Rasa-rasanya kamu masih pada ingat pekan kemarin (23/7) Ariel, seleb
yang divonis 3,5 tahun penjara gara-gara kasus pornografi (baca: video
mesumnya dengan seleb lain) kembali bebas dari bui. Tak seperti
pemberitaan seleb lain atau info lainnya, setidaknya ada dua media
internet yang jor-joran memberitakan seputar kebebasan Ariel dari
penjara, yakni detik.com dan kompas.com. Saya tidak mengetahui media
lainnya, karena kebetulan yang saya baca waktu itu kedua media tersebut.
Patut disayangkan, mengapa porsi pemberitaan tersebut sampai menyita
begitu banyak lembaran halaman maya media tersebut. Puluhan artikel
terkait di kedua media tersebut bisa dikatakan sangat banyak untuk
ukuran sebuah topik berita. Saya sendiri mempertanyakan, apa motifnya?
Bahkan ada seorang pengamat media di twitter yang mengecam tindakan
media yang memberitakan kebebasan Ariel dari bui. Dia mengkritiknya pada
kultwit (kuliah tweet) dengan hashtag #stupidmedia.
Bro en Sis rahimakumullah pembaca setia gaulislam, padahal hampir
bersamaan, atau setidaknya beberapa hari kemudian media massa di negeri
ini baru memberitakan kasus pembantaian Muslim Rohingya di Myanmar oleh
etnis Budha. Ini terbilang telat karena kasusnya sudah lama terjadi.
Bahkan ketika gaulislam menulis artikel edisi 243 (Euro 2012, Suriah,
dan Rohingya), berarti 6 pekan yang lalu, kasus itu sudah terjadi. Malah
mungkin jauh sebelumnya sudah terjadi karena informasinya seringkali
tak diberitakan oleh media massa dunia. Tapi masih mending pada akhirnya
diberitakan juga oleh media massa lokal di negeri kita, meski porsi
pemberitaan tak sedahsyat saat Ariel bebas dari bui. Ah, ini pasti ada grand design untuk tujuan tertentu. Kita perlu ngeh juga lho soal beginian, Bro en Sis.
Benar banget lho. Sebab, media massa cukup efektif dan efisien dalam
memberikan informasi untuk saat ini, apalagi jika media massa itu
bernama televisi. Selama saya belajar ilmu komunikasi saat kuliah dan
juga mempraktikkan saat bekerja di majalah beberapa tahun silam, teori
agenda setting, framing, labeling, ingatan kolektif, spiral kebisuan,
hingga teori kultivasi saya mengenalnya (BTW, untuk mengetahui
teori-teori tadi, silakan googling aja atau dapetin di buku-buku
komunikasi massa, ada kok. Kalo ditulis di sini jadi panjang banget dah
isinya hehehe…). Ya, setidaknya saya sendiri jadi tahu bagaimana
pengelola media itu bisa menjangkau audiensnya demi kepentingan tertentu
di balik bisnis medianya.
Sekarang saya sendiri ingin ngajak kamu semua untuk berpikir lebih
jernih, tidak terkontaminasi dengan informasi yang keliru, dan tentunya
tetap menjadikan Islam sebagai ideologi, sebagai cara pandang kehidupan
kita. Benar bahwa media massa bisa mempengaruhi khalayak, tetapi
informasi yang disebarkan tidak berarti apa-apa jika banyak masyarakat
pembaca yang bijak dan cerdas memilih dan memilah informasi. Berita
tertentu yang digelontorkan jor-joran tidak akan pula bisa memberi
pengaruh kepada pembaca yang sudah memiliki filter untuk menyaring (dan
sekaligus membedakan) mana berita sampah dan mana berita yang bermutu.
Itu sebabnya, target tulisan di buletin gaulislam edisi 249 ini adalah
mengajak kamu semua agar melek media dan sekaligus paham ajaran Islam.
Oke? Siap-siap ya!
Media massa dan pemiliknya
Ada banyak kepentingan di bisnis media massa. Selain tujuan utamanya
mengeruk duit dari jualan informasi, juga sekaligus mencapai kepentingan
menanamkan informasi (sekaligus opini) sesuai keinginan dan tujuan
banyak pihak: pemilik media, produsen iklan, lembaga tertentu, hingga
pejabat. Jadi memang media massa banyak dipengaruhi
kepentingan-kepentingan tertentu. Percaya atau tidak, itu sudah
berlangsung lama.
