Ilustrasi/Shutterstock-Kompas.com |
Saya sangat kaget ketika
membaca tulisan Kompasianer Trisna Wati tentang Hikikomori di Indonesia.
Apalagi katanya justru malah orang-orang disana malah bangga mengatakan
dirinya sendiri sebagai seorang Hikikomori. Geleng-geleng kepala.
Hikikomori mewabah di Indonesia??
Saya bukan seorang
pengamat sosial, tapi saya sangat tertarik terhadap dua masalah sosial
yang terjadi di Jepang dan sudah menjadi momok yang berkepanjangan
hingga akhirnya pemerintah pun turun tangan dan mencari solusi untuk
mengurangi atau bahkan mencegah sampai masalah semakin berkembang di
Jepang.
Pertama adalah
tentang IJIME, bully di Jepang, dulu saya pernah bahas tentang Ijime di
Jepang yang sudah bisa dibilang masalah akut dan masih terlihat jelas
kalau persoalan ini sampai sekarang pun masih membayangi kehidupan
bermasyarakat disini, lalu yang kedua adalah HIKIKOMORI.
Kali ini saya tertarik untuk membahas tentang HIKIKOMORI ini.
Apa sih HIKIKOMORI
itu? Kalau translate harfiah dari artinya adalah menarik diri atau
mengisolasi dirinya sendiri. Kenapa? Karena takut untuk berinteraksi
dengan lingkungan luar, takut untuk menerima penolakan dari masyarakat.
Dan akhirnya mengurunglah orang itu agar tetap merasa dirinya aman
selalu dan terlindungi.
Saya inget sekali
dulu waktu anak sulung saya merengek minta dibelikan game portable,
suami saya langsung bilang NO! Kenapa? Karena efek bermain game portable
ini salah satunya bisa membuat anak menjadi seorang seorang hikikomori.
Terus bermain di dalam kamar tanpa berinteraksi dengan teman di rumah
bahkan dengan keluarganya sendiri. Baru setelah anak-anak sudah besar
dan bisa diajak untuk ber-yakusoku(berjanji) suami saya pun mengijinkan untuk mereka membeli game portable itu dengan hasil tabungan dari uang sakunya mereka.
Anak-anak diijinkan
dengan berbagai syarat yang harus dipatuhi, seperti tidak boleh bawa
game saat bepergian dengan keluarga dan tidak boleh main game saat sabtu
minggu, kenapa? Karena saat-saat itulah harusnya dihabiskan untuk
bercengkerama dengan keluarga dan so far mereka masih `takut` untuk
merobek janji yang telah disepakatinya itu.
Lalu ada kisah kedua,
ini tentang anak sahabat Jepang saya yang sangat pendiam, hobinya main
game dan baca majalah manga. Dulu anak ini adalah sahabat anak-anak
saya, sering sekali main kerumah, tapi setelah anak-anak ini masuk SD,
sudah jarang sekali berkunjung kerumah. Suatu ketika saat ibunya main
kerumah saya, berceritalah kalau anaknya itu sudah enggan untuk keluar
rumah kalau sudah asyik dengan manga-nya, bahkan bisa itu sambil ketawa
ngikik ngikik sendirian dikamarnya. Terus gimana perasaan ibu? Tentu
saja sedih melihat perkembangan anaknya yang sudah menampakan gejala
yang cenderung menyukai `dunia sendirinya` itu. Saya hanya terdiam, ikut
bisa merasakan perasaan sahabat saya, karena saya juga dulu sangat
takut anak saya menjadi seorang yang suka mengurung diri dikamar.
Kita tidak pernah
menyebut HIKIKOMORI secara lugas dan terang-terangan saat membicarakan
masalah dimana ada saudara, teman atau kita sendiri merasa terkena
penyakit mental ini? Kenapa? Karena itu adalah sesuatu yang sangat
memalukan! Ya, kisah menyedihkan yang perlu untuk ditutupi tutupi, sama
banget dengan kasus Ijime. Kalau bisa jangan sampai ada orang lain yang
tahu.
Jadi saat ada orang-orang
Indonesia malah merasa ini sebagai suatu trend dan merasa bangga ketika
menyebut dirinya seorang HIKIKOMORI dimedia sosial, karena bagi saya
pribadi justru it`s so pathetic.
Kenapa
bisa mewabah di Indonesia? Entahlah, apa karena kata itu dari Jepang
yang dianggap keren kalau jadi follower-nya, atau sudah ngerti arti
harfiah nya tapi tetep secara sadar nempelin sendiri dijidat nya kalau
dia itu seorang Hikikomori. Duh ngakak saya kalau begitu ya jelas banget
dia bukan hikikomori sejati hehehe wong orang yang berkecenderungan
berprilaku begini pun ogah tauk dicap Hikikomori.
Dulu
pernah saya nonton TV yang membahas detail tentang masalah Hikikomori
di Jepang yang semakin parah, besoknya saya tanya sama bapak mertua
saya, dan tahu nggak jawaban beliau? Weedy kamu tahu darimana itu, duh malu saya untuk menjelaskannya sama kamu…
Kenapa
bapak mertua saya begitu enggan ketika saya sindir tentang hikikomori
ini? Sekali lagi karena ini hal yang tidak bagus, hal yang bisa membuat
malu keluarga, hal yang harus dicari solusinya dan pencegahannya. Sampe
segitunya ya. Makin diumpetin makin penasaran saya.
