Foto ini diperoleh dari Museum
Angkatan Laut di Prince Hendrik Kade, Rotterdam, Belanda, hasil lukisan
komandan marinir Belanda, Q.M.R.Verhuell, yang menumpas pemberontakan
Ahmad Lussy pada 1871. Verhuell melukis beliau saat membuat berita acara
pemeriksaannya.
Tokoh Muslim ini sebenarnya bernama Ahmad Lussy, tetapi dia lebih dikenal dengan Thomas Mattulessy
yang identik Kristen. Inilah Salah satu contoh deislamisasi dan
penghianatan kaum minor atas sejarah pejuang Muslim di Maluku dan/atau
Indonesia umumnya.
Nunu oli
Nunu seli
Nunu karipatu
Patue karinunu
Terjemahannya : “Saya katakan kepada
kamu sekalian (bahwa) saya adalah beringin besar dan setiap beringin
besar akan tumbang tapi beringin lain akan menggantinya. (demikian pula)
saya katakan kepada kamu sekalian (bahwa) saya adalah batu besar dan
setiap batu besar akan terguling tapi batu lain akan menggantinya”.
Ucapan-ucapan puitis yang penuh tamsil itu diucapkan oleh Kapitan Ahmad Lussy atau dikenal dengan sebutan Pattimura, pahlawan dari Maluku. Saat itu, 16 Desember 1817, tali hukuman gantung telah terlilit di lehernya. Dari ucapan-ucapannya, tampak bahwa Ahmad Lussy
seorang Mujahidin yang berjiwa besar. Dia tidak takut ancaman maut.
Wataknya teguh, memiliki kepribadian dan harga diri di hadapan musuh. Ahmad Lussy juga tampak optimis.
(Buku Sejarah Kapitan Paitimura : M Sapija)
Ada Beberapa Catatan sejarah tentang Dari Pattimura selain M. Nour Tawainella dalam bukunya “ Menggali sejarah dan kearifan lokal Maluku“ :
- “Verhuel Herinneringen van een reis naar Oost Indien” (1835-1836),
- J.B. Van Doren (1857), “Thomas Matulesia, Het Hoofd Der Opstandelingen Van Het Eiland Honimoa”,
- P.H. van der Kemp (1911), “Het herstel van het Nederlandsche gezag in de Molukken in 1817″,
- M. Sapija (1954), Sejarah Perjuangan Pattimura”, Penerbit Djambatan,
- Ben van Kaam (1977), “Ambon door de eeuwen”,
Namun keberanian dan patriotisme Pattimura itu terdistorsi oleh penulisan sejarah. Baik dari pemerintah belanda maupun versi M Sapija, sejarawan Indonesia yang pertama kali menulis buku tentang Pattimura (Baca pendapat M Sapija sumber wikipedia : Pattimura), mengartikan ucapan di ujung maut itu dengan :
“Pattimura-Pattimura tua boleh dihancurkan, tetapi kelak Pattimura-Pattimura muda akan bangkit”.
Namun menurut M. Nour Tawainella, juga seorang sejarawan (Baca : Kredibilitas beliau), penafsiran
Sapija itu tidak pas karena warna tata bahasa Indonesianya terlalu
modern dan berbeda dengan konteks budaya zaman itu.
Di bagian lain, Sapija menafsirkan,
“Selamat tinggal saudara-saudara”, atau “Selamat tinggal tuang-tuang”.
Inipun disanggah Tawainella. Sebab, ucapan seperti itu bukanlah tipikal
Pattimura yang patriotik dan optimis. Puncak kontroversi tentang siapa Pattimura
adalah penyebutan Ahmad Lussy dengan nama Thomas Mattulessy, dari nama
seorang Muslim menjadi seorang Kristen. Hebatnya, masyarakat lebih
percaya kepada predikat Kristen itu, karena Maluku sering diidentikkan
dengan Kristen.