Saya menyadari betul, bahwa media massa tidak ada yang obyektif.
Semuanya subyektif. Jadi memang ada keberpihakan. Apapun jenisnya. Meski
dalam beberapa hal bisa obyektif, jika masalah itu tidak sensitif dan
tidak ada kepentingan di dalamnya. Tapi bagi masalah yang sensitif dan
jelas ada kepentingan-kepentingan tertentu di dalamnya, maka akan sulit
untuk obyektif. Bahkan hal itu tidak mungkin dilakukan.
Mengandalkan media massa umum untuk obyektif memang sulit. Jadi nggak
usah berharap banyak. Toh pengalaman saya di media massa yang mengusung
Islam juga bersifat “subyektif”, yakni standarnya Islam. Jangan heran
jika ada naskah yang menyerang Islam, pastinya tak bakalan dimuat.
Bahkan sudah disediakan keranjang sampah. Walaupun sebenarnya kita,
sebagai muslim, harus obyektif sekaligus subyektif. Maksudnya, obyektif
terhadap fakta yang didapat dan subyektif saat menilai fakta. Artinya,
kita nggak boleh memelintir fakta demi tujuan opini kita. Sebab, kita
dilarang berbohong. Tetapi yang dibenarkan adalah menyebarkan opini
Islam.
Oya, jangan salah, urusan subyektivitas juga berlaku bagi media massa
umum (bedanya mereka seringkali mengaburkan fakta). Kalo ada pengirim
naskah yang isinya bertentangan dan bahkan menentang ideologi pemilik
dan pengelola media tersebut, tak segan mereka juga akan mencampakkan
begitu saja naskah tersebut. Termasuk dalam hal ini adalah memilih dan
memilah berita dan opini yang akan dilepas ke publik. Tentu saja berita
dan opini tersebut sesuai kepentingan pemilik media dengan beragam
kepentingan. Itu sebabnya, kita perlu bertanya mengapa media massa mainstream (arus
utama) gencar memberitakan pesta Olimpiade 2012 di London, juga gencar
seputar pemberitaan bebasnya Ariel dari bui, tetapi melempem saat
memberitakan kekejaman rezim Bashar Assad di Suriah terhadap rakyatnya
sendiri yang muslim dan media juga gagal bersemangat memberitakan
kekejaman etnis Budha (dan juga pemerintahnya) yang membantai Muslim di
wilayah Rohingya, Myanmar (Burma). Kalo pun ada yang memberitakan,
isinya patut disaring lagi karena seringkali bermuatan informasi yang
keliru.
Dalam teori komunikasi massa, media memang mutlak adanya seperti yang dikemukakan oleh Harold D. Laswell, yang disebut Channel atau saluran komunikasi. Saluran inilah yang akan menyalurkan massage
atau pesan antar komunikan dan efek yang akan timbul dari komunikasi
tersebut. Dari teori itu dapat diketahui adanya kemungkinan manipulasi
dalam penyampaian pesan pada saat melewati saluran tersebut sangatlah
besar. Sehingga Marshall Mc Luhan menyatakan bahwa “The Medium is the Massage” yang berarti suatu medium (media) yang dipakai untuk menyampaikan suatu pesan merupakan pesan itu sendiri. (Burhan Bunging, Imaji Media Massa, Kontruksi dan Makna Realitas Sosial Iklan Televisi dalam Masyarakat Kapitalitik. Hlm. 65)
Paul Watson, salah seorang pendiri Green Peace yang
menyoroti prilaku media massa, menurutnya konsep kebenaran yang dianut
oleh media massa bukanlah suatu kebenaran sejati, tetapi sesuatu yang
dianggap benar oleh masyarakat sebagai kebenaran atau dengan kata lain
kebenaran tersebut dapat ditentukan oleh media massa. (Alex Sobur dalam Analisis Teks Media, hlm 87)
Bro en Sis rahimakumullah, kalo kita lihat kenyataannya sekarang,
media massa memang udah nggak bisa diharapkan lagi sebagai pembawa pesan
kebenaran yang keberpihakannya kepada pembaca, tapi sudah berpihak pada
kepentingan pemilik modal atau pihak tertentu dengan kepentingan
tertentu yang bekerjasama dengan pemilik media. Para jurnalis juga
kayaknya udah lupa dengan elemen-elemen jurnalisme yang mungkin saja
dulu pernah dipelajarinya.
