan untuk menjadi yang tercepat dan mencapai garis finish 100 atau 200 meteran tadi."
"Sangat berbeda jauh dengan lari marathon (jarak jauh), yang harus benar2 serius tapi santai, pandai mengatur stamina karena jarak yang di tempuh paling dekat adalah 10 kilo meter."
"Begitu juga dengan sekolah, di mata saya yang namanya BELAJAR itu adalah SEBUAH PROSES yang dilakukan mulai sejak kecil sampai kita tutup usia, dan itulah garis FINISH dari seseorang untuk berhenti belajar jika kita sudah tutup usia" Begitu tuturnya.
Wah saya jadi ingat sebuah Hadist bahwa "Belajar itu mulai dari buaian hingga ke liang lahat"
Lalu sahabat saya itu kembali melanjutkan penjelasannya, "Jadi menurut saya, Belajar itu adalah proses yang dilakukan sepanjang hidup, dimulai sejak lahir dan baru berakhir saat kita tutup usia, jika di analogikan proses ini persis seperti LARI MARATHON."
"Tapi saya bingung mengapa sistem sekolah kita dan kebanyakan para orang tua itu membuat BELAJAR SEPERTI orang yang BERLARI SPRINT saling berlomba dengan anak satu kelas atau sekolah lain."
"Anak-anak sejak usia dini sudah dipaksa dijejali berbagai mata pelajaran, di paksa berlari KENCANG (sprint) untuk mengejar nilai KKM, Pelajaran dan sebagainya, ikut kursus, bimbel dari guru dan dari luar dari pagi hingga malam, seperti orang ketakutan ketinggalan lari di garis finish".
"Hingga akhirnya hampir sebagian besar anak bersekolah bukannya malah menjadi pintar dan sehat malah menjadi stress dan gampang marah atau bahkan bermasalah." katanya sambil mengelus dadanya.
"Coba bayangkan apa yang terjadi jika Para Pelari Marathon itu di paksa lari kencang se-kencang-kencangnya seperti para pelari Sprint apa yang akan terjadi"
"Wah bisa-bisa mereka mulai tumbang dan tewas satu persatu di jarak antara 300 sampai 500 meter." kata saya menimpali.
"Begitu juga dengan anak-anak kita", katanya. Jika mereka di paksa untuk lari sprint bisa-bisa mereka mulai tumbang satu demi satu, ada sebagian dari mereka mulai malas atau tidak suka bersekolah, ada yang bahkan mogok sekolah di usia sekitar SD atau SMP dan sebagainya".
"Ah kasihan sekali ya anak-anak kita" katanya sambil menunduk.
Begitu teman saya menjelaskan alasan mengapa ia akhirnya memutuskan untuk memindahkan puteranya dari sekolah yang katanya FAVORIT DAN UNGGULAN ke sekolah yang biasa-biasa saja yang membuat anaknya lebih menikmati proses belajar dan lebih bahagia.
Saya jadi tertegun mendengar penjelasan kawan saya ini.
Lalu saya katakan; "Sebenarnya itu pulalah yang menjadi salah satu alasan mengapa saya memilih untuk Menghomeschoolingkan kedua anak saya." Saya ingin anak saya melihat dan merasakan bahwa belajar itu adalah sebuah proses jangka panjang yang menyenangkan dan membahagiakan di sepanjang hidupnya dan bukan hanya proses sesaat saat ia duduk di bangku sekolah dengan pakaian seragamnya dan selesai saat pembagian Raport atau Ijazah".
Sebagaimana yang pernah di sampaikan oleh Rasul bahwa belajar itu mulai dari buaian hingga ke liang lahat. (Sejak lahir hingga wafat).
Jika merujuk pada apa yang di sampaikan Rasul tersebut jadi sesungguhnya belajar adalah paroses yang mirip seperti lari Marathon, sebuah rencana pencapaian jangka panjang dan jarak jauh yang dimulai sejak lahir baru mencapai garis Finish saat kita tutup usia.
Semoga kisah bincang temu kangen kami ini bisa di jadikan renungan bagi kita semua para orang tua dan guru.
Selamat beraktifitas
Salam syukur penuh berkah.
www.ayahkita.com
Beliau baru saja memindahkan puteranya dari satu sekolah yang katanya favorite dan unggulan ke sekolah yang biasa-biasa saja.
"Mengapa?" tanya saya "kok anaknya malah di pindahkan dari sekolah unggulan ke sekolah yang biasa-biasa saja ?"
"Oh iya" katanya, "begini", ia coba menjelasakan pada saya, "saya ini kebetulan pelatih Atlet, dalam cabang Lari itu ada lari Sprint (kencang) jarak dekat dan lari Marathon (stamina) jarak jauh."