Kapitan Patimura adalah Muslim Taat
Ahmad Lussy atau dalam bahasa
Maluku disebut Mat Lussy, lahir di Hualoy, Seram Selatan (bukan Saparua
seperti yang dikenal dalam sejarah versi pemerintah). Ia bangsawan dari
kerajaan Islam Sahulau, yang saat itu diperintah Sultan Abdurrahman.
Raja ini dikenal pula dengan sebutan Sultan Kasimillah (Kazim
Allah/Asisten Allah). Dalam bahasa Maluku disebut Kasimiliali.
Menurut sejarawan Ahmad Mansyur
Suryanegara, Pattimura adalah seorang Muslim yang taat. Selain keturunan
bangsawan, ia juga seorang ulama. Data sejarah menyebutkan bahwa pada
masa itu semua pemimpin perang di kawasan Maluku adalah bangsawan atau
ulama, atau keduanya.
Bandingkan dengan buku biografi
Pattimura versi pemerintah yang pertama kali terbit. M Sapija menulis,
“Bahwa pahlawan Pattimura tergolong turunan bangsawan dan berasal dari
Nusa Ina (Seram). Ayah beliau yang bernama Antoni Mattulessy adalah anak
dari Kasimiliali Pattimura Mattulessy. Yang terakhir ini adalah putra
raja Sahulau. Sahulau bukan nama orang tetapi nama sebuah negeri yang
terletak dalam sebuah teluk di Seram Selatan”.
Ada kejanggalan dalam keterangan di
atas. Sapija tidak menyebut Sahulau itu adalah kesultanan. Kemudian ada
penipuan dengan menambahkan marga Pattimura Mattulessy. Padahal di
negeri Sahulau tidak ada marga Pattimura atau Mattulessy. Di sana hanya
ada marga Kasimiliali yang leluhur mereka adalah Sultan Abdurrahman.
Jadi asal nama Pattimura dalam buku
sejarah nasional adalah karangan dari Sapija. Sedangkan Mattulessy
bukanlah marga melainkan nama, yaitu Ahmad Lussy. Dan Thomas Mattulessy
sebenarnya tidak pernah ada di dalam sejarah perjuangan rakyat Maluku.
Berbeda dengan Sapija, Mansyur
Suryanegara berpendapat bahwa Pattimura itu marga yang masih ada sampai
sekarang. Dan semua orang yang bermarga Pattimura sekarang ini beragama
Islam. Orang-orang tersebut mengaku ikut agama nenek moyang mereka yaitu
Pattimura.
Masih menurut Mansyur, mayoritas
kerajaan-kerajaan di Maluku adalah kerajaan Islam. Di antaranya adalah
kerajaan Ambon, Herat, dan Jailolo. Begitu banyaknya kerajaan sehingga
orang Arab menyebut kawasan ini dengan Jaziratul Muluk (Negeri
Raja-raja). Sebutan ini kelak dikenal dengan Maluku. Mansyur pun tidak
sependapat dengan Maluku dan Ambon yang sampai kini diidentikkan dengan
Kristen. Penulis buku Menemukan Sejarah (yang menjadi best seller) ini
mengatakan, “Kalau dibilang Ambon itu lebih banyak Kristen, lihat saja
dari udara (dari pesawat), banyak masjid atau banyak
gereja. Kenyataannya, lebih banyak menara masjid daripada gereja.”
Sejarah tentang Pattimura yang ditulis M. Sapija,
dari sudut pandang antropologi juga kurang meyakinkan. Misalnya dalam
melukiskan proses terjadi atau timbulnya seorang kapitan. Menurut
Sapija, gelar kapitan adalah pemberian Belanda. Padahal tidak.
Leluhur bangsa ini, dari sudut sejarah
dan antropologi, adalah homo religiosa (makhluk agamis). Keyakinan
mereka terhadap sesuatu kekuatan di luar jangkauan akal pikiran mereka,
menimbulkan tafsiran yang sulit dicerna rasio modern. Oleh sebab itu,
tingkah laku sosialnya dikendalikan kekuatan-kekuatan alam yang mereka
takuti.