Ada buku yang menurut saya cukup bagus sebagai pengangan dalam konsep
jurnalisme, buku karya Bill Kovach & Tom Rosenstiel, yakni Elements of Journalism.
Meskipun pada praktiknya sulit diterapkan jika berbenturan dengan
kepentingan pemilik media. Salah satu yang menarik saya dalam buku
tersebut adalah metode verifikasi. Kovach dan Rosenstiel menawarkan lima
konsep dalam verifikasi: 1) Jangan menambah atau mengarang apa pun; 2)
Jangan menipu atau menyesatkan pembaca, pemirsa, maupun pendengar; 3)
Bersikaplah setransparan dan sejujur mungkin tentang metode dan motivasi
Anda dalam melakukan reportase; 4) Bersandarlah terutama pada reportase
Anda sendiri; 5) Bersikaplah rendah hati. Selebihnya, silakan baca
bukunya, udah ada terjemahannya kok. Hehehe.. bukan promosi, tapi
menyarankan. Gusrak!
Nasib kaum muslimin
Memang, saat ini yang bisa kita lakukan baru sebatas peduli dan
mengirimkan doa buat mereka di Rohingya, di Suriah, dan di belahan bumi
lainnya. Tapi, itu sudah merupakan bentuk perhatian. Kemungkinan lain
yang bisa kita lakukan adalah menyeru kaum muslimin yang lain untuk
sama-sama peduli dengan urusan saudara yang lainnya. Jangan cuek bebek
aja. Sekaligus tentunya kita menyeru kepada para pemimpin kaum muslimin
supaya ikut ambil bagian dalam menyelesaikan konflik di seluruh negeri
muslim.
Khusus buat kita, masalah kaum muslimin di Rohingya, Suriah,
Palestina dan di belahan bumi lainnya (termasuk tentunya di Indonesia),
adalah masalah kita juga, penderitaan rakyat Palestina dan Suriah,
adalah penderitaan kita juga, kesedihan Muslim Rohingya, adalah
kepedihan kita juga. Karena kita memang bersaudara. Allah Swt.
berfirman: “Sesungguhnya orang-orang mukmin adalah bersaudara.” (QS al-Hujurât [49]: 10)
Rasulullah saw. juga memberikan perumpamaan yang bagus tentang hubungan sesama kaum muslimin. Beliau saw. bersabda: “Perumpamaan
kaum mukmin dalam hal kasih sayang, cinta kasih dan pembelaannya
bagaikan satu tubuh. Apabila salah satu anggota tubuhnya merasa sakit
(menderita), maka (hal itu) akan menjalar ke anggota-anggota tubuh
lainnya dengan rasa demam dan panas.” (HR Bukhari dan Muslim)
Jadi, nggak ada alasan kan bagi kita untuk nggak peduli dengan nasib
saudara seakidah di belahan dunia lain? Kita disatukan dalam ikatan
akidah Islam yang agung. Nggak mungkin bisa diputuskan begitu saja.
Sungguh aneh kalo di antara kita masih ada yang napsi-napsi, alias egois
bin individualis. Bahaya!
Oke deh, mulai sekarang, rapatkan barisan dan satukan langkah.
Karena sesama kaum muslimin kita memang bersaudara. Jangan biarkan
Muslim Rohingya dan Suriah serta di belahan bumi lainnya
terkoyak-tercabik-dibantai oleh musuh-musuhnya tanpa ada kepedulian dan
bantuan dari kita saudaranya. Ayo bangkit!
