Nurul mengenang masa lalunya. Dulu sewaktu SMA, dia harus bolak-balik
dipanggil guru BP gara-gara nekat menggunakan jilbab saat di sekolah
(waktu itu jilbab masih dilarang keras untuk digunakan di sekolah).
Bahkan guru BP itu pun sampai bertandang ke rumahnya, mempengaruhi orang
tuanya agar mampu membujuk Nurul untuk tak berjilbab lagi saat di
sekolah. Tak cukup itu, dia juga sempat dilaporkan ke reserse oleh
pihak sekolahnya, karena dianggap memancing keresahan.
Lalu
salah seorang senior yang dulunya penggiat dakwah berkata, "Wajar Nduk,
seusiamu ini masih heroik-heroiknya. Masih sangat idealis. Saya dulu
waktu masih mahasiswa ya sama kayak kamu itu. Semangat banget, apalagi
sama yang namanya birokrat yang menghalangi pelaksanaan syariat. Tapi,
setelah kerja, terus nikah dan punya anak… ya berubah kok. Teman-teman
saya juga begitu, yang dulunya semangat minta ampun, sekarang
biasa-biasa saja. Yah gimana, kita kan punya urusan hidup, harus cari
nafkah dan memenuhi kebutuhan keluarga. Biasa sajalah. Ada masanya.
Makanya saya bisa memaklumi kalau sekarang kamu nekat pakai jilbab".
Nurul
mencerna petuah seniornya yang panjang dengan dahi berkerut. Ucapan itu
nampak seperti simpati, tapi juga ramalan yang tidak mengenakkan. Dalam
hati dia berpikir, "Hmm, begitukah? Idealisme akan tergerus saat kita
sibuk berkeluarga nanti?"
Tiba-tiba, ada semacam cambuk yang
melecut adrenalinnya, hingga Nurul bertekad, "Tidak! Akan kubuktikan
bahwa dengan tarbiyah ini aku akan terus bertahan dengan idealisme dan
semangat dakwah".
Waktu berlalu, mengantarkan Nurul
menjadi mahasiswa. Dia melihat senior-seniornya penggiat dakwah di
kampus, baik yang laki maupun perempuan, menikah. Lalu dia menemukan
fenomena itu. Beberapa senior memang tampak semakin tenggelam dalam
dunia barunya. Ada yang hanya sibuk mengurus keluarganya, hingga jadwal
kajian pekanan pun dengan mudah minta ijin tak datang. Ada yang sibuk
dengan peningkatan karirnya, hingga jangankan terlibat lagi dalam
kepanitiaan dakwah, kajian bulanan pun telah vakum sedemikian lama.
Amanah mulai dikurangi, binaan-binaan mulai dilepaskan, diserahkan ke
yang lebih punya waktu, kata mereka. Dalam hati Nurul berpikir, “Oh ,
inikah 'urusan hidup' yang disebut seniorku jaman SMA dulu? Menyedihkan
sekali”
Untunglah, Nurul juga menemukan fenomena yang
sebaliknya. Senior-senior yang tetap komitmen di sela kesibukannya. Ada
mbak senior yang tetap rajin setor hafalan Qur'an tiga kali sepekan di
LTQ sambil membawa tiga anak balitanya, dengan bayi yang masih di
gendongan. Padahal dia pergi pulang dengan naik angkot, bukan motor
apalagi mobil pribadi. Ada juga mas senior yang tetap semangat membina
tiga kelompok,, meski dia pegawai full timer yang P4 (pergi pagi pulang
petang). Nyaris, tiap malam diisinya dengan mengisi liqo atau untuk
liqonya sendiri, dan itu tak mungkin berjalan tanpa pengertian dan
kepahaman dari istri dan anak-anaknya.
Fenomena terakhir tentunya
menyejukkan hati Nurul. Buru-buru Nurul berdoa, “Ya Allah, jika aku
telah berkeluarga nanti, mohon berikan aku keistiqomahan seperti mereka
ini”.
Kekhawatiran tentang lunturnya idealisme ini sering
menghantui langkahnya. Hingga saat dia akan menikah pun, Nurul memiliki
permintaan khusus pada calon suaminya, untuk dibacakan surat Al-Anfaal
selepas aqad. Salah satu surat yang sudah ia hafalkan di suatu LTQ dan
sering ia lantunkan sambil menangis itu, ingin didengarnya dari mulut
suaminya. Bukan sebagai mahar, hanya permintaan khusus saja. Bukan
meminta surat Ar-Rahman seperti lazimnya diminta banyak muslimah pada
calon suaminya saat menikah, tapi surat Al-Anfaal, surat tentang
peperangan. Permintaan yang berangkat dari kekhawatiran Nurul sejak
lama, tentang idealisme pasca berkeluarga. Dengan permintaan itu ia
berharap, setiap kali ada godaan untuk mulai mundur teratur dari kancah
perjuangan ini, setidaknya Al-Anfaal itu mampu mengingatkan mereka
berdua, dia dan suaminya.