Jiwa mereka bersatu dengan
kekuatan-kekuatan alam, kesaktian-kesaktian khusus yang dimiliki
seseorang. Kesaktian itu kemudian diterima sebagai sesuatu peristiwa
yang mulia dan suci. Bila ia melekat pada seseorang, maka orang itu
adalah lambang dari kekuatan mereka. Dia adalah pemimpin yang dianggap
memiliki kharisma. Sifat-sifat itu melekat dan berproses turun-temurun.
Walaupun kemudian mereka sudah memeluk agama, namun
secara genealogis/silsilah/keturunan adalah turunan pemimpin atau
kapitan. Dari sinilah sebenarnya sebutan “kapitan” yang melekat pada
diri Pattimura itu bermula.
Perjuangan Kapitan Ahmad Lussy
Perlawanan rakyat Maluku terhadap pemerintahan kolonial Hindia Belanda disebabkan beberapa hal :
Pertama, adanya
kekhawatiran dan kecemasan rakyat akan timbulnya kembali kekejaman
pemerintah seperti yang pernah dilakukan pada masa pemerintahan VOC
(Verenigde Oost Indische Compagnie).
Kedua, Belanda
menjalankan praktik-praktik lama yang dijalankan VOC, yaitu
monopoli perdagangan dan pelayaran Hongi. Pelayaran Hongi adalah polisi
laut yang membabat pertanian hasil bumi yang tidak mau menjual kepada
Belanda. Ketiga, rakyat dibebani berbagai kewajiban berat, seperti
kewajiban kerja, penyerahan ikan asin, dendeng, dan kopi.
Akibat penderitaan itu maka rakyat
Maluku bangkit mengangkat senjata. Pada tahun 1817, perlawanan itu
dikomandani oleh Kapitan Ahmad Lussy. Rakyat berhasil merebut Benteng
Duurstede di Saparua. Bahkan residennya yang bernama Van den Bergh
terbunuh. Perlawanan meluas ke Ambon, Seram, dan tempat-tempat lainnya.
Perlawanan rakyat di bawah komando
Kapitan Ahmad Lussy itu terekam dalam tradisi lisan Maluku yang dikenal
dengan petatah-petitih. Tradisi lisan ini justru lebih bisa
dipertanggung jawabkan daripada data tertulis dari Belanda yang
cenderung menyudutkan pahlawan Indonesia. Di antara petatah-petitih
itu adalah sebagai berikut:
“Yami Patasiwa
Yami Patalima
Yami Yama’a Kapitan Mat Lussy
Matulu lalau hato Sapambuine
Ma Parang kua Kompania
Yami yama’a Kapitan Mat Lussy
Isa Nusa messe
Hario,
Hario,
Manu rusi’a yare uleu uleu `o
Manu yasamma yare uleu-uleu `o
Talano utala yare uleu-uleu `o
Melano lette tuttua murine
Yami malawan sua mena miyo
Yami malawan sua muri neyo”
Terjemahannya :
“Kami Patasiwa
Kami Patalima
Kami semua dipimpin Kapitan Ahmad Lussy
Semua turun ke kota Saparua
Berperang dengan Kompeni Belanda
Kami semua dipimpin Kapitan Ahmad Lussy
Menjaga dan mempertahankan
Semua pulau-pulau ini
Tapi pemimpin sudah dibawa ditangkap
Mari pulang semua
Ke kampung halaman masing-masing
Burung-burung garuda (laskar-laskar Hualoy)
Sudah pulang-sudah pulang
Burung-burung talang (laskar-laskar sekutu pulau-pulau)
Sudah pulang-sudah pulang
Ke kampung halaman mereka
Di balik Nunusaku
Kami sudah perang dengan Belanda
Mengepung mereka dari depan
Mengepung mereka dari belakang
Kami sudah perang dengan Belanda
Memukul mereka dari depan
Memukul mereka dari belakang”
Kami Patalima