Di
Televisi saya baru tahu kalau Hikikomori itu bukan saja menjangkiti
anak kecil yang tidak mau main keluar karena main game atau keasikan
baca manga di kamar, tapi bisa juga kena untuk orang dewasa!
Saya
sumpah kaget saat presenternya mewawancarai seorang bapak sudah berumur
70 tahun yang merasa khawatir dengan keadaan anaknya yang suka
mengurung dikamar. “Bayangkan umur anak saya sekarang sudah 40
tahun!! Bagaimana bisa menikah dan punya keluarga sendiri, kalau semua
waktunya dihabiskan didalam kamar, dan hanya keluar kalau sudah waktunya
makan”, kata bapaknya dengan raut muka sedih.
Dan
yang lebih bikin mata saya melotot adalah ketika terlihat bapaknya itu
loh yang memasak makanan anaknya, dan saat mereka makan berdua dimeja
makan pun gak ada satupun kata yang keluar atau ngobrol apa kek sama
bapaknya. Kasihan saya yang melihatnya, dari penuturan bapaknya,
semenjak kehilangan ibunya (ibunya terlalu protek anaknya) anaknya itu
seperti kehilangan pegangan hidup. Pernah kerja di suatu perusahaan tapi
gak lama dipecat karena ya tentu saja bisa ditebak kurang bisa
menyesuaikan diri dengan lingkungan.
Melihat
semakin banyak orang-orang berprilaku hikikomori di sini dengan
dilatarbelakangi oleh berbagai macam kesusahan, kegagalan yang dirasa
sangat membekas dan membuat trauma hidup mereka, seperti :
- Ditinggal oleh orang tersayang, dalam hal ini orang tua atau pacar
- Pernah ditolak oleh wanita yang diam-diam dicintainya
- Mendapat tekanan di tempat kerja
- Gagal dalam ujian
- Di bully oleh teman-temannya, dan lain sebagainya.
Lalu bagaimana tanggapan pemerintah Jepang?? dalam siaran itu terlihat
banyaknya bantuan dari lembaga-lembaga sosial dimana para volunteer
mendatangi rumah orang-orang yang berprilaku hikikomori ini. Mereka
diberi keyakinan kalau dunia luar itu memang bisa aman dan tidak nyaman,
tapi justru itu kita harus cari jalan gimana agar bisa survive. Suatu
penolakan atau diabaikan oleh lingkungan adalah hanya suatu bagian kecil
dari perjalanan hidup, harus dicari solusi dan harus bikin kita makin
kuat untuk menyongsong dan melanjutkan hidup. Deeg ngena banget buat
saya juga nih sebagai orang asing yang numpang tinggal di negeri orang,
uraian yang sangat bijaksana, manfaat buat saya sendiri.
Lalu
terapi bagi orang hikikomori ini bagaimana? orang-orang hikikomori ini
akan digiring ke tempat perkumpulan, dimana disana sudah ada para
pembimbing dan orang-orang hikikomori lainnya. Diperkumpulan itu
diadakan seperti semacam diskusi dan terapi untuk membuat prakarya yang
melibatkan team work.
Pada
awalnya sangat susah melibatkan orang hikikomori ini karena adanya
ketidak percayaan diri dan merasa dirinya lemah dan tidak berguna. Tapi
sejalan dengan waktu dan sedikit demi sedikit bisa terlihat mereka mulai
memiliki rasa nyaman setelah beberapa kali pertemuan. Mulai berani
untuk berkomunikasi dan berinteraksi antar teman-temannya. Saya pun yang
melihatnya sampai berkaca kaca.
Orang-orang
hikikomori ini janganlah justru kita ejek atau semakin kita sisihkan,
tapi ulurkanlah tangan untuk membantunya keluar dari dunianya. Bagi yang
mempunyai anak dan saudara yang cenderung mirip dengan sifat hikikomori
ini harus segera `dipaksa` untuk sering diajak jalan keluar, diajak
pergi kerumah saudara atau mengundang teman main kerumahnya.
Kegiatan
lainnya adalah, dengan melakukan piknik keluarga, pergi ketempat
rekreasi dan tentu saja harus sering untuk diajak bercengkerama agar
selalu merasa dirinya bagian penting dari suatu kelompok/komunitas.
Kegiatan atau perbuatan yang kadang kita angap sepele ini kadang justru
jadi suatu hal yang sangat penting dan berharga bagi penderita
hikikomori ini.
Keluarga
sebagai elemen terdekat harus cepet tanggap dan mencegah agar jangan
sampai berkelanjutan, karena memang untuk pengobatan mentalnya ini
katanya butuh bertahun-bertahun dengan bantuan dari seorang psikiater.
Bagi
yang bangga berkoar-koar kalau dirinya seorang Hikikomori, please stop
it. Karena itu bukanlah hal yang jadi bahan mainan atau trend untuk
diikuti. Gaya atau sesuatu dari luar negeri tidak selamanya patut untuk
ditiru namun haruslah kita cek dan telaah dahulu sebelum diikuti untuk
diterapkan dalam keseharian sebagai gaya hidup.
Salam Hangat, wk
0 Komentar:
Posting Komentar
Kehormatan buat kami jika selesai baca Anda beri komentar atas Artikel ini....tapi, Mohon Maaf kawan Komentarnya yang sopan ya....he..he..he..