Berpihak kepada kebenaran Islam
Ngomongin soal media massa dan Islam, saya jadi ingat masa lalu saat bekerja di majalah mimbar
di Jakarta. Saat itu, saya terkesan dengan pernyataan yang ditulis sang
redaktur pelaksana. Beliau menyampaikan dalam edisi perdana majalah
tersebut: “mimbar berupaya melihat suatu fakta, mengupas, menilai, dan memberi opini. Orang mungkin menilai, mimbar berpihak, suatu hal yang dalam adagium etika jurnalistik sangat ditabukan. Tapi itulah mimbar. Lagipula, apa salahnya berpihak pada sesuatu yang layak dipihaki? Firman Allah Swt.: “Sesungguhnya
orang-orang yang menyembunyikan apa yang telah Kami turunkan berupa
keterangan-keterangan (yang jelas) dan petunjuk, setelah Kami
menerangkannya kepada manusia dalam al-Kitab, mereka itu dilaknati Allah
dan dilaknati (pula) oleh semua (makhluk) yang dapat melaknati,” (QS al-Baqarah [2]: 159)”
Oya, ayat ini turun berkenaan dengan rahib-rahib Yahudi yang
menyembunyikan kebenaran dari Allah yang tertera dalam Taurat, salah
satunya tentang akan ada nabi baru, yakni Nabi Muhammad saw. Dalam
Tafsir Jalalain yang ditulis Imam Jalaluddin asy-Syuyuthi dan Imam
Jalaluddin Muhammad Ibn Ahmad al-Mahalliy, disebutkan bahwa: “Ayat
berikut ini turun tentang orang-orang Yahudi, (Sesungguhnya orang-orang
yang menyembunyikan) kepada manusia (apa-apa yang telah Kami turunkan
berupa keterangan dan petunjuk) seperti ayat rajam dan tentang ciri-ciri
Nabi Muhammad saw. (setelah Kami jelaskan kepada manusia dalam Alkitab)
yakni Taurat (mereka itu dikutuk oleh Allah) maksudnya disingkirkan-Nya
dari rahmat-Nya (dan dikutuk pula oleh makhluk-makhluk lainnya dengan
mendoakannya agar mendapat kutukan.
Masih dalam keterangan di Tafsir Jalalain, ayat 159 ini ada
hubungannya dengan ayat 146, yang dijelaskan dalam tafsir tersebut sbb.:
“(Orang-orang yang Kami beri Alkitab mengenalnya) Muhammad (sebagaimana
mereka mengenal anak-anak mereka sendiri) karena disebutkan
ciri-cirinya dalam kitab-kitab suci mereka. Kata Ibnu Salam,
“Sesungguhnya ketika aku melihatnya, maka aku pun segera mengenalnya,
sebagaimana aku mengenal putraku sendiri, bahkan lebih kuat lagi
mengenal Muhammad.” (Dan sesungguhnya sebagian di antara mereka
menyembunyikan kebenaran) maksudnya ciri-cirinya itu (padahal mereka
mengetahui) keadaanmu dan siapa kamu yang sebenarnya.”
Itu sebabnya, yang paling mungkin kita lakukan adalah getol untuk
memberi opini tandingan. Itu akan lebih efektif jika kita, kaum
muslimin, punya media cetak dan elektronik yang memadai, insya Allah
kita bisa mengimbangi opini yang menyudutkan Islam yang kini sedang
panas-panasnya. Sementara ini, barangkali yang bisa dilakukan adalah
rajin-rajinlah menyuarakan ide-ide ini di tengah-tengah masyarakat; baik
lewat lisan maupun tulisan. Bagi teman-teman yang rajin nulis, silakan
manfaatkan media massa Islam yang ada. Internet juga bisa jadi
alternatif, sarana chatting juga bisa dicoba, situs jejaring
sosial macam facebook dan twitter bisa jadi solusi penyampai pesan kita,
blog gratisan macam wordpress dan blogspot bisa kita jadikan media
penyampai pesan di internet, manfaatkan juga radio, syukur-syukur ada
kesempatan menyampaikan opini via televisi. Pokoknya semua fasilitas
media komunikasi bisa dicoba untuk mengembangkan opini kita. Kini
saatnya ‘perang opini’. Bersiaplah kawan! Allahu Akbar! Salam perjuangan
dan kemenangan ideologi Islam!
[solihin | Twitter: @osolihin | Blog: www.osolihin.net]
0 Komentar:
Posting Komentar
Kehormatan buat kami jika selesai baca Anda beri komentar atas Artikel ini....tapi, Mohon Maaf kawan Komentarnya yang sopan ya....he..he..he..