Kami semua dipimpin Kapitan Ahmad Lussy
Semua turun ke kota Saparua
Berperang dengan Kompeni Belanda
Kami semua dipimpin Kapitan Ahmad Lussy
Menjaga dan mempertahankan
Semua pulau-pulau ini
Tapi pemimpin sudah dibawa ditangkap
Mari pulang semua
Ke kampung halaman masing-masing
Burung-burung garuda (laskar-laskar Hualoy)
Sudah pulang-sudah pulang
Burung-burung talang (laskar-laskar sekutu pulau-pulau)
Sudah pulang-sudah pulang
Ke kampung halaman mereka
Di balik Nunusaku
Kami sudah perang dengan Belanda
Mengepung mereka dari depan
Mengepung mereka dari belakang
Kami sudah perang dengan Belanda
Memukul mereka dari depan
Memukul mereka dari belakang”
Berulangkali Belanda mengerahkan pasukan
untuk menumpas perlawanan rakyat Maluku, tetapi berulangkali pula
Belanda mendapat pukulan berat. Karena itu Belanda meminta bantuan dari
pasukan yang ada di Jakarta. Keadaan jadi berbalik, Belanda semakin kuat
dan perlawanan rakyat Maluku terdesak. Akhirnya Ahmad Lussy dan
kawan-kawan tertangkap Belanda. Pada tanggal 16 Desember 1817 Ahmad
Lussy beserta kawan-kawannya menjalani hukuman gugur di tiang gantungan.
Nama Pattimura sampai saat ini tetap
harum. Namun nama Thomas Mattulessy lebih dikenal daripada Ahmad Lussy
atau Mat Lussy. Menurut Mansyur Suryanegara, memang ada upaya-upaya
deislamisasi dalam penulisan sejarah.
Demikian juga dalam buku Neiuw Guinea karangan
WC Klein tertulis fakta bahwa Islam masuk Papua pada 1569. Barulah pada
5 Februari 1855, dua misionaris Kristen mendarat di Pulau Mansinam,
Manokwari, Papua. Ternyata menurut buku Penduduk Irian Barat (hal
105) sebagian besar tentara dan orang Belanda yang ditempatkan di Papua
adalah rohaniawan Gereja (misionaris Katolik dan Zending Protestan).
…Hal ini semakin menambah bukti bahwa Kristen disebarkan melalui jalan penjajahan dan pertumpahan darah…
Hal ini semakin menambah bukti bahwa
Kristen disebarkan melalui jalan penjajahan dan pertumpahan darah.
Sementara itu Kata ‘Maluku’ diambil dari bahasa Arab muluk (Raja-Raja),
wilayah Maluku saat ini dan Papua awalnya dikuasai dan diperintah oleh
para Raja Islam (Sultan) sebelum akhirnya datang misionaris-misionaris
Kristen yang mempertahankan adat dan tradisi jahiliyyah di wilayah
tersebut. Sehingga upacara-upacara kemusyrikan dan pakaian yang tidak
syar’i dipertahankan dengan dalih pelestarian budaya. Tragisnya,
ternyata hal itu dilanjutkan secara legal oleh pemerintah kita hingga
detik ini.
Dengan di publikasinya tulisan ini, kita
berharap, ada tambahan referensi pembaca untuk membantu kami untuk
menguatkan fakta ini sekaligus perbaikan data yang ada apabila masih
terdapat kekurangan. Kita mengharapkan ada perbaikan sejarah yang telah
di nodai oleh segelintir manusia yang tujuannya terselubung.
Dikutip dari : daulahislam.com
0 Komentar:
Posting Komentar
Kehormatan buat kami jika selesai baca Anda beri komentar atas Artikel ini....tapi, Mohon Maaf kawan Komentarnya yang sopan ya....he..he..he..