"Untuk yang pelari Sprint (cepat) itu jarak yang harus di tempuhnya dekat-dekat saja, pada umumnya 100meter dan paling jauh 200 meter. Dalam Lari Sprint ini pelari akan di paksa untuk mengeluarkan segenap kemampuan dan tenaga secara habis-habisan untuk menjadi yang tercepat dan mencapai garis finish 100 atau 200 meteran tadi."
"Sangat berbeda jauh dengan lari marathon (jarak jauh), yang harus benar2 serius tapi santai, pandai mengatur stamina karena jarak yang di tempuh paling dekat adalah 10 kilo meter."
"Begitu juga dengan sekolah, di mata saya yang namanya BELAJAR itu adalah SEBUAH PROSES yang dilakukan mulai sejak kecil sampai kita tutup usia, dan itulah garis FINISH dari seseorang untuk berhenti belajar jika kita sudah tutup usia" Begitu tuturnya.
Wah saya jadi ingat sebuah Hadist bahwa "Belajar itu mulai dari buaian hingga ke liang lahat"
Lalu sahabat saya itu kembali melanjutkan penjelasannya, "Jadi menurut saya, Belajar itu adalah proses yang dilakukan sepanjang hidup, dimulai sejak lahir dan baru berakhir saat kita tutup usia, jika di analogikan proses ini persis seperti LARI MARATHON."
"Tapi saya bingung mengapa sistem sekolah kita dan kebanyakan para orang tua itu membuat BELAJAR SEPERTI orang yang BERLARI SPRINT saling berlomba dengan anak satu kelas atau sekolah lain."
"Anak-anak sejak usia dini sudah dipaksa dijejali berbagai mata pelajaran, di paksa berlari KENCANG (sprint) untuk mengejar nilai KKM, Pelajaran dan sebagainya, ikut kursus, bimbel dari guru dan dari luar dari pagi hingga malam, seperti orang ketakutan ketinggalan lari di garis finish".
"Hingga akhirnya hampir sebagian besar anak bersekolah bukannya malah menjadi pintar dan sehat malah menjadi stress dan gampang marah atau bahkan bermasalah." katanya sambil mengelus dadanya.
"Coba bayangkan apa yang terjadi jika Para Pelari Marathon itu di paksa lari kencang se-kencang-kencangnya seperti para pelari Sprint apa yang akan terjadi"
"Wah bisa-bisa mereka mulai tumbang dan tewas satu persatu di jarak antara 300 sampai 500 meter." kata saya menimpali.
"Begitu juga dengan anak-anak kita", katanya. Jika mereka di paksa untuk lari sprint bisa-bisa mereka mulai tumbang satu demi satu, ada sebagian dari mereka mulai malas atau tidak suka bersekolah, ada yang bahkan mogok sekolah di usia sekitar SD atau SMP dan sebagainya".
"Ah kasihan sekali ya anak-anak kita" katanya sambil menunduk.
Begitu teman saya menjelaskan alasan mengapa ia akhirnya memutuskan untuk memindahkan puteranya dari sekolah yang katanya FAVORIT DAN UNGGULAN ke sekolah yang biasa-biasa saja yang membuat anaknya lebih menikmati proses belajar dan lebih bahagia.
Saya jadi tertegun mendengar penjelasan kawan saya ini.
Lalu saya katakan; "Sebenarnya itu pulalah yang menjadi salah satu alasan mengapa saya memilih untuk Menghomeschoolingkan kedua anak saya." Saya ingin anak saya melihat dan merasakan bahwa belajar itu adalah sebuah proses jangka panjang yang menyenangkan dan membahagiakan di sepanjang hidupnya dan bukan hanya proses sesaat saat ia duduk di bangku sekolah dengan pakaian seragamnya dan selesai saat pembagian Raport atau Ijazah".
Sebagaimana yang pernah di sampaikan oleh Rasul bahwa belajar itu mulai dari buaian hingga ke liang lahat. (Sejak lahir hingga wafat).
Jika merujuk pada apa yang di sampaikan Rasul tersebut jadi sesungguhnya belajar adalah paroses yang mirip seperti lari Marathon, sebuah rencana pencapaian jangka panjang dan jarak jauh yang dimulai sejak lahir baru mencapai garis Finish saat kita tutup usia.
Semoga kisah bincang temu kangen kami ini bisa di jadikan renungan bagi kita semua para orang tua dan guru.
Selamat beraktifitas
Salam syukur penuh berkah.
www.ayahkita.com
0 Komentar:
Posting Komentar
Kehormatan buat kami jika selesai baca Anda beri komentar atas Artikel ini....tapi, Mohon Maaf kawan Komentarnya yang sopan ya....he..he..he..