Tahun demi tahun pernikahan
berlalu. Ternyata benar, cobaan bagi yang sudah menikah untuk terus
komitmen dalam dakwah, memang sangat berat. Butuh upaya luar biasa untuk
tetap berjaga, berlelah-lelah dalam jalan dakwah. Pantas saja, jika ada
hadits yang mengatakan bahwa amalan yang sama, tetapi dilakukan oleh
orang yang sudah menikah, pahalanya akan berlipat-lipat dari pada yang
belum menikah.
Apalagi cobaan dalam hal dakwah. Sering
sekali Nurul merasakan ada bisikan-bisikan yang juga tetap
mengatasnamakan agama, menggoda untuk dicoba:
"Sudahlah, kamu kan ingin menjadi istri dan ibu sholihah? Cukuplah kamu didik anak-anakmu dengan baik di rumah. Tak usahlah kesana kemari rapat dakwah atau mengisi pengajian ibu-ibu. Kan pahalanya sama saja.""Bukankah suamimu seorang pria sholih, yang sangat menyayangi keluarganya? Dia juga hampir tak pernah ketinggalan sholat jamaahnya. Bukankah anak-anakmu juga tumbuh sehat dan cerdas tak kurang suatu apa? Apa lagi yang kau inginkan, Nurul?"
Godaan-godaan yang
buru-buru disikapi Nurul dengan banyak-banyak istighfar. Jika masih
berkelebat juga, segera dihadirkannya tokoh-tokoh muslimah para penghulu
dakwah di benaknya. Terbayang Sumayyah, sang syahidah pertama yang
menerima resiko disiksa hingga meninggal, padahal sedang hamil tua.
Terbayang Asma' binti Abu Bakar, yang juga dalam kondisi hamil, tetap
tegar naik kuda mendaki bukit untuk mengantarkan bekal makanan saat
Rasul berhijrah. Terbayang bunda Hajar, dengan bayi merah di pelukan,
rela ditinggal sendirian di padang gersang dan merelakan suaminya
berdakwah di negeri lain yang jauh tempatnya.
“Allahu, Allahu, … cobaanku belum apa-apa”, batin Nurul menguatkan diri.
Alhamdulillah,
Allah juga mengaruniakannya suami dan lingkungan teman seperjuangan
yang terus mengingatkan. Saat ia lalai sedikit saja, mereka segera
menariknya kembali. Kadang dengan pertanyaan halus, kadang juga harus
ditegur dengan lebih keras.
“Inilah si bandel, yang kadang harus
dicubit dan digetok agar segera menyadari kekeliruannya. Alhamdulilah,
terima kasih ya Allah, kau berikan aku seorang suami dan saudara-saudara
seiman yang begitu perhatian”, batin Nurul lagi.
Alhamdulilah,
dia memiliki saudara-saudara yang sangat menyayanginya, yang masih mau
menegur jika terlihat jalannya mulai tak lurus lagi. Tak terbayang, jika
dia tak berada di lingkungan seperti itu, mungkin dia akan merasa aman
damnai tentram saja sebagai seorang istri dan ibu.
Lalu
kini, setelah hampir 14 tahun bahtera pernikahan diarunginya, apakah
cobaannya semakin ringan? Allahu Rabbi, ternyata tidak. Kadang dia
terjerembab, bermaksiyat, juga tergelincir. Tapi dia yakin, dengan azzam
dan i’tikad baik serta kasih sayang berlimpah dari suami dan
teman-teman sesama penggiat dakwah, hal-hal seperti itu tak akan lama.
Dengan
penuh keyakinan, Nurul berucap lirih, “Selama kita berputar dalam
dakwah, kemana pun arah putarannya, maka biarlah Allah yang menjaga,
semuanya." :)
#pamulang, 16 Juli 2012
kutulis untuk suamiku, dan saudara2ku
Mukti Amini
sumber: islamedia.web.id
0 Komentar:
Posting Komentar
Kehormatan buat kami jika selesai baca Anda beri komentar atas Artikel ini....tapi, Mohon Maaf kawan Komentarnya yang sopan ya....he..he..he..